Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Monarki Indonesia

6 Maret 2010   14:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Soekarno, pemuda yang dikaruniai telenta pemimpin. Dia membaca buku Filsuf Negara John Locke dan Montesque yang menginspirasi bapak Bangsa Amerika. Dia juga pengagum Abraham Lincoln. Baginya, Negara Amerika yang Republik adalah bentuk yang cocok untuk bangsa ini. Walau dia juga dipengaruhi oleh Marxisme, Soekarno lebih melihat Republik model negara  Amerika ketimbang Sovyet.

Ada juga M. Natsir menggagas Republik dengan Islam sebagai azas. Selain mereka bapak bangsa lainnya juga adalah ‘republiken'. Maka akhirnya bangsa ini menjatuhkan pilihan model republik yang dipimpin oleh presiden. Dalam perjalanannya, mahal harga yang harus dibayar bagi kelangsungan republik. Ribuan orang rela mati hanya demi tetap terpeliharanya "warisan" kemerdekaan itu. Bahkan hingga sekarang.

[caption id="attachment_87760" align="alignleft" width="220" caption="mahkota (kapanlagi.com)"][/caption] Kembali pada pokok persoalan sebagimana di awal tulisan. Ada segelintir anak muda yang mempertanyakan model republik. Pola pikir mereka umumnya dialektis. Jika sistem ini tidak bagus, maka antitesisnya patut dicoba. Anak muda ini dihinggapi nostalgia monarki yang pernah hadir di bumi nusantara dulu dan membawa kejayaan. Semua kemewahan yang ada padanya, raja, ratu, raden, mahkota, dan semua keanggunan lainnya. Mereka tidak sadar bila dibalik itu semua, manusia tidak berada dalam kesetaraan.  Kalau bisa-menurut mereka-kita ulangi lagi zaman keemasan itu.

Tapi, untuk mengubah itu semua-katakanlah kita asumsikan republik gagal total-berapa harga yang harus dibayar oleh bangsa ini? Sekedar peralihan dari Parlementer ke Presidensial dalam model republik saja harus dibayar dengan 40 tahun kediktatoran. Apalagi dengan menggantinya menjadi monarki? Persoalan mucul kemudian misalnya apakah raja itu dinasti atau model yang dipertuan agung seperti Malaysia? Kalau dinasti apakah bisa diterima oleh seluruh rakyat yang plural? Dan lain sebagainya.

Apa yang telah dilakukan oleh bapak bangsa kita dulu merupakan hasil pergumulan yang tentunya terbaik bagi bangsa ini. Kalau toh masih ada yang kurang, itu tidak lebih hanya karena bangsa ini masih dalam proses belajar. Semoga kita menjadi bangsa pembelajar yang baik dan optimis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun