Mohon tunggu...
Salsabila Hayati
Salsabila Hayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - 19 Juli 2002

Mahasiswa kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sudut Pandang Masyarakat Banjar tentang Pernikahan Dini Tidak Seindah Realitanya

20 November 2021   05:44 Diperbarui: 20 November 2021   05:48 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Freepik.com

Indah Fitria 2010912320013 

Intania Hikmah Al Farabi 2010912320009 

Naila Mutiara Nabilla 2010912320004 

Salsabila Hayati 2010912220039

Manusia merupakan anggota kelompok masyarakat, dalam kehidupannya dibagi ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Dalam antropologi tingkat-tingkat sepanjang hidup manusia dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa tua dan sebagainya. Suatu masa peralihan yang terpenting pada siklus hidup dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga yaitu pernikahan. Masyarakat Kalimantan Selatan yang disebut "Urang Banjar" memiliki kekayaan nilai yang merupakan warisan nenek moyang sejak zaman dahulu. Tak terkecuali dengan fenomena maraknya pernikahan  dini di Kalimantan Selatan yang tidak lepas dari nilai-nilai Banjar yang dianggap mendasari masyarakat dalam menikahkan anaknya di usia dini.

Definisi pernikahan dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan bahwa: "Perkawinan diizinkan jika laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan sudah mencapai usia 16 tahun". Usulan perubahan pada Pasal 7 Tahun 1974 Ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, Pasal 6 Ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua. Sedangkan dalam agama Islam seseorang diperbolehkan menikah apabila telah baligh yaitu bagi perempuan telah mulainya menstruasi dan laki-laki telah mengeluarkan air mani.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN kemudian mengeluarkan Gerakan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Gerakan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama yaitu minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Tujuan dari program Pendewasaan Usia Perkawinan adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran.

Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 sudah mengatur tentang usia minimal untuk melangsungkan pernikahan, tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan perempuan yang menikah dan melahirkan di masa remaja mereka. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Risiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya tuntutan untuk melakukan pernikahan dini.

Analisis Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menyatakan sebanyak 3.000 perempuan pada usia 20-24 tahun melakukan pernikahan pertama sebelum berusia 15 tahun. Berdasarkan data BKKBN pernikahan dini yang terjadi di Kalimantan Selatan mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan tertinggi se-Indonesia, yaitu 51/1.000 penduduk pada tahun 2010 sampai tahun 2016. Pada tahun 2017, Kalimantan Selatan masih berada di urutan ketiga Nasional. Beberapa Kabupaten dianggap berkontribusi besar dalam menaikkan angka pernikahan anak, yaitu: Tapin, Kotabaru, Tabalong, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Tanah Bumbu dan Hulu Sungai Utara (HSU). 

Fenomena maraknya pernikahan dini di Kalimantan Selatan yang dalam sepuluh tahun terakhir ini menyumbang angka pernikahan dini di Indonesia. Kenyataan tersebut tidak lepas dari nilai-nilai Banjar yang dianggap mendasari masyarakat dalam menikahkan anaknya di usia dini. 

Hasil penelitian mengenai nilai-nilai Banjar yang berkaitan erat dengan fakta pernikahan anak di Kalimantan Selatan yaitu kebiasaan atau ikut-ikutan karena "kepanasan" melihat lingkungan sekitar yang sudah menikah. Prinsip "lakas payu" atau cepat laku terhadap anak perempuan yang cepat menikah menjadi ungkapan kebanggaan orang tua yang membuat orang tua beramai-ramai menikahkan anak usia muda. Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang tua, baik orang tuanya yang menginginkan pernikahan itu, maupun orang yang menikahi sehingga pernikahan dini tidak dapat terhindarkan. 

Selain itu, nilai ekonomi yang berisi prinsip perjuangan dan kemandirian agar mencapai kesejahteraan dan kemandirian sehingga mengurangi beban orang tua. Prinsip ekonomi "nyaman tahu rasa masam manisnya hidup" artinya, agar anak mengerti asin-manisnya hidup dan dengan mengerti hidup, maka diyakini akan timbul semangat perjuangan dan pada akhirnya akan mendapatkan kesejahteraan. Nilai norma dan agama juga ikut serta dalam faktor pernikahan dini karena prinsip "biar kadada fitnah" dan "salamat dunia akhirat" serta menghindari hamil diluar nikah mendorong orang tua menikahkan anaknya. 

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak bisa memahami hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah tangga. Meningkatnya kasus perceraian pada pasangan usia muda dikarenakan pada umumnya pasangan usia muda keadaan psikologisnya belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi masalah yang timbul dalam pernikahan. 

Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri. Dalam usia muda banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. 

Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Maka kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi remaja masih ingin berpetualang menemukan jati dirinya. Di saat mereka mempunyai anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa kemana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian dan pisah rumah. Oleh sebab itu menikah di usia muda atau pernikahan dini, masih dianggap sebagai pemicu utama gagalnya berumah tangga dan jatuhnya perceraian.

Pernikahan dini mengakibatkan dampak yang sangat merugikan pihak perempuan, baik dari segi fisik, psikis, ekonomi, dan pendidikan. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini adalah kurangnya pengetahuan terhadap kesehatan reproduksi sehingga terjadinya anemia, melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Hipertensi bahkan abortus atau keguguran karena secara fisiologis organ reproduksi (khususnya rahim) belum sempurna. Serta dampak lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diakibatkan karena ekonomi, kurangnya komunikasi yang bisa berujung dengan perceraian, serta tidak dapat melanjutkan pendidikan, tidak tercapai cita-cita yang diinginkan dan merasa tidak ada kebebasan lagi untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman sebaya.

Begitu banyak dampak buruk yang terjadi karena pernikahan dini dibanding dampak baik yang diharapkan orang-orang. Penanganan kasus pernikahan dini harusnya tidak hanya dilakukan oleh tim kesehatan namun juga masyarakat, orang tua dan lingkungan dengan berkontribusi untuk menurunkan angka pernikahan dini. Kerjasama lintas sektor dengan cara penyuluhan ke sekolah-sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas harus ditambah supaya bisa mewujudkan remaja-remaja yang berkualitas untuk generasi bangsa yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun