Mohon tunggu...
salsabilla liesvarastranta
salsabilla liesvarastranta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kontruksi Gender dalam Cerita Rakyat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konstruksi Gender dalam Cerita Rakyat

6 April 2024   23:03 Diperbarui: 6 April 2024   23:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konstruksi gender merupakan suatu hal yang dibentuk dan ditegakkan oleh masyarakat melalui suatu proses sosial, kultural dan psikologis yang dimana membentuk arti, peran dan harapan tentang keperempuanan dan kelelakian. konsep ini dapat diartikan bahwa di antara perempuan dan laki-laki tidak hanya dibedakan melalui perbedaan biologis, melainkan dapat dibentuk melalui norma sosial, norma budaya serta pemberian makna masyarakat mengenai bagaimana seseorang seharusnya berperilaku sesuai jenis kelamin mereka. Jika disangkut pautkan dalam cerita rakyat, maka konstruksi gender adalah pembentukan pemahaman laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tentang peran, perilaku, dan harapan yang merujuk pada cerita-cerita tradisional, maka hal ini memainkan peran penting dalam penyampaian nilai-nilai norma, dan pandangan dunia termasuk pandangan tentang gender.

Pada umumnya cerita rakyat disampaikan secara secara turun temurun kepada anak-anak di Indonesia, hal ini menjadi media awal bagi mereka untuk mengenal tentang gender. Perlu digaris bawahi bahwa gender memiliki arti yang berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis adalah suatu pemberian, sedangkan gender adalah konstruksi sosial. Perbedaan gender antara jenis laki-laki dan perempuan dibentuk melalui sifat-sifat biologis yang melewati proses sangat panjang. Terbentuknya gender dikarenakan beberapa hal, diantaranya, dibentuk, disosialisasikan, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Martin dan Rubble (2004) mengatakan bahwa anak kecil diibaratkan sebagai detektif gender yang sedang mencari panutan mengenai gender mana yang semestinya turut serta melakukan aktivitas tersebut, dan mana yang tidak, siapa yang bisa bermain dengan siapa, bagaimana suatu gender tertentu harus bersikap, dan mengapa perempuan dan laki-laki berbeda.

Tanpa kita sadari cerita rakyat yang sering kita baca banyak mengandung konstruksi budaya patriarki yang cukup kuat. Tidak sedikit dari cerita tersebut memiliki konstruksi didalamnya, biasanya kehadirannya secara eksplisit, tetapi ada juga yang implisit. Masuknya wacana patriarki dalam cerita rakyat sangat memungkinkan, hal ini dikarenakan budaya patriarki sudah ada sejak dulu. Wanita sering kali digunakan hanya sebagai objek, fenomena ini menandakan bahwa cerita rakyat tidak sepenuhnya terbebas dari wacana bias gender. Terdapat objektivikasi perempuan dalam 5 cerita rakyat Indonesia. Objektifikasi merupakan posisi dimana tokoh perempuan dalam cerita rakyat dominan dinomorduakan, contoh cerita rakyat tersebut ialah, "Putri yang Berubah Menjadi Ular" (Sumatera Utara), "Putri Tujuh" (Riau), "Putri Mambang Linau" (Riau), "Ning Rangda" (Kalimantan Selatan), dan "Dewi Luing Indung Bunga" (Kalimantan).

Terdapat banyak cerita rakyat Indonesia memiliki konstruksi sosial didalamnya, contohnya seperti konstruksi maskulinitas dan konstruksi feminitas. Pada konstruksi maskulinitas masyarakat memiliki harapan bahwa laki-laki diharuskan untuk bertindak seperti apa yang ada pada beberapa cerita rakyat, dalam hal ini mereka sering kali ditunjukkan sebagai individu yang memiliki keberanian, kekuatan, dominasi, dan kemandirian. Sedangkan pada konstruksi feminitas masyarakat juga memiliki harapan bahwa perempuan diharuskan untuk bertindak seperti apa yang ada pada cerita rakyat, dalam hal ini perempuan kerap ditampilkan sebagai pribadi yang sabar, lemah lembut, penurut, dan lainnya. Berikut merupakan contoh dari jenis-jenis konstruksi maskulinitas dan feminitas dalam cerita rakyat:

Si Pitung

Si Pitung atau biasa dipanggil Bang Pitung merupakan anak dari Bang Piun dan Mpok Pinah, Pitung dalam kisahnya diceritakan sebagai pahlawan rakyat yang berasal dari Betawi, dia memiliki kesaktian yang luar biasa, yang dimana dia tidak akan mati ketika ditembus oleh senjata apapun. Ia dikenal akan kegagahannya sebagai sosok yang berani melawan penjajah dan membantu masyarakat kurang mampu. Maskulinitas dari cerita rakyat ini menggambarkan akan keberanian, keadilan, dan perlindungan.

Nyi Dayang Sumbi

Nyi Dayang Sumbi merupakan anak perempuan dari Prabu Galuga yang memiliki paras sangat cantik, Prabu memiliki watak yang keras dan gampang tersulut emosi. Hal ini tampak ketika putrinya tidak mau menerima lamaran dari beberapa pria yang datang. Mengetahui hal itu Prabu Galuga marah besar, dan Dayang Sumbi diberi dua pilihan oleh ayahnya. " Sumbi kau hanya punya dua pilihan. Menikah atau kuasingkan kau di tepi hutan" karena Dayang sumbi tetap tidak mau menikah akhirnya gadis itu dibawa oleh ayahnya ke dalam hutan untuk diasingkan. Dalam cerita yang sama Sangkuriang yang dikisahkan sebagai anak Nyi Dayang Sumbi memiliki pribadi yang terkenal pemarah. Hal ini dimulai ketika Sangkuriang sedang pergi berburu bersama Tomang (anjingnya), Tomang pada saat itu menolak untuk memburu babi yang kabur, tentunya hal ini membuat Sangkuriang dikuasai amarah. Ketika ia marah Sangkuriang mulai membidikkan senjatanya ke arah Tomang dan membunuhnya. Selesai membunuh Tomang, ia menyembelih anjingnya dan mengambil bagian-bagian tertentu untuk dimakan. Kisah ini menggambarkan dua sifat gender, yaitu feminitas dan maskulinitas. Feminitas dari kisah ini adalah kesabaran dan sifat menerima, hal ini tampak ketika Nyi Dayang Sumbi tetap menerima konsekuensi yang didapat dari hukuman ayahnya, sedangkan maskulinitas disini adalah tempramental dan semaunya sendiri, hal ini tampak ketika Prabu memaksa putrinya untuk menikah.

Dari dua kisah diatas cukup menggambarkan bagaimana konstruksi gender di masyarakat tercipta. Dampak yang diberikan dari dua contoh kisah rakyat tersebut sangat mempengaruhi bagaimana sifat seseorang. Dari dua kisah diatas menggambarkan bahwa laki-laki merupakan orang yang memiliki watak keras, temperamental, semaunya sendiri, memiliki keberanian, sifat adil, dan sifat perlindungan. Hal ini menjadi acuan saat ini bahwa laki-laki harus memiliki keberanian yang tinggi dan pemberi perlindungan, sedangkan perempuan dituntut untuk tetap menjadi pribadi yang menerima segala perintah dari laki-laki.

Selain cerita rakyat yang sudah saya jelaskan diatas, masih banyak cerita rakyat yang mengandung maskulinitas dan feminitas di dalamnya. Akibat dari hal ini membuat asumsi bahwa perempuan bersifat emosional, lemah lembut, keibuan, dan penyabar, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai orang yang memiliki sifat arogan, kasar, semaunya sendiri, perkasa, dan lainnya. Kondisi ini menyebabkan opini publik terhadap suatu jenis kelamin harus sesuai dengan apa yang ada dipikirannya, seperti ketika melihat laki-laki yang tidak memenuhi standar gender maskulinitas yang ada pasti mereka akan berfikir yang tidak tidak terhadap orang tersebut.

Refrensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun