Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perilaku Bunuh Diri (2), Penyakit Menular atau Turunan?

17 Desember 2017   14:52 Diperbarui: 17 Desember 2017   15:28 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ada suatu fenomena yang cukup menarik mengenai bunuh diri. Setiap kali ada pemberitaan tentang bunuh diri di media, terutama bila yang bunuh diri adalah orang terkenal, biasanya diikuti dengan peningkatan jumlah kejadian bunuh diri di mana-mana. Indonesia belum memiliki catatan lengkap tentang jumlah kejadian bunuh diri setiap tahunnya. Tetapi negara lain sudah ada yang mencatat dengan lengkap sehingga mereka bisa menganalisa pola kejadian bunuh diri dan fenomena inilah yang mereka temukan.

Contoh lain yang masih hangat adalah kisah Chester Bennington, vokalis grup band Linkin Park yang meninggal dunia karena bunuh diri hanya berselang dua bulan setelah kematian sahabat karibnya, Chris Cornell yang juga meninggal karena bunuh diri. Chester bahkan memilih bunuh diri pada tanggal ulang tahun sahabatnya tersebut, yang membuat semua orang semakin curiga bahwa bunuh diri Chester diinspirasi oleh sahabatnya sendiri. Cerita best friend forever ini semakin membuat kita bertanya-tanya apakah mungkin bunuh diri menular?

Perilaku bunuh diri bukanlah diagnosa penyakit, melainkan hanya satu gejala. Seseorang dengan perilaku bunuh diri pasti memiliki gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan yang paling sering memiliki gejala perilaku bunuh diri adalah depresi. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi sampai seseorang bisa didiagnosa dengan depresi, antara lain: sedih berkepanjangan, kehilangan minat pada hobi, mereka tidak memiliki harapan, selalu merasa lelah, gangguan tidur, dll termasuk di antaranya keinginan untuk bunuh diri.

Orang seringkali salah menilai depresi sebagai kesedihan biasa, bahkan ada yang menganggap mereka hanya malas. Mari kita luruskan. Orang yang sedang sedih tidak memenuhi kriteria-kriteria spesifik seperti depresi. Kriteria-kriterianya dapat dibaca di sini. Orang depresi tidak bisa ditolong hanya dengan dihibur, ditemani atau diajak jalan-jalan. Orang dengan depresi membutuhkan terapi medis sama seperti penyakit lainnya.

Depresi disebabkan karena rendahnya kadar sejumlah neurotransmitter dalam otak seseorang. Neurotransmitter adalah pembawa sinyal kimiawi dalam sel saraf manusia yang memampukan sel saraf bisa melakukan semua fungsinya, termasuk mengatur kestabilan mood dan emosi seseorang. Neurotransmitter yang sampai saat ini dianggap paling berperan dalam depresi adalah serotonin. Rendahnya kadar serotonin ini tidak bisa hanya ditingkatkan dengan sekedar melakukan hal-hal yang menghibur atau menyenangkan.

Kembali ke pertanyaan tadi, apakah kondisi rendahnya kadar serotonin ini bisa menular? Secara langsung, tidak. Kondisi ini berbeda dengan virus atau bakteri yang bisa ditularkan lewat udara atau kontak langsung. Tetapi kondisi ini bisa "ditularkan" lewat mediator. Apa mediatornya? Kita semua. Semua orang dan media bisa menjadi "mediator" menularnya kondisi depresi dengan gejala perilaku bunuh diri. 

Pemberitaan di  media yang tidak proporsional, terlalu mengekspos informasi bunuh diri, orang-orang yang menyampaikan segala perhatian dan belasungkawa, bisa membuat seseorang dengan pikiran bunuh diri  berlanjut pada percobaan bunuh diri bahkan complete suicide. (Penjelasan mengenai perilaku bunuh diri dapat dibaca di artikel saya sebelumnya.) Jadi sebenarnya perilaku bunuh diri tidak menular tetapi respon kita terhadap suatu kejadian bunuh diri dapat memicu orang lain yang sudah memiliki pikiran bunuh diri tergerak untuk menjalankan apa yang selama ini ada dalam pikirannya, apalagi bila yang melakukan adalah orang terkenal atau tokoh idola.

Biasanya orang-orang berhenti pada fakta ini, mungkin sudah cukup merasa lega karena ternyata perilaku bunuh diri tidak menular. Padahal penelitian sudah membuktikan perilaku bunuh diri adalah perilaku yang diturunkan. Seseorang yang meninggal dengan bunuh diri dapat dipastikan memiliki keluarga dengan riwayat bunuh diri atau minimal gangguan kejiwaan yang salah satu gejalanya adalah perilaku bunuh diri. Anak dari orang tua yang meninggal karena bunuh diri memiliki kecenderungan 4x lipat melakukan percobaan bunuh diri dibanding anak yang orang tuanya tidak bunuh diri.

 Telah ditemukan juga kelainan pada genetik manusia yang dianggap bertanggung jawab pada  perilaku bunuh diri antara lain gen SLC6A4 yang merupakan gen yang mengkode transporter serotonin 5HTT. Pada pelaku bunuh diri ditemukan transporter serotonin 5HTT yang rendah. Dan masih banyak penelitian lain di bidang genetik yang dilakukan untuk berusaha menemukan akar permasalahan suicidal behavior. Seandainya ditemukan genetik tertentu yang bertanggung jawab terhadap perilaku bunuh diri, maka terapi modifikasi genetik bisa jadi solusi permasalahan yang jitu di masa depan.

Tetapi faktor genetik ini tidak bisa berdiri sendiri, faktor lingkungan memiliki pengaruh yang lebih besar. Artinya seseorang dengan keturunan perilaku bunuh diri atau genetik suicidal tidak akan memiliki perilaku ini bila dibesarkan dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang, tetapi bila mereka tumbuh dalam lingkungan yang menekan, maka mereka akan lebih cepat mengadaptasi perilaku bunuh diri ketimbang orang yang tidak memiliki keturunan atau genetik suicidal.  

Intinya, yang perlu ditanamkan dalam pikiran kita semua adalah bahwa perilaku bunuh diri adalah gejala suatu penyakit kejiwaan. Terlepas apakah ini penyakit menular atau penyakit turunan, lingkungan alias kita semua, orang-orang sekitar memiliki pengaruh penting dalam berkembangnya dan menyebarnya perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri harus ditangani secara medis. Ketika ada seseorang yang dengan serius menyatakan ingin mengakhiri hidupnya, alarm kemanusiaan kita harus langsung berbunyi, orang ini butuh bantuan, mereka membutuhkan bantuan kita. Jangan menyepelekan cerita mereka, mari melihat perilaku bunuh diri lebih dari sekedar curhatan omong kosong belaka atau sekedar perilaku ABG labil yang mencari perhatian! Ada sesuatu hal yang lebih besar terjadi di belakang perilaku bunuh diri.

Referensi:

The Neurobiological Basis of Suicide. Taylor & Francis: 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun