Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Life Is, Pohon Terang, dan Kebaikan Tuhan

27 Desember 2019   15:06 Diperbarui: 27 Desember 2019   15:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Storms happen. I can't promise that you won't get wet. I can't promise that you won't go through tough times. But I can promise that Jesus is bigger than your storm and that he is with you. The storm will end. The wind will cease. The waves will be still. Jesus will see you safely through to the other side."

(Judah Smith, Life Is)

Malam itu, pertengahan Desember 2019. Aku baru tiba di rumah pukul 21.00 Wib. Rumah sudah sepi, anak-anak tentunya sudah lelap di tempat tidurnya masing-masing. Hujan belum juga berhenti, meski tidak lagi sederas tadi sore. Perjalanan dari Jakarta ke rumah di Bekasi terpaksa ditempuh lebih dari tiga jam. Kemacetan parah memang niscaya terjadi dalam kondisi semacam itu.

Pakaian sedikit basah karena setelah turun dari bis aku harus melanjutkan perjalanan dengan ojek online untuk bisa sampai ke rumah. Setengah menggigil, aku melepas sepatu dan dan jaket. Di sudut rumah sebuah pemandangan membuatku terdiam. Sebuah pohon natal/pohon terang, tidak mewah, menjulang indah lengkap dengan hiasan dan lampunya.

Mendadak aku duduk di sofa dan sejenak memandangi suasana baru di rumah. Lampu hias berwarna warni kelap kelip dibiarkan menyala, mungkin didedikasikan anak-anak dan istri buat papa yang pulangnya selalu larut.

Aku sedikit merasa bersalah. Beberapa hari lalu istriku memang berkata bahwa anak-anak sudah bertanya kapan pohon terang dipasang di rumah kita. Aku tidak banyak bereaksi saat itu karena pikiran banyak terbuang pada pekerjaan. Akhirnya istri membeli sendiri via online. Tidak disangka pohon yang dipesan tersebut sudah tiba bahkan terpasang.

Aku membayangkan ketiga anak kami tentunya sangat gembira saat Pak Pos atau jasa pengiriman tiba tadi siang, dan pastinya mereka dengan antusias bekerja sama dan menyusun hingga pohon itu terpasang dengan indah. Dan sepertinya susah payah mereka terbayar dengan sebuah persembahan buat papanya.

Lantas memoriku melayang ke sana kemari. Teringat ketika masih anak-anak dan remaja, memasang pohon terang dan hiasannya adalah kebahagiaan yang tidak terkira. Dan setelah Desember berakhir, menyimpan kembali pohon tersebut ke dalam kotaknya selalu disertai kata-kata,"Sampai bertemu kembali di Desember nanti.."

***

Puluhan tahun kemudian, hal yang sama masih bisa kurasakan, kini melalui anak-anakku. Ya, pada akhirnya memiliki mereka adalah anugerah yang sangat besar dan luar biasa bagiku. Dan mereka lah kemudian yang menjadi tonggak-tonggak refleksi dan sekaligus dedikasi dalam hidupku. Bagaimana tidak, pada momen kelahiran ketiga anak kami memiliki cerita masing-masing.

Anak pertama lahir pada saat aku berada di awal mengembangkan karir di Kota Dumai tahun 2010. Kerja keras setiap hari dan tidak jarang harus lembur, hingga saat-saat istriku melahirkan sudah di depan mata. Gugup dan kuatir membayangiku saat itu, terlebih ketika aku harus mendampingi istri yang harus masuk ruang operasi. Malam sebelumnya istriku membangunkanku dan berkata bahwa dia merasa seperti (maaf) ngompol di kasur. Ternyata air ketuban sudah keluar. Pukul 2.00 Wib subuh kuhantar istri ke rumah sakit. Namun sampai menjelang siang dia tidak mengalami rasa sakit atau kontraksi apapun. Kebetulan pula dokter yang selama ini istriku berkonsultasi sedang berada di luar kota. Akhirnya dokter pengganti menyarankan untuk operasi demi keselamatan bayi dan ibunya. Detik dan menit berlalu, hingga akhirnya suara tangisan bayi laki-laki pecah dari ruang operasi, demikian pula air mata yang tidak bisa kubendung. Saat itu aku resmi menjadi seorang ayah.

Empat tahun kemudian, saat itu Desember juga. Aku masih di salah satu rumah sakit di Jakarta bersama si abang mendampingi istri menjelang lahirnya anak kedua. Saat itu aku musti bolak-balik Bandung-Jakarta karena sedang menyelesaikan studi magister di Kota Bandung. Anak perempuanku lahir di tengah hujan deras dan lagu-lagu Natal yang terdengar dari perayaan pegawai rumah sakit. Sambil menemani istri dan anak-anak yang terlelap di malam itu, aku membuka laptop untuk menyelesaikan tugas ujian semester yang mana besok aku harus kembali ke Bandung untuk mempresentasikannya.

Anak ketiga lahir di Kota Medan, di penghujung tahun 2018. Saat itu aku baru saja dua minggu pindah tugas ke Jakarta, namun belum membawa keluarga. Lagi, aku musti bolak-balik Jakarta-Medan untuk mendampingi istri dan anak-anak. Sekitar pukul 08.30 Wib pagi tangisan si bungsu keras memecah keheningan doaku. Namun setelah 30 menit aku dipanggil suster, menunjukkanku bahwa pada pernafasan si kecil ada masalah dan harus dipasang oksigen. Mereka bilang anakku nangisnya tidak kencang. Lantas kudekati bayi ini dan menyuruhnya untuk menangis. "Ayo dek, nangis yang kencang," kataku. Serta merta dia menangis kencang sekali, namun tidak lama. Hal itu sempat membuat dokter dan perawat terdiam.

Akhirnya si kecil tetap harus diobservasi dan masuk ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) selama sepuluh hari. Dan pada saat yang sama aku harus kembali ke Jakarta karena tidak bisa menambah hari cuti. Kondisi istri yang masih lemah, dan kedua kakaknya juga membutuhkan perhatian, cukup merepotkan dan menguras energi pada hari-hari tersebut.

Suatu kali aku melihat jarum infus yang semula dipasang di tangan harus dipindahkan ke kakinya. Jeritan suaranya menahan sakit sungguh menyesakkan dada. Dari balik pintu kaca ruang NICU itu aku berjanji akan membawamu pulang ke rumah dengan sehat. Akhirnya Puji Tuhan anak kami diperbolehkan keluar dari NICU. Kondisnya pun semakin baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga Desember ini usianya genap setahun dan sudah bisa berjalan.

***

Judah Smith adalah salah satu penulis buku rohani favorit saya. Beberapa bukunya benar-benar mengupas sisi kemanusiaan yang paling rentan dan otoritas Tuhan dalam semua aspek kehidupanya, salah satu buku tersebut berjudul Life Is.

Dalam buku tersebut Judah mengulas tentang kasih Tuhan yang begitu besar meskipun kita sedang berada dalam kesulitan dan penderitaan. Salah satunya adalah tentang tonggak/ tanda sesuatu yang menjadi pengingat kita; bahwa suatu kali kita pernah berada dalam situasi yang paling mengerikan, namun jika sampai saat ini kita masih mampu bertahan, itu semua bukti kasih Tuhan. Bagi saya, tonggak refleksi akan kasih Tuhan adalah anak-anak saya, sebagaimana kisahnya saya bagikan di atas.

Karena itu setiap kali aku dan istri melihat perkembangan masing-masing mereka, kami diingatkan betapa sulitnya situasi yang pernah kami alami pada saat-saat kelahiran mereka. Kami akhirnya menyadari betapa bertanggungjawabnya Tuhan. Dalam kondisi yang seolah-olah tiada harapan, Dia hadir dan menyelesaikan bagi kita.

Seperti sahabat terbaik yang mau "pasang badan" saat sahabatnya diserang oleh orang-orang jahat sambil bilang, "Loe jangan berani macam-macam ya, ini teman gue!"; dan orang-orang jahat itu langsung diam dan kabur. Atau seperti seorang pengacara mau habis-habisan membela perkara orang lain tanpa bayaran. Tak jarang pula kami merasa kehadiran dan campur tangan-Nya seperti misteri yang tak terduga-duga namun sangat presisi (pas dan tepat banget).

Oleh karena itu saat pohon terang sudah terpasang di rumah, kami tahu bahwa Tuhan sudah pelihara kami dan anak-anak sepanjang tahun 2019. Dan itu membuat keyakinan bahwa tahun 2020 pun pastinya demikian. Kita tidak bisa menduga-duga apa yang akan terjadi, namun yang pasti Tuhan selalu hadir, sambil dengan sabar terus mengajar kita untuk bertumbuh di dalam kasih, berakar dalam kebenaran, dan memberi buah berkat bagi sesama.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Dan pada akhirnya semuanya bermuara pada pemenuhan kesadaran kita akan kasih-Nya yang tak terukur tersebut. Bagi kami itulah makna Natal. Dia Tuhan yang maha hadir, Dia Tuhan yang maha setia, dan kepada-Nya kita harus percaya. Sebagaimana mengutip David Banner dalam bukunya The Gift of Being Yourself, "Seandainya kita berani memercayai kebaikan Allah, maka kita akan menemukan bahwa segala sesuatu yang paling kita rindukan sesungguhnya adalah milik kita di dalam Allah".

Selamat Natal, 25 Desember 2019 dan menyambut Tahun Baru 01 Januari 2020.

Jakarta, Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun