Mohon tunggu...
Samuel Purba
Samuel Purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

samskuy

Selanjutnya

Tutup

Money

Konsep Pemajakan BUT di Era Ekonomi Digital

9 Oktober 2021   10:19 Diperbarui: 9 Oktober 2021   10:42 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang terjadi saat ini tidak dapat dihindarkan, baik dibidang pendidikan, kebudayaan, globalisais, politik bahkan ekonomi. Kemajuan di bidang teknologi ini memberikan dampak positif walaupun sebenarnya juga memiberikan beberapa dampak negatif. Saat ini masyarakat bisa berbelanja tanpa perlu pergi ke pasar, karena hampir semuanya bisa dilakukan secara online. Transaksi ekonomi antar negara pun bisa dilakukan dengan mudah melalui transaksi ekonomi digital tanpa harus berkunjung ke negara lain tempat kegiatan ekonomi akan dilakukan. Ini semua merupakan dampak positif dari kemajuan teknologi bagi kehidupan manusia. Tapi disisi lain, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sistem perpajakan di setiap negara. Peraturan yang dulunya dibuat untuk transaksi konvensional, sekarang harus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan jaman dengan kemajuan teknologi yang terjadi saat ini.

Permasalahan ini merupakan tugas yang bisa dibilang cukup berat mengingat otoritas perpajakan memiliki target pendapatan untuk negara disetiap periodenya. Yang dahulu bisa mengenakan pajak dengan tepat dan kompleks, sekarang harus melakukan penyesuaian karena banyak transaksi yang berpindah dari transaksi konvensional menjadi transaksi berbasis digital. Permasalahannya adalah peraturan perpajakan yang ada sekarang belum melakukan penyesuaian terhadap perkembangan teknologi dan kemajuan jaman. Oleh karena itu, harus segera dilakukan penyesuaian peraturan perpajakan untuk mencegah hilangnya potensi perpajakan akibat kemajuan teknologi saat ini. Transaksi ekonomi digital ini menjadi fokus utama Organisation for Economic Coo-peration and Development (OECD). OECD adalah organisasi ekonomi internasional yang secara teratur menerbitkan laporan yang menganalisis dan membandingkan kebijakan ekonomi negara-negara anggotanya. Organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi OECD didirikan pada rahun 1961 dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia. Markas OECD berada di Paris, Prancis.

Pada prinsipnya, perusahaan memiliki dua pilihan untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar negaranya. Tentunya ekspansi ini bertujuan untuk memperluas ruang lingkup bisnis nya demi memperoleh profit yang lebih besar. Yang pertama, perusahaan bisa mendirikan cabang perusahaan di negara lain, dengan demikian perusahaan bisa melakukan control bisnis secara langsung. Yang kedua, perusahaan bisa membentuk anak perusahaan di negara lain. Anak perusahaan merupakan entitas yang berbeda dengan induk perusahaan, sedangkan cabang perusahaan adalah entitas yang sama dengan induknya, sehingga kedua hal ini menimbulkan perlakuan perpajakan yang berbeda. Tapi satu hal yang pasti, negara sumber akan memajaki perusahaan baik cabang maupun anak perusahaan yang ada di negaranya. Fokus artikel ini adalah membahas isu pemakajan terhadap cabang perusahaan luar negeri yang ada di negara lain, yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha yang biasanya digunakan oleh subjek pajak luar negeri baik itu subjek pajak orang pribadi maupun badan guna untuk menjalankan usaha atau menjalankan kegiatannya di Indonesia.

Aturan perpajakan saat ini mengharuskan adanya kehadiran fisik sebagai syarat terpenuhinya definisi bentuk usaha tetap. Secara umum, definisi bentuk usaha tetap dalam P3B terbagi menjadi dua, yaitu :

  • Basic rule
  • Model P3B UN maupun OECD menegaskan bahwa ada tiga kriteria agar suatu BUT terbentuk.
  • Syarat yang pertama adalah place of business. Kriteria ini terpenuhi saat terdapat tempat untuk melakukan kegiatan bisnis, seperti gedung, ruangan atau suatu tempat apapun yang bisa dijadikan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) untuk melakukan kegiatan bisnisnya. Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar negeri yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari negara lain selain negara kedudukannya, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Tempat ini bisa bersifat milik sendiri maupun disewa.
  • Kriteria yang kedua adalah a fixed place. Kriteria ini terpenuhi jika mencakup dua aspek, yaitu geografis dan temporal. Geografis artinya subjek pajak luar negeri tetap berada pasa suatu titik geografis tertentu untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan temporal artinya subjek pajak luar negeri melakukan kegiatan bisnisnya untuk kurun waktu tertentu juga, walaupun aturan yang berlaku tidak menyebutkan ketentuan mengenai Batasan kurun waktu tersebut.
  • Kriteria yang ketiga adalah carrying on business. Artinya subjek pajak luar negeri lah yang harus menjalankan kegiatan bisnis di tempat tersebut. Dalam hal ini subjek pajak bisa melakukannya dengan langsung ataupun menugaskan agen untuk melakukan kegiatan bisnisnya, yakni dengan mensubkontrakkan kegiatan bisnis tersebut.
  • Deemed rule
  • BUT dianggap terbentuk walaupun basic rule tidak terpenuhi. Terdapat beberapa jenis BUT yang termasuk dalam kategori ini, yaitu, BUT Jasa, BUT Proyek  (Konstruksi, Instalasi, Perakitan), BUT Agen, dan BUT Asuransi. BUT Jasa akan terbentuk apabila terdapat penyediaan jasa yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri dengan memerhatikan time test yang berlaku. Begitu juga terhadap BUT agen, akan terbentuk dengan syarat agen memiliki dan biasa menjalankan kewenangan untuk menutup kontrak atas nama subjek pajak luar negeri. Syarat terbentuknya BUT Proyek adalah menggunakan time test juga. Perlu diketahui bahwa time test untuk setiap P3B bervariasi, tapi pada umumnya adalah 183 hari. Selain itu, kita juga perlu mengetahui bahwa tidak ada ketentuan mengenai deemed rule pada model P3B OECD, sehingga  syarat terbentuknya BUT menurut model P3B OECD adalah harus terpenuhinya syarat basic rule.

Dari penjelasan tersebut, ketentuan pajak yang mengatur keberadaan BUT masih mengharuskan kehadiran fisik sebagai syarat terbentuknya BUT. Hal ini menjadi tidak relevan dengan kondisi sekarang, dimana model bisnis digital sekarang ini menggunakan jaringan internet dan property lain dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Jaringan internet dan properti lainnya ini memiliki sifat tidak berwujud, seperti software, securities dan goodwill, sehingga hal ini tidak memenuhi kriteria adanya bentuk fisik. Tidak ada kehadiran fisik berarti tidak terpenuhinya syarat dan ketentuan pembentukan BUT. Artinya, tidak ada BUT (Bentuk Usaha Tetap) maka tidak ada pajak.

Apa yang dimaksud dengan pajak di era digital? Pajak di era digital adalah pajak yang dikenakan terhadap pihak yang memanfaatkan teknologi internet dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Digitalisasi ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu negara, tapi disisi lain peraturan saat ini belum bisa menangkap potensi pajak terhadap kondisi seperti itu. Dengan adanya teknologi, transaksi ekonomi dan bisnis antar negara bisa dilakukan tanpa adanya kehadiran fisik, dan hal inilah yang menjadi isu permasalah dalam dunia perpajakan internasional saat ini.

Karena peraturan perpajakan saat ini belum mengatur mengenai perpajakan dalam dunia ekonomi digital, banyak perusahaan yang memanfaatkan hal ini untuk menghindari pajak. Misalnya, mereka mengalihkan sistem bisnis mereka yang tadinya transaksi harus terjadi secara langsung, maka sekarang bisa dilakukan secara online. Disamping mengurangi biaya bisnis, hal seperti ini juga bisa menghindari pajak. Tentu hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan karena bisa mengurangi dua biaya sekaligus. Istilahnya adalah sambil menyelam minum air.

Selain menghindari pajak dengan cara tersebut, penghindaraan status BUT juga bisa dilakukan dengan cara memecah kegiatan ekonomi bisnis agar memenuhi kriteria pengecualian BUT, yakni menjadi kegiatan persiapan dan penunjang. Mengacu pada pasal 5 (4) model P3B UN, aktivitas yang bersifat persiapan atau penunjang didefinisikan sebagai penggunaan fasilitas semata-mata untuk penyimpanan atau pameran barang atau barang dagangan milik perusahaan, pengelolaan persediaan barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata untuk tujuan disimpan atau dipamerkan, pengelolaan persediaan barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata untuk tujuan pengolahan oleh perusahaan lain, dan sebagainya. Alasan yang mendasari pengecualian ini adalah bahwa BUT seharusnya terbentuk jika terdapat keterkaitan yang memadai dengan negara sumbernya. Sementara terkait kegiatan persiapan dan penunjang, hal ini dianggap belum memiliki keterkaitan ekonomi dengan negara sumber sehingga dikecualikan dari terbentuknya bentuk usaha tetap.

 Misalnya, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang penjualan mainan anak-anak secara online, mendirikan gudang di negara lain yang bertujuan untuk tempat penyimpanan barang yang akan dijual di negara tersebut. Hal ini bertujuan untuk efisiensi dan meningkatkan kinerja perusahaan tersebut. Sebenarnya gudang tersebut merupakan salah satu inti kegiatan bisnis, tapi perusahaan tersebut mengatakan bahwa gudang tersebut merupakah tempat persiapan bisnis karena mereka ingin melakukan pameran, sehingga gudang tersebut tergolong sebagai kegiatan persiapan dan penunjang dan memenuhi syarat tidak terbentuknya BUT, padahal jika ditelusuri lebih lanjut, kinerja perusahaan tersebut sangat bergantung pada keberadaan gudang tersebut. Lagi dan lagi, hal ini menyebabkan bentuk usaha tetap tidak terbentuk yang menyebabkan tidak ada pajak yang dikenakan atas kegiatan perusahaan  melalu pendirian gudang tersebut.

Hal ini menggambarkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini yang mengatur mengenai ketentuan terbentuknya bentuk usaha tetap hanya melalui kehadiran fisik dan kegiatan yang bukan merupakan kegiatan penunjang dan persiapan perlu dikembangkan dan disesuaikan, terlebih untuk menghadapi kondisi ekonomi digital saat ini. Salah satunya adalah dengan melalui pembaruan konsep nexus.

Istilah nexus di dunia perpajakan digunakan untuk menggambarkan perusahaan yang memiliki tanggungan pajak di suatu negara. Karakter model bisnis perusahaan teknologi multinasional yang semakin lengkap dan kompleks mendorong perlu dilakukannya penyesuaian terhadap aturan yang mengatur mengenai penentuan nexus untuk tujuan perpajakan. Penyebabnya, pengaturan nexus yang saat ini masih bergantung kepada kehadiran fisik menjadi tidak relevan dengan kondisi sekarang.

Ketentuan mengenai anti penghindaran pajak di masing-masing negara, baik unilateral, bilateral maupun multilateral yang berlaku saat ini dan yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman ini, mendorong menteri keuangan di negara-negara G20 untuk mulai membahas suatu agenda mengenai bagaimana cara untuk mencegah penghindaran pajak yang diakibatkan kemajuan teknologi dalam hal transaksi secara internasional. Agenda ini dikenal dengan nama BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). G20 adalah kelompok informal dari 19 negara dan Uni Eropa, serta pewakilan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB).

Pada dasarnya BEPS merupakan dua terminologi yang berbeda namun saling berkaitan satu sama lain. Base erosion mengacu pada penggerusan basis pajak yang berpengaruh secara negatif terhadap penerimaan pajak domestik, kedaulatan, serta mencederai prinsip keadilan pajak. Sementara itu, salah satu cara untuk menggerus basis pajak adalah melalui pengalihan laba (profit shifting). Menurut OECD, BEPS berkaitan erat dengan upaya memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antarnegara yang berbeda yang berakibat pada berkurangnya pajak terutang maupun tidak adanya pemajakan sama sekali (double non-taxation).

Terdapat tiga tujuan diadakannya proyek anti BEPS. Yang pertama, proyek anti BEPS ini berupaya untuk mencegah dan mengurangi tergerusnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan usaha. Yang kedua, proyek anti BEPS memastikan bahwa pajak dikenakan di lokasi (negara atau yurisdiksi) aktivitas ekonomi dilakukan yang memberikan kontribusi pada terbentuknya penghasilan. Serta yang ketiga, proyek anti BEPS bertujuan untuk merumuskan ulang sistem pajak yang lebih adil.

Berbicara mengenai pembaruan konsep nexus, hal ini sesuai dengan sebagaimana disebutkan dalam BEPS Rencana Aksi 1. BEPS rencana aksi 1 ini memberikan pilihan kepada negara-negara untuk mendefinisikan ulang pembentukan BUT yang tadinya harus memenuhi syarat kehadiran secara fisik, sekarang berubah menjadi kehadiran ekonomi yang signifikan. Maksud dari kehadiran ekonomi yang signifikan ini adalah hubungan secara ekonomi yang erat dengan negara sumber tanpa mempermasalhkan adanya kehadiran secara fisik ataupun tidak. Meskipun kegiatan bisnis yang dilakukan melalui transaksi secara online, hal ini tetap menimbulkan bentuk usaha tetap. Ini adalah tujuan dari BEPS rencana aksi 1.

Pembahasan mengenai isu BEPS tadi terdiri dari 15 rencana aksi atau isu BEPS. Adapun 15 aksi BEPS tersebut ialah Rencana Aksi 1, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Rencana Aksi 2, menetralisasi hybrid mismatch arrangement. Rencana Aksi 3, ketentuan controlled foreign companies (CFC). Rencana aksi 4, membatasi biaya bunga pinjaman afiliasi. Rencana Aksi 5, menangkal harmful tax practice. Rencana Aksi 6, menutup celah penyalahgunaan tax treaty. Rencana Aksi 7, mencegah penghindaran status BUT. Rencana Aksi 8 smapai 10, membahas mengenai transfer pricing dan pembentukan nilai. Rencana Aksi 11, membahas mengenai analisis data BEPS. Rencana Aksi 12, membahas mengenai mandatory disclosure rule. Rencana Aksi 13, membahas mengenai tiga pendekatan dokmentasi transfer pricing. Rencana Aksi 14, membahas mengenai bagaimana menyelesaikan sengketa dengan mutual agreement. Dan terakhir Rencana Aksi 15, membahas mengenai instrument multilateral proyek BEPS

Untuk dapat memberikan solusi yang tepat atas permasalah mengenai pemajakan dalam ekonomi digital yang terjadi saat ini, kita harus dapat mengidentifikasi isu yang muncul mengenai bagaiman penentuan BUT dalam ekonomi digital.

Isu yang pertama membahas mengenai apakah website memenuhi definisi BUT. Jika didefinisikan, website merupakan kumpulan halaman web yang dapat diakses publik dan saling terkait yang berbagi satu nama domain. Hal ini menunjukkan bahwa website tidak memiliki bentuk fisik, sehingga bertentangan dengan definisi tempat usaha tetap yang secara fisik harus dapat diidentifikasi.

Isu yang kedua membahas mengenai apakah server memenuhi definisi BUT. Sever adalah peralatan yang dapat digunakan untuk menyimpan  data maupun software yang kemudian digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Karena merupakan peralatan, maka server ini memenuhi kriteria adanya kehadiran secara fisik. Ketika kehadiran secara fisik ini terpenuhi, maka kita juga harus mengidentifikasi apakah kegiatan yang berhubungan dengan server ini merupakan kegiatan persiapan dan penunjang atau tidak.

Isu yang ketiga membahas mengenai apakah Internet Service Provider (ISP) yang berstatus subjek pajak luar negeri membentuk badan usaha tetap melalui keberadaan server di suatu negara yang digunakan dalam kegiatan usahanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun