Mohon tunggu...
Salsabila Rasdi
Salsabila Rasdi Mohon Tunggu... -

Sharing reflections on life, diplomacy, and understanding the mind.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Sebagai Cermin Budaya: Interkulturelle Empathie dari Tata Bahasa Jerman

15 Oktober 2025   16:56 Diperbarui: 15 Oktober 2025   16:56 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deutschkurs (Canva AI)

Memahami Cara Berpikir Bangsa Lewat Struktur Bahasanya

Pada mulanya, belajar sebuah bahasa hanyalah soal menghafal kosakata, menguasai tata bahasa, dan merangkai kalimat. Namun, siapa sangka, di balik tumpukan flashcard (kartu kilas) dan tabel konjugasi, tersembunyi sebuah peta jalan paling jujur menuju cara kerja pikiran sebuah budaya? Bergelut dengan Bahasa Jerman yang terkenal dengan keteraturan dan presisinya, berdasarkan pengalaman penulis, hal tersebut bukan hanya menambah daftar keahlian, melainkan mengubah cara penulis melihat dan berinteraksi dengan dunia, terutama dalam memahami konsep interkulturelle Empathie (empati lintas budaya). 

Bahasa pada hakikatnya adalah arsitektur kognitif. Struktur kalimat yang kita gunakan, apakah itu meletakkan verba di akhir (seperti dalam Bahasa Jerman) atau mengutamakan subjek di awal (seperti dalam Bahasa Indonesia), secara fundamental memengaruhi cara kita memproses informasi, merencanakan tindakan, dan bahkan menyampaikan perasaan. Perbedaan ini menjadi titik awal yang baik untuk menumbuhkan empati. Sebab, interkulturelle Empathie dimulai dari rasa penasaran, bukan penghakiman. Kita harus berhenti menilai apa yang orang lain lakukan, dan mulai memahami mengapa mereka melakukannya.

Tata Bahasa sebagai Konteks Budaya

Salah satu kejutan terbesar saat belajar Bahasa Jerman adalah menemukan bahwa bahasa tersebut adalah budaya yang hidup dalam bentuk kode linguistik. Mari kita telaah dua hal fundamental yang sangat kontras antara Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia yang terdapat dalam struktur kalimat dan tingkat kesopanan dalam komunikasi.

Struktur Kalimat

Dalam Bahasa Jerman, kita sering diwajibkan menempatkan kata kerja penting di ujung kalimat, terutama dalam klausa bawahan (Nebensatz). Contoh sederhananya:

-Ich hoffe, dass du mitkommen kannst. (Saya harap, bahwa kamu bisa ikut.)

Struktur ini secara inheren memaksa pendengar Jerman untuk bersabar, menahan diri, dan memproses semua informasi kontekstual yang diberikan, sebelum akhirnya mencapai inti makna (kata kerja, Verben). Ini adalah refleksi nyata dari budaya yang sangat menjunjung tinggi presisi, perencanaan (Plannung)dan ketelitian (Gründlichkeit). Seolah-olah, orang Jerman ‘dipaksa’ oleh bahasanya sendiri untuk memastikan setiap detail sudah terperinci dan di tempat yang benar sebelum sampai pada kesimpulan atau tindakan.

Bandingkan dengan Bahasa Indonesia yang mengalir lebih luwes. Kita bisa menyisipkan verba inti di awal, dan makna langsung tersampaikan. Fleksibilitas ini mencerminkan budaya yang lebih kontextbezogen (kontekstual) dan beziehungsorientiert (berorientasi pada hubungan/relasional).

Bayangkan skenario rapat bisnis. Orang Jerman akan menyajikan semua data dan argumen terperinci, menahan kesimpulan hingga akhir. Sementara itu, kolega Indonesia mungkin akan lebih dulu mencoba membangun suasana yang nyaman, tersenyum, beramah-tamah, bahkan memberikan basa-basi sebelum menyampaikan inti bahasan. Tanpa pemahaman mendalam, kesalahpahaman mudah terjadi, yaitu, orang Jerman bisa dicap kaku dan tidak ramah, sementara orang Indonesia bisa dituduh bertele-tele atau tidak fokus.

Pelajaran Empati: Dengan memahami struktur ini, dapat dipahami bahwa keterusterangan orang Jerman yang sering dianggap "kasar" sesungguhnya adalah manifestasi dari kebutuhan linguistik mereka akan presisi dan kejelasan, bukan bentuk ketidaksopanan personal. Sebaliknya, kehalusan orang Indonesia adalah upaya untuk menjaga harmoni sosial, yang disalurkan melalui bahasa yang kaya akan konteks non-verbal.

Ketika "Tidak" Berarti "Tidak" dan "Tidak" Berarti "Mungkin"

Aspek lain yang sangat menantang adalah perbedaan dalam hal Direktheit (keterusterangan/directness) dan Ablehnung (pengingkaran/refusal).

Masyarakat Jerman digolongkan sebagai kontextarme Kultur (budaya konteks rendah/low-context culture), di mana pesan verbal adalah yang paling penting dan paling jelas. Mereka cenderung sangat langsung. Jika tidak setuju, mereka akan mengatakan, “Nein, das ist falsch.” (Tidak, itu salah.) atau “Ich kann nicht kommen.” (Saya tidak bisa datang). Dalam budaya kerja, kritik disampaikan tanpa basa-basi pujian.

Sebaliknya, masyarakat Indonesia sangat menghargai harmoni sosial dan sering menghindari kata "Tidak" secara eksplisit, terutama kepada figur otoritas atau orang yang lebih tua. Menolak ajakan sering dilakukan dengan memberikan alasan yang sopan, menawarkan waktu lain, atau menggunakan frasa penolakan yang sangat lembut, alih-alih menggunakan kata ingkar yang jelas.

Pengalaman penulis menunjukkan betapa kata 'Tidak' memiliki bobot moral dan sosial yang berbeda di kedua budaya:

- Ketika seorang teman Jerman mengatakan, “Das geht nicht,” (Itu tidak bisa), itu adalah batas yang jelas, seringkali tanpa negosiasi.

- Ketika teman Indonesia mengatakan, “Waduh, sepertinya saya ada janji mendadak,” itu hampir pasti sebuah penolakan halus, meskipun kata "tidak" tidak terucap.

Pelajaran Empati: Belajar bahasa Jerman mengajari kita pentingnya kejelasan dan batas (Klarheit)—bahwa 'Tidak' yang lugas justru bisa lebih menghormati waktu dan energi orang lain daripada 'Ya' yang ragu-ragu. Sementara itu, Bahasa Indonesia mengajari kita pentingnya mendengarkan tidak hanya kata-kata (verbale Botschaft/verbal message) tetapi juga konteks, nada suara, dan bahasa tubuh (nonverbale Kommunikation/non-verbal context). Empati dalam hal ini berarti menyadari bahwa ketegasan Jerman bukanlah arogansi, dan kehalusan Indonesia bukanlah kebohongan, melainkan dua strategi yang berbeda untuk mencapai keefektifan komunikasi dalam konteks budaya masing-masing.

Menghargai Perbedaan sebagai Kekayaan

Perbedaan antara kontextbezogen (Indonesia) dan kontextarm (Jerman) hanyalah permukaan. Konsep waktu (pünktlichkeit yang sakral di Jerman), konsep kepemilikan, dan bahkan konsep kesopanan (Sie versus Du), semuanya terangkum dalam tata bahasa dan kosakata.

Menghadapi perbedaan fundamental ini, kita memiliki dua pilihan, menghakimi atau penasaran.

Awalnya, mudah sekali untuk menghakimi. "Kenapa orang Jerman begitu dingin dan kaku?" atau "Kenapa orang Indonesia tidak bisa tepat waktu?" Namun, saat kita menyelami bahasanya, tembok penghalang itu mulai runtuh. Bahasa membongkar tembok, memperlihatkan fondasi logis dari tindakan yang tadinya tampak irasional.

-   Mengubah Penghakiman "Kasar" menjadi Penasaran "Efisien"

Keterusterangan Jerman bisa dilihat sebagai upaya untuk Kommunikationseffizienz (efisiensi komunikasi) , menghemat waktu dan meminimalisir kesalahpahaman, sejalan dengan budaya yang sangat menghargai waktu (Zeit).

-   Mengubah Penghakiman "Bertele-tele" menjadi Penasaran "Harmonis"

Basa-basi Indonesia bisa dilihat sebagai soziale Investition (investasi sosial), sebuah langkah penting untuk membangun hubungan yang didahulukan sebelum urusan substansi, sejalan dengan budaya kolektivis yang mengutamakan hubungan (Beziehung).


Inilah inti dari interkulturelle Empathie yang sejati. Empati bukan berarti harus setuju dengan cara pandang lain. Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia melalui lensa budaya yang lain meski hanya sesaat tanpa perlu menyerah pada lensa diri sendiri. Bahasa memberikan lensa itu, sebuah kacamata dengan bingkai tata bahasa dan filter makna yang berbeda.

Pada akhirnya, belajar Bahasa Jerman bukan hanya tentang menguasai Nominativ, Akkusativ, Dativ, atau Genitiv. Ini adalah perjalanan untuk memahami bahwa setiap bahasa adalah sebuah filosofi, sebuah sistem nilai yang diwujudkan dalam kalimat. Dengan menyadari bahwa orang lain memiliki arsitektur pikiran yang berbeda, kita belajar untuk lebih fleksibel, lebih toleran, dan jauh lebih menghargai kekayaan yang dibawa oleh setiap perbedaan. Bahasa adalah jembatan menuju pemahaman universal, dan empati adalah mata uang yang kita gunakan untuk melewatinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun