Mohon tunggu...
Salsa Sabila Berlian
Salsa Sabila Berlian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Science UIN Sunan Ampel Surabaya

UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Internasional:Kedatangan Rohingya di Indonesia Dianggap Menjadi Ancaman Sosial dan Ekonomi

11 Desember 2023   20:30 Diperbarui: 11 Desember 2023   21:03 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berita kedatangan Rohingya di Indonesia berada di segala platform media. Kedatangan Rohingya yang tiada henti menjadi topik yang tidak berhenti diperbincangkan. Tak heran jika masyarakat (warganet) merasa cemas.

Pengungsi Rohingya adalah konflik yang tidak asing lagi di wilayah Asia Tenggara. Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) menjadi penanggung jawab konflik tersebut karena melibatkan negara-negara yang terlibat. Jumlah pengungsi penduduk Rohingya yang datang di Indonesia dianggap tak lazim dikarenakan jumlah mereka yang cukup banyak dan terus bermunculan. Dalam artikel ini kita akan membahas alasan mengapa banyaknya etnis Rohingya berdatangan ke Indonesia dan mengapa hal ini menjadi amcaman ekonomi tersendiri bagi Indonesia.

Isu kontemporer dalam hubungan internasional yang hangat diperbincangkan berkaitan dengan kemanusiaan, terutama dalam kedatangan pengungsi dari negaranegara yang memiliki konflik internal pada kelompok minoritas menjadi suatu masalah bagi banyak negara karena saat ini jumlah dan penyebaran kelompok tersebut begitu banyak hingga ke berbagai negara di dunia (Rizka, 2016).

Sesuai informasi yang ada diketahui bahwa negara Myanmar, yakni salah satu negara yang tergabung dengan ASEAN memiliki masalah krisis kemanusiaan yang berdampak kepada etnis Rohingya. Hal ini menyebabkan adanya diskriminasi terhadap etnik Rohingya sendiri, tidak adanya pengakuan sebagai warga negara Myanmar menjadikan mereka manusia perahu (sebutan etnis Rohingya).

Pemerintah Myanmar menilai etnis Rohingya bukan bagian dari etnis di Myanmar melainkan etnik Rohingya bagian dari etnis Bengali, Bangladesh (Rosyid, 2018). Pengakuan ini menjadi alasan pemerintah Myanmar melakukan genosida etnis karena dianggap bukan bagian dari warga negara. Nisrina dan Wachid (2023:41) menyatakan bahwa kelompok mayoritas yang mendominasi dan intoleransi pada kelompok minoritas terkadang harus mengeliminasi kelompok tersebut dari wilayahnya hingga kelompok minoritas mencari tempat pengungsian di negara lain.

Pada tahun 2015 tepatnya bulan maret, etnik Rohingya dimintai kembali kartu identitas kependudukan oleh pihak yang berwenang. Hal ini menyebabkan tidak adanya status kewarganegaraan di negara Myanmar. Sehingga mengakibatkan etnik Rohingya mendapatkan banyak diskriminasi dengan tidak diberikan pengakuan kewarganegaraan, pembatasan dalam mencari pekerjaan, kerja paksa, pembunuhan, pemerkosaan, serta banyaknya pembakaran rumah dan tempat tinggal (Kyonto, 2019).


Aktivis dan politisi dari etnis dan agama mayoritas Rakhine telah mendesak pemerintah Myanmar untuk membatasi akses bantuan kesehatan dan kemanusiaan bagi jutaan etnis Rohingya di Myanmar (Rosyid, 2018). Karena Myanmar melakukan sebuah kampanye untuk mengisolasi etnis Rohingya atau disebut kebijakan rasis apartheid. Hal ini menjadi alasan etnik Rohingya melarikan dari Myanmar untuk melindungi diri dan mencari perlindungan untuk bertahan hidup.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama islam dan menganut sistem demokrasi yang memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ menjadi alasan dasar untuk turut serta dalam membantu konflik antar sesama litas negara tetangga, dengan memberikan bantuan dasar kemanusiaan dan pengungsian sesuai peraturan internasional. Oleh karena itu untuk menangani permasalahan ini Indonesia bekerja sama dengan aktor non-negara yang terlibat dalam bidang kemanusiaan, seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) (Nisrina dan Wachid, 2023).

Konflik Rohingya adalah sepenuhnya tanggung jawab dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM). Pengugsi Rohingya yang datang ke Indonesia ditempatkan diwilayah Aceh, Makassar, Medan dan Jakarta (Tambunan, 2019). Indonesia turut serta membantu Rohingya didasari dengan “Humanity”. Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang terbuka terhadap para pengungsi ini karena pendekatan yang digunakan di dalam proses perancangannya adalah Human Security, melalui pendekatan Human Security, Indonesia memandang kebijakan luar negerinya berpusat pada manusia yaitu dalam hal ini pengungsi Rohingya. (Tirza, 2020).

Konflik yang terjadi menyebabkan adanya Migrasi Internasional. Migrasi adalah perpindahan penduduk ke suatu negara. Migrasi internasional adalah proses perpindahan manusia dari tempat tinggalnya semula ke daerah yang baru yang melewati batas suatu negara yang berdaulat. Perpindahan tersebut dari asal kewarganegaraan ke suatu negara yang bukan kewarganegaraannya (Arief et al, 2023).

Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya bertambah tiap tahunnya. Pada tahun 2021, jumlah pengungsi yang terdaftar sebagai pencari suaka oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia akan mencapai 13.416 jiwa (Nisrina, 2023). Hal ini tentu akan berdampak pada keseimbangan ekonomi dan masalah sosial di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sendiri memiliki penduduk kurang mampu yang harusnya lebih diutamakan daripada pengungsi. 

Pengungsi (warga negara asing) juga dapat menjadi ancaman dalam meningkatnya jumlah angka pengangguran dan kriminalitas jika tidak dapat ditangani dengan baik oleh pihak berwenang. Dengan ini, Pemerintah Indonesia perlu bekerja sama dengan aktor non-negara yang terlibat dalam bidang kemanusiaan, seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) (Wachid, 2023). Antara pihak IOM dengan pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dalam hal memerangi penyelundupan manusia di Indonesia (Rara et al, 2023).

Kedatangan etnis Rohingya diketahui berdatangan melalui jalur laut dengan mengendarai kapal dengan ukuran cukup besar dan luas untuk menampung pengungsi. Kedatangan mereka yang tiada henti mereka anggap sebagai aksi terdampar, namun masyarakat menolak akan hal demikian. Aksi yang dilakukan etnik Rohingya seperti dilakukan secara sengaja, hal ini diketahui karena mereka meyakinii bahwa Negara Indonesia akan menerima mereka dengan baik seperti halnya dengan pengungsi-pengungsi Rohingya sebelumnya.

Seperti yang Harian Kompas sebutkan bahwa etnik Rohingya akhir-akhir ini mengalami lonjakan yang cukup banyak dan teratur. Kedatangan mereka di pesisir pantai Sabang, Aceh dianggap illegal karena tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana seorang imigran. Etnik Rohingya sebelumnya tidak hanya berdatangan di Indonesia saja, melainkan mereka terlebih dahulu berdatangan di Negara Malaysia (sesama negara ASEAN).

Pada mulanya pengungsi Rohingya diterima dengan baik oleh Malaysia, namun beberapa tahun terakhir warga etnik Rohingya malah memunculkan konflik sosial bahkan tindakan kriminal. Hal itu yang menyebabkan Malaysia menolak keras adanya kedatangan etnik Rohingya ke negaranya, keputusan ini dilakukan demi keamanan dan kenyamanan warga negara. Adanya keputusan itu menyebabkan para etnik Rohingya berpindah dan memutuskan berdatangan ke Negara Indonesia.

Etnik Rohingya di Indonesia sebenarnya sudah bermunculan sejak tahun 2015, namun angka kedatangan tidak terhitung banyak dan masih batas wajar. Aceh sebagai mayoritas muslim mengetahui sesama manusia merasa turut prihatin. Keberadaan etnis Rohingya ini dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim Rohingya (Waluyo, 2013). Mengetahui hal itu Aceh menjadi terbuka kepada etnik Rohingya. 

Dengan latar belakang sesama muslim menjadikan Aceh menerima kedatangan etnik Rohingya pada saat itu. Penerimaan Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kesamaan identitas yakni sama-sama beragama muslim dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM sehingga sangat menaruh perhatian besar terhadap kasus-kasus kemanusiaan termasuk yang tengah dialami oleh etnik Rohingya di Myanmar, Adapun bentuk kepedulian tersebut adalah melalui penerimaan dan pelayanan yang dilakukan terhadap pengungsi etnis Rohingya tersebut walau sekalipun Indonesia bukanlah merupakan negara yang meratifikasi konvensi 1951 tentang status pengungsi (Moy dan Kusuma, 2016).

Namun setelah lamanya dan simpati yang masyarakat Aceh berikan kepada etnik Rohingya mereka mendapat kekecewaan. Seperti yang Harian NU Online (23/11/2023) menyatakan bahwa “Tgk Muhajir menyebut sejak banyak masalah sosial dan moral muncul dari pengungsi Rohingya, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Rohingya pudar. Rohingya tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang perlu perhatian. Maka, kedatangan berikutnya ditolak secara massal oleh masyarakat lokal di Aceh”. Secara antropologis, Aceh memberlakukan dan memegang kuat konsep ke-Aceh-an, Nyoe Hana teupeh dumpu tatume rasa, nyo Ka teupeh Bu leubeh Hana. Namun pengungsi etnik Rohingya melanggar dan menyebabkan kemarahan masyarakat Aceh.

Perilaku pengungsi etnik Rohingya membuat masyarakat Aceh hilang simpati, mereka berbuat tidak senonoh (hubungan seksual), kriminalitas, kabur dari tempat pengungsian, dan tidak menghormati adat istiadat yang ada. Munculnya pengungsi etnik Rohingya menambah jumlah angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Harian Kompas (17/01/2023) mengatakan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, Provinsi Aceh masih bertahan sebagai Provinsi termiskin di Sumatera. Jumlah penduduk miskin di Aceh meningkat dari 806,82 ribu menjadi 818,47 ribu orang. 

Hal ini harusnya menjadi perhatian pemerintah Indonesia, kedatangan etnik Rohingya secara terus-menerus akan berdampak buruk bagi Negara Indonesia terutama bagi masyarakat Aceh. Penolakan secara keras dan pemaksaan untuk meninggalkan Indonesia harus ditegaskan, etnik Rohingya sendiri sudah disediakan tempat tinggal layak di Bangladesh namun mereka memilih untuk melarikan diri. Warganet geram dengan munculnya Rohingya di Indonesia secara terus-menerus, dengan jumlahnya yang kian bertambah banyak yang berasumsi bahwa etnik Rohingya ingin menguasai Indonesia. Hal ini didasari dengan sejarah Palestina yang membantu Israel, berawal dari rasa simpati berakhir diusir dari negara sendiri.

Pemerintah berwenang harus tegas dan sigap mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan segera adanya keputusan terbaik untuk menanggapi masalah ini. Diharapkan segera munculnya penyelesaian atas konflik Rohingya dari PBB, UNCHR, dan IMO. Sebab jika tidak ada solusi yang cepat dan tepat nantinya akan menimbulkan konflik sosial dan dampak krisis ekonomi bagi Aceh. Karena Indonesia tidak bisa terus menerus menjadi tempat tinggal permanen bagi etnik Rohingya, hal ini didasari dengan pencegahan munculnya masalah sosial dan ekonomi yang semakin berkelanjutan. Demi keamanan dan kesejahteraan bersama kita harus saling menjaga satu sama lain.

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun