Konon, Sokrates pernah melontarkan kalimat legendaris: "Menikahlah. Kalau dapat pasangan yang baik, kau akan bahagia. Kalau dapat pasangan yang buruk, kau akan jadi filsuf."
Kedengarannya sederhana, tapi kalau dipindahkan ke zaman sekarang, kalimat itu seperti catatan kecil di aplikasi belanja online: "Barang yang Anda pesan mungkin berbeda warna dengan foto." Intinya: apa pun hasilnya, siap-siap aja.
Coba bayangkan kalau Sokrates hidup di era TikTok. Pagi-pagi, bukannya diskusi soal kebenaran universal, dia mungkin bikin konten lipsync sambil caption: "Hidup itu sederhana, yang ribet ekspektasi kita." Followers langsung komen: "Dalem, bang!" Padahal baru aja habis dimarahi pasangan karena salah lipat baju.
Atau bayangkan dia nongkrong di Shopee. Bukannya beli sandal Yunani, malah checkout keranjang orange isinya: tripod buat live, ringlight, dan paket hemat deterjen.
Setelah Xanthippe marah-marah, Sokrates cuma nulis review: "Setelah guntur, biasanya datang hujan. Bintang lima, meski dikirim pakai ekspedisi lambat."
Kalau malam, bukannya debat di agora, Sokrates mungkin Netflix-an bareng pasangan. Tapi kalau pasangan ngantuk dan nanya: "Kamu sebenarnya sayang aku nggak sih?" Nah, di situlah filsafat hadir. Pertanyaan eksistensial jauh lebih berat daripada drama Korea episode terakhir.
Lucunya, pola dasarnya tetap sama. Pasangan baik bikin hati hangat, pasangan penuh drama bikin kepala mikir keras. Bedanya, dulu bahan renungan datang dari dewa-dewi Olympus; sekarang, dari status WhatsApp yang dibaca tapi nggak dibalas.
Dan jangan kira jomblo lolos. Di era modern, jomblo malah punya ladang filsafat baru: kenapa match di aplikasi kencan cuma jadi "hi" lalu hilang?
Kenapa saldo e-wallet habis padahal cuma checkout kopi susu? Apakah kucing kos yang curi lauk sebenarnya utusan semesta buat mengingatkan bahwa kita harus berbagi?
Pada akhirnya, hidup ini memang seperti algoritma TikTok: kadang muncul konten yang bikin ketawa, kadang muncul yang bikin mikir, kadang muncul yang bikin menyesal kenapa scroll sampai jam 3 pagi. Tapi semua itu, kalau dilihat dengan kacamata Sokrates, bisa jadi bahan kebijaksanaan.