Mohon tunggu...
Salsabila Rasdi
Salsabila Rasdi Mohon Tunggu... -

Sharing reflections on life, diplomacy, and understanding the mind.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Sebagai Cermin Budaya: Interkulturelle Empathie dari Tata Bahasa Jerman

15 Oktober 2025   16:56 Diperbarui: 15 Oktober 2025   16:56 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deutschkurs (Canva AI)

Pelajaran Empati: Belajar bahasa Jerman mengajari kita pentingnya kejelasan dan batas (Klarheit)—bahwa 'Tidak' yang lugas justru bisa lebih menghormati waktu dan energi orang lain daripada 'Ya' yang ragu-ragu. Sementara itu, Bahasa Indonesia mengajari kita pentingnya mendengarkan tidak hanya kata-kata (verbale Botschaft/verbal message) tetapi juga konteks, nada suara, dan bahasa tubuh (nonverbale Kommunikation/non-verbal context). Empati dalam hal ini berarti menyadari bahwa ketegasan Jerman bukanlah arogansi, dan kehalusan Indonesia bukanlah kebohongan, melainkan dua strategi yang berbeda untuk mencapai keefektifan komunikasi dalam konteks budaya masing-masing.

Menghargai Perbedaan sebagai Kekayaan

Perbedaan antara kontextbezogen (Indonesia) dan kontextarm (Jerman) hanyalah permukaan. Konsep waktu (pünktlichkeit yang sakral di Jerman), konsep kepemilikan, dan bahkan konsep kesopanan (Sie versus Du), semuanya terangkum dalam tata bahasa dan kosakata.

Menghadapi perbedaan fundamental ini, kita memiliki dua pilihan, menghakimi atau penasaran.

Awalnya, mudah sekali untuk menghakimi. "Kenapa orang Jerman begitu dingin dan kaku?" atau "Kenapa orang Indonesia tidak bisa tepat waktu?" Namun, saat kita menyelami bahasanya, tembok penghalang itu mulai runtuh. Bahasa membongkar tembok, memperlihatkan fondasi logis dari tindakan yang tadinya tampak irasional.

-   Mengubah Penghakiman "Kasar" menjadi Penasaran "Efisien"

Keterusterangan Jerman bisa dilihat sebagai upaya untuk Kommunikationseffizienz (efisiensi komunikasi) , menghemat waktu dan meminimalisir kesalahpahaman, sejalan dengan budaya yang sangat menghargai waktu (Zeit).

-   Mengubah Penghakiman "Bertele-tele" menjadi Penasaran "Harmonis"

Basa-basi Indonesia bisa dilihat sebagai soziale Investition (investasi sosial), sebuah langkah penting untuk membangun hubungan yang didahulukan sebelum urusan substansi, sejalan dengan budaya kolektivis yang mengutamakan hubungan (Beziehung).


Inilah inti dari interkulturelle Empathie yang sejati. Empati bukan berarti harus setuju dengan cara pandang lain. Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia melalui lensa budaya yang lain meski hanya sesaat tanpa perlu menyerah pada lensa diri sendiri. Bahasa memberikan lensa itu, sebuah kacamata dengan bingkai tata bahasa dan filter makna yang berbeda.

Pada akhirnya, belajar Bahasa Jerman bukan hanya tentang menguasai Nominativ, Akkusativ, Dativ, atau Genitiv. Ini adalah perjalanan untuk memahami bahwa setiap bahasa adalah sebuah filosofi, sebuah sistem nilai yang diwujudkan dalam kalimat. Dengan menyadari bahwa orang lain memiliki arsitektur pikiran yang berbeda, kita belajar untuk lebih fleksibel, lebih toleran, dan jauh lebih menghargai kekayaan yang dibawa oleh setiap perbedaan. Bahasa adalah jembatan menuju pemahaman universal, dan empati adalah mata uang yang kita gunakan untuk melewatinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun