Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga?

10 Maret 2017   12:29 Diperbarui: 10 Maret 2017   12:40 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: http:www.katamami.com

Pantun lama yang sudah banyak kita kenal sejak masa kecil kembali terngiang di telinga saya. Ibarat nila yang hanya secuil namun efek dan dampaknya sangat luas. Tapi benarkah demikian? Bagaimana akhir dari pantun ini sebenarnya?

Saya membuka pembahasan kita kali ini karena sudah mengamati beberapa waktu belakangan mengenai kasus Ahok. Sebuah kasus yang semakin meluas dan seperti tidak ada ujungnya. Setidaknya bagi sebagian pihak. Sudah banyak artikel tentang Ahok yang anda baca tentunya, terlepas dari anda penggemar atau pembenci Ahok.  Seakan-akan tidak ada habisnya berita di negeri ini kalau membahas tentang Ahok. Tapi jarang yang membahas mengapa fenomena Ahok terus membesar seakan tidak ada habisnya?

Sebagian besar mengadilinya dengan agama, sebagian lagi dengan etika. Semua pihak yang menentangnya menggunakan sebuah standar yang diyakini sebagai bentuk jaminan keadilan bagi semua pihak, tentu dengan restu surgawi. Sebuah klaim yang membuat sebagian orang mempertanyakan surga yang mana? Tidak, saya tidak sedang melakukan sarkasme. Bahkan tidak ada niatan kesana sama sekali. Hanya saja saya melihat bahwa saat ini semakin banyak nalar yang tidak dipakai dengan selayaknya dalam membahas mengenai Ahok.

Tindakan vs Bicara

Bagi saya, mengagumi seseorang itu setelah melalui beberapa proses. Tidak selamanya berjalan mulus dan lancar. Sering juga ada keraguan bahkan masa transisi dimana beberapa saat saya bisa saja tidak mempercayainya. Tapi yang menjadi faktor penentu adalah hasil akhir dari pengamatan dan pembuktian sendiri di lapangan. Saya tidak mempercayai berita maupun kisah jika tidak langsung membuktikannya sendiri. Sebuah proses validasi yang memiliki dasar yang kuat tanpa memihak kemana-mana selain hanya kepada bukti dan data.

Setiap berkunjung ke Jakarta saya selalu melakukan survey kecil. Baik kepada supir taksi atau pengemudi lainnya. Banyak pertanyaan yang saya tanyakan. Terutama tentang kondisi Jakarta dan tentu juga pemerintahan serta pemimpinnya. Selama ini tidak ada suara yang menentang Ahok secara signifikan menurut survey kecil-kecilan yang saya dapat. Semua melihat sendiri bukti keseriusan Ahok dalam bekerja dan mengurus masyarakat DKI. Dan tentu saya melihat sendiri bukti langsung dengan mendatangi beberapa tempat yang diberitakan sudah berubah sejak Ahok menjadi Gubernur. Jadi tidak seperti kebanyakan netizen yang bukan penduduk Jakarta atau hanya mendengar berita, saya melihat dan membuktikan sendiri.

Lalu kenapa masih banyak yang menentangnya? Saya kira sangat logis kalau perubahan selalu menghasilkan ketidaknyamanan. Bahkan bagi pendukungnya juga diawal-awal. Beberapa pihak yang merasa terganggu akibat ulah Ahok melakukan gerakan melawan. Tapi sampai kapan dan bagaimana? Setidaknya kita bisa melihat usaha mereka saat ini. Ternyata harus kita akui sangat besar dan masif. Bahkan ketika masalah penistaan agama muncul, keseleo lidah Ahok seakan-akan menjadi pengakuan dosa terbesar yang pernah ada. Terasa semakin lama semakin absurd. Setidaknya menurut pendapat saya pribadi.

Pasti di linimasa medsos anda pernah menjumpai ujaran kebencian mengenai Ahok bukan? Selain pujian dan dukungan tentunya? Lalu anda memilih mana? Pro atau kontra? Semoga saja anda menggunakan nalar dan bukan imajinasi dalam menganalisa kasus Ahok. Bagaimana mungkin imajinasi? Saya punya beberapa alasan.

Pemimpin Yang Baik Tidak Selalu Sempurna. Ya, dia bisa saja melakukan kesalahan dan itu sangat manusiawi. Yang saya lihat adalah sebagian besar penentang Ahok selalu membuat standar kesempurnaan menjadi tolak ukur akhir. Menurut saya hal itu sangat absurd karena mustahil seorang manusia bisa sempurna apalagi di belantara Jakarta hehehe... Yang  menjadi tolak ukur saya adalah: ada yang lebih baik tidak? Kalaupun ada, lalu bagaimana menemukan orangnya? 

Yang paling menyedihkan adalah tuntutan akan kesempurnaan fisik dan latar belakang. Seandainya saja - imajinasi sebagian orang - Ahok muslim dan bukan bermata sipit, maka sempurnalah dia sebagai pemimpin. Karena kalau sudah sempurna maka dia akan santun dan adil. Kisah inilah yang digaungkan diberbagai tempat dinegeri ini. Dan kasus ini sudah menjadi cerita yang dipahami banyak remaja dan pemuda-pemudi di Indonesia. Bahwa kalau mau jadi pemimpin ya harus memenuhi syarat itu. Apakah benar standar kesempurnaan itu? Bukankah model pemimpin yang harus seiman yang selalu bergaung belakangan ini? 

Keadilan Sosial atau Golongan Tertentu. Masalah penistaan agama menurut hemat saya sudah melebihi koridor hukum yang wajar. Bagaimana tidak. Sebagian masyarakat terusik kenyamanannya, tapi sebagian besar malah memaksakan kehendak. Kalau memang adil, bukankah suara putaran pertama di Pilkada DKI sudah mencerminkan suara sosial masyarakat? Bahwa sekian puluh persen memihak Ahok? Lalu apakah pendukungnya Ahok dianggap tidak ada? Atau bukan bagian dari masyarakat DKI?

Ditengah kompleksitas kehidupan dan politik, bisa diterima akal sehat kalau kompromi adalah salah satu bentuk kesepakatan yang bisa diterima semua pihak. Jadi wajar saja kalau seorang pemimpin harus bisa memperlakukan semua masyarakat dengan adil. Namun publik juga perlu sadar bahwa pemimpin tidak hanya muncul dari satu golongan tertentu saja.

Terlepas dari kontroversi Ahok, saya menilai bahwa kita sebagai masyarakat Indonesia semakin tidak adil secara sosial dan cenderung memihak golongan tertentu.

Paradoks Kaum Reliji

Sisi relijius sebagian besar masyarakat dimanfaatkan sepihak oleh sebagian oknum dalam melakukan berbagai tindakan yang kita lihat bersama lebih banyak menimbulkan masalah dibanding manfaat. Doa bersama dibuat menjadi ajang pamer kekuatan. Dukungan publik dibelokkan menjadi penekan pemerintah. Semua jauh dari sisi kebaikan dan kedamaian. Yang dituju adalah mencapai yang diinginkan dan hanya yang diinginkan. Bila tidak, maka apapun itu harus dilawan.

Kalau sudah sampai pada titik ini, siapakah nila yang dimaksud dalam pantun tadi? Apakah Ahok? Atau yang lain?

Bisakah kita mengganti nila tadi dengan sebuah kata yaitu kebencian. Karena kebencian maka rusaklah persatuan kita semua. Bukankah itu yang kita lihat belakangan ini. Atas nama agama, solidaritas atau apapun itu. Nalar menjadi tumpul dan suara yang berbeda harus dibungkam. Tidak ada lagi yang bisa bicara karena sudah dalilnya. Jadi sekarang apakah membangun kebencian yang tiada henti itu adalah cerminan iman yang baik? Entahlah.

Kebencian ini kini merebak tidak hanya soal pemimpin. Apapun yang beda pasti dihantam. Bisa jadi pemerintah, teman sekerja bahkan tetangga. Contohnya hinaan tiada henti terhadap Presiden Jokowi, atau bully netizen terhadap SBY. Dan kita bisa ambil kasus terbaru tentang seorang ustad yang dipaksa turun dari pengajiannya. Bukankah itu hanyalah sebuah contoh dari berbagai kasus yang semakin menunjukkan kalau pemaksaan kehendak sudah menjadi trend disekitar kita? Haruskan begitu caranya? Tidak adakah cara lain yang lebih "santun" dan "beradab"?

Kalau dahulu ada kasta tinggi dan rendah, maka saat ini ada kasta "kawan" dan "musuh". Benar dan salah bukan hal utama. Yang penting adalah pelepasan emosi dan rasa benci yang meluap-luap. Disatu sisi mungkin berawal dari perbedaan ide politik sebenarnya, tapi kini kita melihat perbedaan itu sudah mengarah bahkan ke ideologi dan agama, Artinya demokrasi dan Tuhan pun ikut digugat.  Lama kelamaan sakit jiwa satu bangsa.. hehehe...

Bagi saya, menerima perbedaan dengan lapang dada adalah salah satu bentuk demokrasi yang bertanggung jawab. Artinya, bisa saja saya tidak menyetujui tindakan para pembenci Ahok. Bisa saja saya tidak sependapat soal tuduhan penistaan agama yang dilakukannya. Saya lebih memilih untuk membuktikan sendiri kinerja dan hasil nyata dari pemerintahannya karena sebagai penduduk berKTP Jakarta, saya menjadi saksi langsung dilapangan. 

Tapi apakah semua itu membuat saya menjadi seorang pembenci kaum penentang Ahok? Malah tidak sama sekali. Kita hidup di alam demokrasi. Rambut sama hitam, tapi isi kepala siapa yang tahu? Saya suka melihat kompetisi Pilkada kali ini. Sebuah sistem yang memang tidak sempurna, tapi setidaknya lebih fair dibanding demo dan berbagai unjuk rasa lainnya. 

Hanya pencitraan? So what? Demo juga adalah pencitraan dengan resiko masalah besar menurut saya. Bagi kehidupan berpolitik masyarakat kita, saya kira kompromi masih bisa jadi solusi dibanding demo pemaksaan yang tiada akhir. Sudah masanya model unjuk kekuatan / otot ala demo jalanan tidak menjadi kebiasaan. Terkadang bisa menjadi solusi disaat darurat. Tapi kalau sudah terlalu sering malah menjadi fenomena biasa alias kurang menggigit. Lihat saja demo bela-bela sekarang? Masih ada jejak dan gaungnya di era korupsi E-KTP yang super dahsyat?

Jadi saya sendiri berkompromi dan tersenyum kalau menyaksikan makian tiada henti terhadap Ahok. Kadang saya ikut berimajinasi juga: Menurut mereka yang membuat Ahok begitu siapa? Setan atau Tuhan? 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun