Ketika berbicara tentang demokrasi, nama Alexis de Tocqueville tidak bisa kita abaikan. Tocqueville sering muncul sebagai salah satu pengamat paling tajam di abad ke-19. Pemikir asal Prancis itu bukan hanya menulis tentang politik, tetapi juga tentang manusia, masyarakat dan bagaimana kebebasan bisa bertahan di tengah arus perubahan zaman. Lewat karya monumentalnya yang berjudul 'Democracy in America', dia berhasil menangkap denyut nadi demokrasi di Amerika Serikat yang, di masa itu, usianya masih sangat muda. Menariknya, Tocqueville memiliki pertanyaan-pertanyaan kritis yang meski sudah berusia lebih dari 200 tahun lalu tetapi masih relevan hingga sekarang.
Tocqueville lahir pada 29 Juli 1805 di Paris. Dia dibesarkan dalam keluarga aristokrat yang akrab dengan dunia pemerintahan. Masa muda Tocqueville dihabiskan dalam suasana di mana gelombang besar perubahan politik di Prancis pasca-Revolusi sedang terjadi. Itulah sebabnya dia tertarik pada isu-isu sosial dan hukum. Kesempatan besar datang padanya ketika dia ditugaskan pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara di Amerika. Namun, dia ternyata tidak hanya meneliti penjara, dia juga mengamati kehidupan demokrasi di Amerika secara luas. Dia memperhatikan bagaimana cara orang Amerika memilih, cara mereka berorganisasi hingga cara mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Hasil pengamatan Tocqueville itu kemudian dituangkan dalam dua jilid buku berjudul 'Democracy in America' yang diterbitkan berurutan tahun 1835 dan 1840. Buku tersebut bukan sekadar laporan perjalanannya selama di Amerika, melainkan juga berisi refleksinya yang mendalam mengenai demokrasi sebagai suatu sistem sosial-politik. Dia memuji Amerika karena berhasil menghadirkan kebebasan individu, kesetaraan di depan hukum, serta partisipasi warga dalam politik. Baginya, demokrasi Amerika memberi harapan baru bagi dunia yang saat itu masih banyak dikuasai oleh monarki dan aristokrasi.
Namun, Tocqueville bukan tipe pemikir yang hanya melihat sisi terang dari demokrasi. Dia juga mencatat bahaya yang mengintai demokrasi. Salah satunya adalah apa yang dia sebut tirani mayoritas, situasi ketika suara mayoritas justru digunakan untuk menekan kaum minoritas. Demokrasi, katanya, bisa berubah menjadi alat penindasan baru jika tidak ada mekanisme yang melindungi hak-hak individu. Dia juga mengkhawatirkan kecenderungan masyarakat demokratis untuk larut dalam urusan materialistik, terlalu sibuk mengejar kenyamanan pribadi hingga lupa pada tanggung jawab sosialnya.
Meski kritis, Tocqueville tetap optimis pada masa depan demokrasi. Dia melihat bahwa masyarakat Amerika memiliki cara unik untuk menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kepentingan bersama lewat asosiasi. Apa maksudnya? Orang Amerika gemar berkumpul dalam organisasi yang bersifat sukarela, baik untuk tujuan sosial, politik maupun keagamaan. Asosiasi semacam itu menurut Tocqueville, berfungsi sebagai semacam sekolah demokrasi, tempat warga belajar bekerjasama, berdebat dan berkontribusi bagi kehidupan publik tanpa harus bergantung penuh pada negara.
Pemikiran Tocqueville ratusan tahun silam sesungguhnya terasa sangat modern. Hingga hari ini saja, tantangan demokrasi yang dia paparkan masih kita alami secara nyata, seperti polarisasi politik, tekanan mayoritas terhadap minoritas, individualisme yang berlebihan hingga ancaman kekuatan besar oligarki yang bisa menggerus kebebasan. Namun, dia dengan optimis mengingatkan bahwa solusi ada di tangan warga negara itu sendiri. Demokrasi hanya bisa hidup jika masyarakat bersedia untuk aktif berpartisipasi dan memelihara rasa tanggung jawab sosial.
Tocqueville tidak hanya meninggalkan karya-karyanya dalam bentuk buku atau tulisan, tetapi juga mewariskan cermin bagi kita untuk melihat ke dalam diri masyarakat hari ini. Pertanyaan reflektifnya, apakah demokrasi yang kita jalani hari ini benar-benar sudah memberi ruang bagi kebebasan, kesetaraan dan tanggung jawab bersama?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI