Dari Hutan Riau ke Angkasa: Mengubah 'Sampah' Sagu Menjadi Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan
Setiap kali saya mendengar deru mesin jet yang menggelegar di angkasa, ada dua perasaan yang muncul: kekaguman akan teknologi yang bisa menerbangkan ratusan orang melintasi benua, dan sedikit rasa cemas akan jejak karbon yang ditinggalkannya. Sektor penerbangan adalah salah satu penyumbang emisi global yang sulit untuk "dihijaukan". Namun, bagaimana jika saya katakan solusinya mungkin tersembunyi di antara rimbunnya perkebunan sagu di pedalaman Riau?
Bukan, ini bukan fiksi ilmiah. Ini adalah potensi nyata yang sedang digodok, sebuah ide revolusioner yang bisa mengubah lanskap energi Indonesia: mengubah limbah sagu menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur.
Harta Karun Tersembunyi Bernama Limbah Sagu
Indonesia adalah raja sagu dunia. Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Kepulauan Meranti, adalah salah satu pusat produksi terbesarnya. Produksi pati sagu nasional pada tahun 2022 saja mencapai lebih dari 367.000 ton. Tapi ada sisi lain dari cerita ini. Setiap ton pati sagu yang dihasilkan meninggalkan sekitar 6 ton limbah: ampas, kulit batang, pelepah daun, hingga limbah cair. Jika dihitung, kita bicara tentang lebih dari 2,2 juta ton biomassa per tahun yang seringkali hanya menumpuk dan menjadi masalah lingkungan.
Selama ini kita melihatnya sebagai sampah. Padahal, di mata para ilmuwan dan insinyur, tumpukan limbah ini adalah tambang emas hijau yang menunggu untuk digali.
"Dapur Canggih" untuk Setiap Jenis Limbah
Tantangannya, "limbah sagu" bukanlah satu bahan yang sama. Setiap jenisnya punya karakter unik, seperti bahan masakan yang berbeda. Anda tidak bisa memasak semuanya dengan cara yang sama. Di sinilah konsep biorefinery atau "kilang hayati terintegrasi" berperan. Ini seperti sebuah dapur canggih dengan berbagai alat masak, di mana setiap bahan diolah dengan cara yang paling pas.
Kulit Batang dan Pelepah si Keras Lignoselulosa: Ini adalah bagian "kulit" dan "tulang" pohon sagu yang keras dan berserat. Karena strukturnya yang alot, ia butuh perlakuan "ekstrem". Di sinilah teknologi Gasifikasi masuk. Biomassa ini dipanaskan pada suhu sangat tinggi hingga menjadi gas sintesis (syngas), yang kemudian diubah menjadi bahan bakar cair melalui proses Fischer-Tropsch. Proses ini sangat kompleks dan butuh pabrik skala raksasa, membuatnya sangat cocok dibangun di pusat sagu seperti Riau yang pasokan bahan bakunya melimpah. Namun, tantangan terbesarnya adalah membersihkan syngas dari "tar" atau zat lengket yang bisa merusak katalis mahal.
Limbah Cair dan Ampas Basah: Mengeringkan limbah basah butuh energi besar dan mahal. Solusinya? Hydrothermal Liquefaction (HTL). Bayangkan ini seperti memasak dengan "panci presto" raksasa. Limbah basah diproses di bawah suhu dan tekanan tinggi, mengubahnya langsung menjadi biocrude atau minyak mentah hayati tanpa perlu dikeringkan. Ini adalah teknologi kunci untuk memastikan tidak ada setetes pun limbah yang terbuang.
Apakah Ini Masuk Akal Secara Ekonomi?
Secara teknis, ini sangat mungkin. Tapi pertanyaan besarnya: apakah menguntungkan?
Jujur saja, untuk saat ini, biaya produksi SAF dari limbah sagu masih lebih tinggi dari bahan bakar jet fosil. Namun, ada beberapa faktor kunci yang bisa mengubah permainan: biaya pengumpulan limbah, harga hidrogen yang dibutuhkan untuk proses, dan yang terpenting, dukungan kebijakan pemerintah.
Dan kabar baiknya, pemerintah sudah bergerak.