Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

WILLIAM OCKHAM | Pisau Tajam dari Abad Pertengahan

18 September 2025   13:00 Diperbarui: 11 September 2025   11:45 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain soal filsafat ilmu, Ockham juga berani menggugat otoritas gereja. Ia menolak dominasi politik paus dan menegaskan perlunya pemisahan antara gereja dan negara. Pemerintahan, menurutnya, harus didasarkan pada kehendak rakyat, bukan klaim religius. Gagasan Ockham itu jelas lebih dahulu ada sebelum diskusi modern tentang sekularisme dan demokrasi (Kenny, 2005: 220).

Dalam bidang teologi, Ockham menekankan bahwa akal sangatlah terbatas untuk memahami misteri ilahi. Baginya, iman tetap memegang peran utama, tetapi akal manusia berfungsi untuk membersihkan keyakinan dari spekulasi yang tak berguna. Dengan demikian, dia menjaga iman tetap murni sambil menegaskan pentingnya kebebasan berpikir. Cerdas bukan?

Warisan Intelektual

Pengaruh Ockham meluas dan terus membesar dalam dunia skolastik, bahkan hingga pemikiran modern awal. Prinsip "pisau" yang dia rumuskan menjadi fondasi metodologis dalam ilmu pengetahuan modern, dari sains hingga filsafat analitik. Tokoh-tokoh seperti Ren Descartes dan Immanuel Kant turut mewarisi semangat kesederhanaannya dalam pemikiran sekaligus tajamnya kritik pada asumsi spekulatif yang berlebihan. Tak heran jika banyak sejarawan filsafat menyebutnya sebagai salah satu penggagas awal tradisi empirisme (Gilson, 1955: 420).

Penutup

Dari William of Ockham kita belajar bahwa kesederhanaan dalam pemikiran bukan berarti kelemahan, melainkan justur merupakan suatu kekuatan. Dalam dunia yang penuh dengan teori dan klaim, Ockham seperti mengingatkan kita untuk selalu mengasah pisau kritis kita dengan menghapus asumsi yang tak perlu, menyingkap inti yang pokok dan berani berpikir mandiri. Dalam konteks hari ini, pesan Ockham itu tentu saja masih relevan. Mencari kebenaran tak butuh jalan berliku, cukup dengan keberanian untuk memilih yang sederhana tetapi jelas.

Referensi

Copleston, F. (1993). A History of Philosophy, Vol. III: Late Medieval and Renaissance Philosophy. New York: Image Books.

Kenny, A. (2005). Medieval Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

 Gilson, E. (1955). History of Christian Philosophy in the Middle Ages. New York: Random House.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun