Mohon tunggu...
Samhudi Bhai
Samhudi Bhai Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kompasianer Brebes Community (KBC)-68 Jawa Tengah -Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wanita Pencari Rumput

1 November 2020   07:36 Diperbarui: 1 November 2020   07:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dengan dua anaknya mencari rumput. Sumber: imadr.wordpress.com diolah: kompasiana.com/samhudibae

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh nanah penuh darah. Seperti udara kasih yang Engkau berikan tak mampu ku membalas, Ibu..

Tukar peran rumah tangga dengan syair Iwan Fals berjudul Ibu ini, semoga mampu mengangkat kisah nyata seorang ibu yang berprofesi sebagai tukang luruh suket (ngarit). Saya ulas pada artikel ini dengan fakta apa adanya.

Sebagai bentuk terima kasih Saya pada Sang maha pencipta, Allah swt. Yang telah memberikan pada Saya seorang Ibu bijaksana dalam rumah tangga.

Bukan hal yang tabu jika dalam sebuah rumah tangga peran seorang Ibu menggantikan Ayah. Sebab justru pernah Saya alami pada waktu saya masih kecil.

Ketika masih duduk dibangku Mts (madrasah tsanawiyah) pada 2017 lalu, orang tua saya mempunyai ternak kambing sehingga pemandangan ortu pencari rumput bagi saya sudah terbisa.

Ibu, seharusnya menjadi peran kedua setelah Ayah, namun waktu itu sudah menggantikan posisi Ayah sebagai peran utama untuk menghidupi keluarganya. Terkadang kuli keorang lain disawah dengan cara gendong bawang merah dipuggungnya. Terkadang mencangkul dikebun sendiri.

Luar biasa, tanggung jawab seorang ibu yang mampi mengimplementasikan kehidupan sebuah keluarga kecil dalam hal mencari nafkah. Kiranya patut saya apreasikan dalam sebuah artikel ini.

Sejak saya masih sekolah hingga kini pengalaman ini tak akan bisa terlupakan. Hidup serba kekurangan, sehari makan sehari puasa, namun semangat dalam tuntutan hidup keluarga saya tak akan pernah pudar.

Sejak Saya kelas 3 Madrasah Stanawiyah tahun 1997 hingga lulus tahun 1999, setiap pulang sekolah sehabis sholat dan makan siang jam 02.00 wib, tugas saya pasti ngarit (cari rumput) untuk makan kambing.

Mayoritas kampung brebes dengan rata-rata berprofesi sebagai petani adalah sebuah mata pencaharian utama sehari-hari hingga kini. Selain berpetani, bagi sebagian warga sebagai sambilan pekerjaan, banyak yang memelihara kambing. Termasuk Ayah saya.

Sehingga tatkala terhimpit ekonomi jalur alternatif untuk ini adalah menjual kambing yang dipelihara. Pada tahun itu harga kambing masih murah yakni berkisar 200 sampai dengan 500 ribu rupiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun