Soekarno, pemuda yang dikaruniai telenta pemimpin. Dia membaca buku Filsuf Negara John Locke dan Montesque yang menginspirasi bapak Bangsa Amerika. Dia juga pengagum Abraham Lincoln. Baginya, Negara Amerika yang Republik adalah bentuk yang cocok untuk bangsa ini. Walau dia juga dipengaruhi oleh Marxisme, Soekarno lebih melihat Republik model negara  Amerika ketimbang Sovyet.
Ada juga M. Natsir menggagas Republik dengan Islam sebagai azas. Selain mereka bapak bangsa lainnya juga adalah ‘republiken'. Maka akhirnya bangsa ini menjatuhkan pilihan model republik yang dipimpin oleh presiden. Dalam perjalanannya, mahal harga yang harus dibayar bagi kelangsungan republik. Ribuan orang rela mati hanya demi tetap terpeliharanya "warisan" kemerdekaan itu. Bahkan hingga sekarang.
[caption id="attachment_87760" align="alignleft" width="220" caption="mahkota (kapanlagi.com)"][/caption] Kembali pada pokok persoalan sebagimana di awal tulisan. Ada segelintir anak muda yang mempertanyakan model republik. Pola pikir mereka umumnya dialektis. Jika sistem ini tidak bagus, maka antitesisnya patut dicoba. Anak muda ini dihinggapi nostalgia monarki yang pernah hadir di bumi nusantara dulu dan membawa kejayaan. Semua kemewahan yang ada padanya, raja, ratu, raden, mahkota, dan semua keanggunan lainnya. Mereka tidak sadar bila dibalik itu semua, manusia tidak berada dalam kesetaraan. Kalau bisa-menurut mereka-kita ulangi lagi zaman keemasan itu.
Tapi, untuk mengubah itu semua-katakanlah kita asumsikan republik gagal total-berapa harga yang harus dibayar oleh bangsa ini? Sekedar peralihan dari Parlementer ke Presidensial dalam model republik saja harus dibayar dengan 40 tahun kediktatoran. Apalagi dengan menggantinya menjadi monarki? Persoalan mucul kemudian misalnya apakah raja itu dinasti atau model yang dipertuan agung seperti Malaysia? Kalau dinasti apakah bisa diterima oleh seluruh rakyat yang plural? Dan lain sebagainya.
Apa yang telah dilakukan oleh bapak bangsa kita dulu merupakan hasil pergumulan yang tentunya terbaik bagi bangsa ini. Kalau toh masih ada yang kurang, itu tidak lebih hanya karena bangsa ini masih dalam proses belajar. Semoga kita menjadi bangsa pembelajar yang baik dan optimis!