Mohon tunggu...
Salwa Robiatul
Salwa Robiatul Mohon Tunggu... Mahsiswa

Komunikasi Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran Kritis Public Relation Dalam Menghadapi Boikot dan Cancel Culture Ditengah Gejolak Isu Sosial Politik Global

23 Juni 2025   12:22 Diperbarui: 23 Juni 2025   12:22 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di era digital saat ini, fenomena boikot dan Cancel Culture menjadi sebuah tantangan nyata yang ada didepan mata, bagi merek, tokoh, Brand, dan juga perusaahan. Isu terkait sosial, politik dan geopolitik merupakan salah satu penyebabnya. Memasuki era digitalisasi, mudahnya akses mendapatkan dan mencari informasi, melalui kecepatan digitalisasi, membuat pengguna media sosial kesulitan untuk menekan dampaknya. Realita yang sudah terjadi, kita bisa melihat, bahwa kebanyakan dari mereka kerap kali kesulitan mencerna informasi sebaik -- baiknya, sehingga menyebkan kebanyakan dari mereka bertindak gegabah dalam menyimpulkan suatu informasi yang baru mereka dapat di media sosial.
Berdasarkan pernyataan diatas, peran PR tentunya sangat vital. Bukan hanya sebagai juru bicara dalam mewakili kliennya, namun menjadi garda terdepan bagi kliennya dalam memperbaiki dan mengembalikan kepercayaan publik. Boikot menjadi salah satu tantangan utama diera saat ini, hal ini seringkali dipicu oleh media sosial dalam menyebarkan informasi yang begitu cepat, beberapa media sosial yang menjadi kunci, adalah media sosial X, Instagram, dan juga TikTok. Apapun berita dan informasi terkini, akan disampaikan begitu cepat lewat ketiga media sosial tersebut, salah satunya tagar #boikot yang kerap menjadi trending diseluruh media sosial.
Dampak dari tagar tersebut dirasakan oleh beberapa merek, brand dan juga Perusahaan, pada isu geopolitik yang menjadi sorotan di negara Indonesia bahkan Dunia. Konsumen modern kini semakin kritis dan menuntut tanggung jawab sosial dan juga transparansi dari entitas bisnis. Jika Perusahaan yang diduga terlibat tidak mengambil sikap yang jelas, tepat dan cepat dalam isu yang dianggap penting oleh publik, maka reputasi dan citra Perusahaan menjadi salah satu ancamannya. Dari kasus -- kasus yang sudah terjadi, ternyata banyak Perusahaan -- Perusahaan yang belum siap menyikapi isu yang melanda perusahaannya, dan mereka terlambat memberikan respon, pasang badan tanpa empati, atau memilih diam yang memperburuk reputasi di tengah Opini publik yang terbentuk begitu cepat.
Beberapa dari contoh studi kasus terjadi pada dua Perusahaan besar di Indonesia, yang mendapatkan dampak dari boikot yang dimaksud, yaitu MCDonald's dan Unilever. Pada kedua studi kasus ini, terdapat perbedaan Perusahaan dalam merespon isu yang menimpa perusahananya. MCDonald's mendapatkan banyak kritik dan kekecewaan dikarenakan terlalu lambat dalam merespon kegaduhan yang sedang terjadi, dan kurang menyentuh sisi emosional publik, sehingga membuat banyak dari konsumen kecewa dan memutuskan untuk tidak percaya kepada Perusahaan. Disisi lain, Unilever Indonesia merespon lebih sigap, tepat dan cepat. Unilever Indonesia merespon publik yang menjadi konsumennya dengan membuat pernyataan resmi dengan cepat, mereka juga melakukan banyak dialegtika dengan para konsumen dan menjaga nada komunikasi yang tenang dan terbuka, sehingga membuat kepercayaan publik kembali digenggaman mereka.
Selain itu, tantangan lainnya bagi merek, brand, tokoh bahkan Perusahaan di era digital adalah Cancel Culture, ini merupakan sebuah 'tren' baru yang ada di media sosial. Cancel Culture, merupakan istilah yang merujuk pada sebuah aksi publik secara kolektif 'membatalkan' dukungan terhadap merek, tokoh, brand, atau bahkan Perusahaan yang dianggap tiak sesuai dengan nilai dan moral yang ada ditengah masyarakat, menurut Kesimpulan mereka. Hal ini terjadi, disebabkan oleh ucapan, aksi, atau bahkan sikap 'pasif' atau 'bungkam' dalam merespon suatu isu penting, sedangkan pengguna media sosial menuntut mereka untuk bertindak cepat dan juga bijak.
Ternyata, bukan hanya cepat dan bijak, pengguna media sosial, atau bahkan konsumen dari suatu merek dan brand juga menginginkan mereka untuk bersikap konsisten dalam menunjukkan dukungan pada isu sosial, politik, dan geopolitik. Hal tersebut dikarenakan banyak merek, brand, tokoh bahkan Perusahaan yang justru blunder, dalam beberapa kesempatan, seperti mereka pada awalnya mendukung suatu isu sosial, namun beberapa saat kemudian mereka terkesan tidak peduli, atau bahkan berbalik arah menjadi pihak yang kontra terhadap isu tersebut. Dampak yang terjadi, akan membuat konsumen dan publik menjadi marah, mereka akan berpikir, 'kepercayaan' yang mereka berikan, di permaikan begitu saja.

Hal ini bukan hanya menjadi tantangan para merek, brand, tokoh bahkan Perusahaan, namun juga menjadi tantangan baru bagi PR itu sendiri. Lalu bagaimana peran PR didalamnya? Bagaimana PR harus bertindak dan juga menempatkan dirinya pada situasi tersebut? Peran PR tentunya dimulai dari Langkah Preventif dengan pemantauan media yang lebih intensif, baik itu media tradisional dan juga media sosial, hal ini digunakan untuk mengidentifikasi terkait potensi isu-isu yang dapat memicu boikot itu sendiri, atau isu -- isu lainnya yang menjadi ancaman untuk kliennya. Saat ini, terdapat banyak sekali alat bantu yang memudahkan PR dalam membaca percakapan publik sejak dini, seperti Hoostsuite atau Brandwatch.
Selanjutnya adalah langkah Kuratif, adalah respon yang cepat, kritis dan bijak dari PR itu sendiri, PR perlu bertindak dan merespon dengan tenang, tidak bisa hanya bisa disampaikan dalam klarifikasi satu arah, namun dibutukan komunikasi yang krisis yang komprehensif sebagai strategi utama, dengan komunikasi yang menyentuh, penuh empati, dan meredam kekhawatiran, kemarahan dan kekecewaan publik/konsumen. Komunikasi krisis yang efektif tersebut, berdasarkan riset, tentunya membutuhkan kecekatan, karena perlu di respon dalam < 24 jam untuk bisa meredam sentimen negatif dan menjaga kepercayaan publik, akibat opini publik yang sudah terbangun begitu cepat.
Strategi komunikasi juga tidak hanya bersifat membangun komunikasi yang menyentuh dan penuh empati, namun perlu juga persiapan -- persiapan lainnya, seperti pernyataan resmi yang jelas dan tepat dalam waktu 24 jam, empati terhadap isu yang menjadi akar utama permasalahan, konsisten, dan juga diseminasi informasi yang akurat dalam membantah tuduhan atau persiapan sikap dalam mengklarifikasi posisi klien. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa keterbukaan dan kecepatan dalam merespon adalah kunci, sedangkan penundaan atau ambiguitas dapat memperburuk situasi.Tentunya hal ini perlu dikerjakan dan diteliti hati -- hati oleh PR itu sendiri, PR juga dapat melibatkan banyak pemangku kepentingan kunci, beberapa diantaranya seperti karyawan dari klien, mitra bisnis klien, Influencer, dalam membangun sebuah narasi positif dan melawan narasi negatif tehadap klien PR itu sendiri.

Lombokpost
Lombokpost

Namun, Strategi yang perlu PR lakukan dalam merespon tidak hanya berhenti pada klarifikasi atau bahkan lewat pernyataan resmi dan dialektika dengan para konsumen saja. Dalam kasus Boikot dan juga Cancel Culture tentunya, PR juga dapat mendorong klien baik itu Perusahaan, Brand, merek atau individu tokoh untuk tidak hanya berbicara, tapi juga bertindak karena, "Actions Speak Louder than Words". Tindakan ini dapat dimulai dengan menunjukan sikap dan komitmen nyata pada nilai -- nilai keadilam sosial, kemanusiaan, dan juga isu -- isu yang relevan terkait Boikot dan Cancel Culture yang dihadapi oleh klien PR itu sendiri. Salah satunya, dapat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang scukup relevan dan transparan dalam membantu Perusahaan, Brand, Merek dan juga tokoh mengembalikan citranya, dan tentunya untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik kepadanya. Tindakan ini, akan sangat membantu PR dalam memperkuat pesan yang akan disampaikan, dan tentunya membantu klien dalam memgembalikan legitimasi di mata publik yang meragukan, karena bersifat konkret.
Terdapat salah satu Langkah lainnya yang dapat PR lakukan, salah satunya berperan dalam membangun kembali dan memelihara reputasi jangka Panjang kliennya. Hal ini dapat dilakukan dengan menyoroti komitmen para klien terhadap etika, keberlanjutan, dan juga tanggung jawab sosialnya. PR juga dapat memberikan arahan kepada klien untuk membangun hubungan yang baik dan terarah dengan para jurnalis dan pemimpin opini yang dapat menyerbarkan narasi positif yang sudah dijelaskan sebelumnya, Namun yang paling penting adalah memdengarkan umpan balik dari para konsumen, dan seluruh pihak perlu beradaptasi dengan ekspetasi publik yang sudah berkembang merupakan suatu Fundamental. Hal tersebut, sejatinya Perusahaan, brand, Merek dan juga tokoh yang dapat bersikap dan menunjukkan kesediannya  untuk belajar dari kesalahan, lebih dihargai dan berdampak besar terhadap krisis di masa depan.
Keberhasilan PR dalam menghadapi Boikot dan Cancel Culture pada akhirnya, dapat dilihat pada kemampuan PR untuk membangun kembali kepercayaan dan hubungan jangka Panjang dengan publik. Pada akhirnya ini perlu pendekatan yang holistik, PR bukan hanya tentang melindngi citra klien, namun tentang membangun kembali dan membentuk identitas klien yang sesuai dengan entitas yang bertanggung jawab, beretika, dan responsif terhadap nilai -- nilai sosial dalam isu Boikot dan Cancel Culture ini. Dengan demikian, PR tidak hanya berfungsi sebagai peredam situasi panas layaknya pemadam kebakaran, dalam lanskap situasi sosial politik yang menantang ini, PR dapat menjadi arsitek reputasi strategis, memastikan klien tidak hanya dapat bertahan dalam badai, namun tumbuh menjadi lebih kuat, dengan reputasi positif yang dipercaya oleh public atau konsumennya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun