Mohon tunggu...
sandi praspa
sandi praspa Mohon Tunggu... Pengagas Industri Agro Terpadu - Industri 5F

Sandi's innovative approach, encapsulated in his 5F (Food, Feed, Fiber, Fertilizer, Fuel) Industry model, promotes sustainable agriculture and bioenergy. He is also the author of “5F Integrated Sago Industry,” advocating for solutions that align sustainability with global demands. With a solid educational background in Mechanical Engineering from Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta and a Master’s in Renewable Energy Engineering, Sandi aims to harmonize technology with sustainability, fostering a greener and more self-reliant world. He is eager to collaborate on renewable energy projects or provide technology consulting that supports sustainability. Let’s connect and explore opportunities to build a greener tomorrow together!

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mengubah 'Sampah" Sagu menjadi Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan (SAF)

16 Oktober 2025   18:18 Diperbarui: 16 Oktober 2025   18:18 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbandingan Sifat SAF dari Limbah sagu (Sumber : Sagu 5F)

Dari Hutan Riau ke Angkasa: Mengubah 'Sampah' Sagu Menjadi Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan


Setiap kali saya mendengar deru mesin jet yang menggelegar di angkasa, ada dua perasaan yang muncul: kekaguman akan teknologi yang bisa menerbangkan ratusan orang melintasi benua, dan sedikit rasa cemas akan jejak karbon yang ditinggalkannya. Sektor penerbangan adalah salah satu penyumbang emisi global yang sulit untuk "dihijaukan". Namun, bagaimana jika saya katakan solusinya mungkin tersembunyi di antara rimbunnya perkebunan sagu di pedalaman Riau?

Bukan, ini bukan fiksi ilmiah. Ini adalah potensi nyata yang sedang digodok, sebuah ide revolusioner yang bisa mengubah lanskap energi Indonesia: mengubah limbah sagu menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur.

Harta Karun Tersembunyi Bernama Limbah Sagu
Indonesia adalah raja sagu dunia. Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Kepulauan Meranti, adalah salah satu pusat produksi terbesarnya. Produksi pati sagu nasional pada tahun 2022 saja mencapai lebih dari 367.000 ton. Tapi ada sisi lain dari cerita ini. Setiap ton pati sagu yang dihasilkan meninggalkan sekitar 6 ton limbah: ampas, kulit batang, pelepah daun, hingga limbah cair. Jika dihitung, kita bicara tentang lebih dari 2,2 juta ton biomassa per tahun yang seringkali hanya menumpuk dan menjadi masalah lingkungan.  

Selama ini kita melihatnya sebagai sampah. Padahal, di mata para ilmuwan dan insinyur, tumpukan limbah ini adalah tambang emas hijau yang menunggu untuk digali.

"Dapur Canggih" untuk Setiap Jenis Limbah
Tantangannya, "limbah sagu" bukanlah satu bahan yang sama. Setiap jenisnya punya karakter unik, seperti bahan masakan yang berbeda. Anda tidak bisa memasak semuanya dengan cara yang sama. Di sinilah konsep biorefinery atau "kilang hayati terintegrasi" berperan. Ini seperti sebuah dapur canggih dengan berbagai alat masak, di mana setiap bahan diolah dengan cara yang paling pas.

Biomassa Sagu / Limbah Industri sagu (Sumber : sagu 5F)
Biomassa Sagu / Limbah Industri sagu (Sumber : sagu 5F)
mpas Sagu si Kaya Pati: Ini adalah sisa "daging" sagu setelah patinya diambil. Karena masih kaya akan karbohidrat, jalur terbaik untuknya adalah Alcohol-to-Jet (ATJ). Sederhananya, ampas ini difermentasi menjadi alkohol (seperti bioetanol), lalu alkohol tersebut diolah secara kimiawi menjadi bahan bakar jet. Teknologi ini sudah cukup matang dan risikonya lebih rendah, menjadikannya kandidat utama yang paling ekonomis.  
Kulit Batang dan Pelepah si Keras Lignoselulosa: Ini adalah bagian "kulit" dan "tulang" pohon sagu yang keras dan berserat. Karena strukturnya yang alot, ia butuh perlakuan "ekstrem". Di sinilah teknologi Gasifikasi masuk. Biomassa ini dipanaskan pada suhu sangat tinggi hingga menjadi gas sintesis (syngas), yang kemudian diubah menjadi bahan bakar cair melalui proses Fischer-Tropsch. Proses ini sangat kompleks dan butuh pabrik skala raksasa, membuatnya sangat cocok dibangun di pusat sagu seperti Riau yang pasokan bahan bakunya melimpah. Namun, tantangan terbesarnya adalah membersihkan syngas dari "tar" atau zat lengket yang bisa merusak katalis mahal.  

Limbah Cair dan Ampas Basah: Mengeringkan limbah basah butuh energi besar dan mahal. Solusinya? Hydrothermal Liquefaction (HTL). Bayangkan ini seperti memasak dengan "panci presto" raksasa. Limbah basah diproses di bawah suhu dan tekanan tinggi, mengubahnya langsung menjadi biocrude atau minyak mentah hayati tanpa perlu dikeringkan. Ini adalah teknologi kunci untuk memastikan tidak ada setetes pun limbah yang terbuang.  

Apakah Ini Masuk Akal Secara Ekonomi?
Secara teknis, ini sangat mungkin. Tapi pertanyaan besarnya: apakah menguntungkan?

Jujur saja, untuk saat ini, biaya produksi SAF dari limbah sagu masih lebih tinggi dari bahan bakar jet fosil. Namun, ada beberapa faktor kunci yang bisa mengubah permainan: biaya pengumpulan limbah, harga hidrogen yang dibutuhkan untuk proses, dan yang terpenting, dukungan kebijakan pemerintah.

Dan kabar baiknya, pemerintah sudah bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun