Sepanjang periode presiden kedua, terdapat dua peristiwa yang menggambarkan diri sebagai pembangkangan. Pertama, ketika Jenderal Soemitro, bekas Panglima Mulawarman, berseteru dengan Ali Soemitro, bekas orang dekat presiden. Kedua, tatkala Jenderal LB Mordani menolak Soedharmono sebagai wakil presiden, meskipun dia kemudian menjadi Menhankam yang mengurus portofolio pertahanan. Tetapi, lepas dari kedua peristiwa ini, Jenderal Soeharto sendiri turun dari kekuasaaannya bukan karena konflik dengan militer. Dia tidak jatuh karena militer karena para perwira tinggi telah diatur dengan cara stick and carrott.
Presiden kelima telah mengatur supaya panglima tentara dipimpin secara bergiliran sesuai matra, tetapi itu mungkin bisa dilaksanakan sesuai kepentingan politik presiden sebagai panglima tertinggi. Maka eskalasi 2024 memang masih panas, karena kelompok penentang Jokowi masih dianggap cukup kuat. Bagaimanapun, negara tidak boleh kalah dengan orang-orang penolak Pancasila.
Dan meskipun kini suasana sudah jauh berubah, perbaikan demi perbaikan berjalan sangat lambat karena sebagian besar anggota masyarakat masih terhipnotis dengan agama. Terlalu banyak juga orang sipil yang tidak paham apa artinya menjalankan Demokrasi (secara berkualitas). Polisi tidak boleh lagi sembarang pukul dan tentara tidak boleh diam ketika Covid-19 menjadi musuh yang tidak terlihat.
****
Referensi:
David Apter, Pengantar Analisa Politik (1995)
Harold Crouch, Militer & Politik Indonesia (1996)
Salim Said, Road To Power (1983)
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia (2002)