Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PETER ABELARD | Filsuf Cinta & Logika

9 September 2025   13:00 Diperbarui: 9 September 2025   10:41 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat-surat antara Peter Abelard dan Hlose yang tetap menarik untuk dibaca hingga kini bukan semata karena romantisme tragisnya, melainkan karena di balik kisah cinta itu hadir seorang pemikir yang menolak tunduk pada dogma tanpa perlawanan akal. Abelard bukan hanya seorang guru, melainkan simbol keberanian intelektual di abad pertengahan.

Lahir di Prancis sekitar tahun 1079, Abelard tumbuh menjadi salah satu logikawan paling menonjol pada zamannya. Ia memulai karier sebagai pengajar filsafat dan teologi, tetapi reputasinya dibangun lewat sikap kritis terhadap ajaran gereja. Dengan caranya yang lugas, ia menegaskan bahwa iman tidak boleh mematikan akal, melainkan perlu didialogkan dengan logika (Marenbon, 1997:3).


Logika: Sic et Non

Salah satu karya terpenting Abelard adalah Sic et Non. Bila diterjemahkan secara harfiah, Sic et Non berarti "Ya dan Tidak". Dalam teks tersebut, dia mengumpulkan lebih dari seratus pertanyaan teologis yang tampak saling bertentangan. Tujuannya bukan untuk menambah kepelikan dalam diskusi teologis, melainkan melatih pembaca untuk menggunakan akal budinya. Dengan kemampuan rasional, Abelard bermaksud mengajak pembacanya untuk menavigasi kontradiksi-kontradiksi dalam 100 pertanyaan teologis yang diajukannya. Dengan pendekatan dialektika, Abelard menunjukkan bahwa teologi tidak cukup disandarkan pada kutipan ayat, melainkan harus dibedah secara kritis (Abelard, 1121:Prolog).

Etika: niat di atas tindakan

Selain logika, kontribusi Abelard dalam bidang etika juga penting. Dalam bukunya yang dia tulis berjudul Ethica atau Scito te ipsum, Abelard berpendapat bahwa moralitas ditentukan oleh niat, bukan hanya oleh perbuatan lahiriah. Menurutnya, tindakan yang gagal tetapi lahir dari niat baik tetap layak dihargai, sementara tindakan "baik" yang bermula dari niat jahat tetaplah dosa (Luscombe, 1969:27). Pandangan Abelard tersebut menggeser fokus etika 'gaya' abad pertengahan menuju refleksi yang jauh lebih mendalam mengenai hati manusia.

Drama pribadi dan kontroversi

Satu hal yang perlu kita tahu adalah Abelard bukan sekadar pemikir yang kering. Kehidupannya sendiri dipenuhi konflik dan tragedi. Hubungan cintanya dengan Hlose, seorang murid sekaligus pasangan intelektualnya, harus berakhir ketika keduanya dipaksa masuk ke dalam biara. Seperti kita ketahui, biarawan dan biarawati adalah mereka yang memilih kaul kemurnian alias tidak diperbolehkan menikah. Kisah Abelard dan Hlose diabadikan dalam surat-surat yang memadukan romansa dan refleksi teologis.

Tak berhenti di situ, pandangan-pandangan Abelard lebih sering dianggap terlalu radikal oleh otoritas gereja Katolik masa itu. Akibatnya, Abelard dituduh sesat oleh gereja dan dipaksa mundur dari pengajarannya.

Mengapa pemikiran Abelard masih relevan untuk kita bicarakan hari ini? Melalui karya-karya dan kisah biografisnya, Abelard seperti mengingatkan kita bahwa beragama itu tidak berarti menutup diri pada pintu logika. Selain itu, dia juga mengajak kita untuk kritis dalam kerangka etis. Kita hendaknya menilai apakah suatu tindakan itu bermoral atau tidak bukan hanya pada tindakan atau hasilnya, melainkan harus juga mempertimbangkan niat di baliknya.

Lebih dari itu, kita perlu memiliki semangat yang sama dengan Abelard dalam berpikir kritis. Utamanya, di tengah suasana kehidupan masa kini yang riuh dan terus berubah sehingga kebenaran menjadi terasa sangat relatif. Mungkin itulah warisan terbesarnya, yaitu ajakan untuk berani mempertanyakan, bukan demi memberontak atau 'asal sulaya', melainkan demi menemukan kebenaran yang lebih mendalam.

Penutup

Peter Abelard meninggalkan jejak panjang di persimpangan filsafat, teologi, dan kisah kehidupan pribadinya sendiri. Dari logika, etika, hingga kisah cintanya, dia seolah mengajarkan bahwa kebenaran butuh nalar dan keberanian. Pertanyaannya, apakah kita, di abad ke-21 ini, masih berani memakai akal sehat untuk menantang tradisi ketika perlu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun