Di era digitalisasi, ribuan pengemudi ojek online (ojol) menggambarkan wajah baru ketidakpastian ekonomi. Dalam studi IDinsight disebutkan bahwa sejak 2015 ekonomi gig melesat pesat: ojek online melahirkan lapangan kerja baru dan meluas ke layanan antar makanan hingga logistik. Namun kenyataannya, di balik pertumbuhan itu tersimpan ketimpangan sosial yang serius. Mayoritas driver ojol di Jabodetabek, misalnya, harus bekerja 9-16 jam per hari; bahkan lebih dari 40% mengaku bekerja setiap hari tanpa libur. Hanya sekitar 13% di antara mereka yang memiliki jaminan kesehatan BPJS, sementara lebih dari sepertiga tidak terjangkau proteksi sosial sama sekali. Beban kerja tinggi dan risiko kecelakaan setiap saat membuat penghasilan mereka sangat rentan.Â
Di tengah persaingan ketat dan peningkatan potongan tarif oleh aplikasi, pendapatan driver cenderung menurun drastis dibanding saat awal kemunculan layanan ojol. Aspirasi kaum driver pun muncul: aliansi pengemudi menuntut potongan komisi aplikasi diturunkan, karena tarif layanan plus biaya jaminan sosial yang tinggi membebani daya beli mereka. Kondisi ini terperparah oleh status hukum pengemudi ojol yang lemah, berstatus mitra tanpa pengakuan sebagai pekerja formal. Dengan begitu, mereka tak punya hak atas upah minimum, jaminan sosial, atau cuti; posisi tawar yang lemah ini membuat ojol mudah dieksploitasi dan sangat rentan kehilangan penghasilan kapan saja.
Prinsip Ekonomi Syariah: Keadilan dan Ta'awun
Dalam Islam, perekonomian idealnya berasaskan keadilan dan saling tolong-menolong (ta'awun). Prinsip keadilan ini diperkuat Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya:
: : Â
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering." (H.R. Ibnu Majah)
Artinya, hak buruh harus segera dipenuhi secara adil, tanpa penundaan. Dalam tafsiran, hadits ini ditekankan agar pekerja tidak dirugikan oleh penundaan atau ketidakjelasan upah. Selain keadilan, Al-Qur'an juga memerintahkan umat Islam untuk saling tolong-menolong di jalan kebaikan:
"...Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..." (Q.S. Al-Maidah ayat 2)
Atas dasar itu, masyarakat Muslim dituntut membantu sesama, terutama mereka yang lemah. Konsep ta'awun ini relevan untuk pekerja gig: ketika negara dan perusahaan belum sepenuhnya melindungi driver ojol, nilai ta'awun mendorong warga dan lembaga Islam saling mendukung bagi kesejahteraan bersama. Secara lebih luas, ekonomi syariah berusaha mewujudkan maqashid syariah, yaitu perlindungan lima kebutuhan dasar manusia (agama, jiwa, akal, keturunan, harta). Dalam konteks ini, 'hifz al-mal' -- menjaga harta/pendapatan menjadi penting. Praktik-praktik gig economy seperti tarif algoritmik tak transparan atau suspensi sepihak oleh platform melanggar prinsip keadilan, kesukarelaan, dan kejelasan transaksi (menolak gharar/ketidakpastian)
Penelitian fiqh mu'amalah terbaru menyimpulkan bahwa walaupun kerangka kontrak "kemitraan" bisa dibenarkan, implementasinya sering inkonsisten dengan maqashid syariah karena kurang adil dan transparan. Oleh karena itu, dibutuhkan model yang lebih adil: misalnya sistem pembagian hasil yang jelas dan jaminan minimal bagi driver. Prinsip-prinsip ini menggarisbawahi bahwa dalam Islam, kemudahan teknologi harus diimbangi dengan aturan yang melindungi martabat pekerja dan keseimbangan ekonomi.
Proteksi Sosial ala Syariah