Mohon tunggu...
Salsabila RohadatulAisy
Salsabila RohadatulAisy Mohon Tunggu... Guru - guru

hallo

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lentera

2 Juni 2023   14:58 Diperbarui: 2 Juni 2023   15:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

bocah penghuni rumah paling ujung itu kini mulai melangkahkan kaki, bu. dengan perlahan  berusaha menggapai mimpi-mimpnya yang telah ia rangkai di tengah gelap. semoga kelak dapat membawa penerangan dari perempatan jalan belok kanan.
sekuat tenaga meneguhkan genggaman tangannya pada layar-layar agar terkembang. perlahan ia kayuh perahu kecilnya menuju luasnya cakrawala. meski tak jarang dersik angin menghempas kencang. deru ombak menggulung tajam. rasa ingin menepi, berbalik arah acap hadir dalam benak. hingga senyum mu jadi asa yg paling nyata untuk digapai.

bukan, ini bukan pembuktian bu. Kaki yg berjalan gontai menuju rumah di tengah malam ini belum ada apa-apanya dengan tubuh yg gemetar membelah semak belukar di tengah terik matahari menyapa bumi.

peluh keringat yg kering di badan ini, belum sedikitpun setara dengan tetes darah yg rela kau berikan dua dekade silam.

terpaan deras hujan yang dinginnya merasuk sampai ke tulang, tak juga mampu mengganti gemetar perutmu yang kau tahan ketika lapar. selera makan yang engkau tahan, haus dahaga yang tak dirasa demi seisi rumah itu tak berisik diserbu lapar.

utamanya aku bu, bocah yang katamu kini sudah dewasa. bahwa apa-apa yang kau ceritaka  dulu benar adanya bu. tentang dunia yang tak selalu berputar untuk kita. juga hari-hari yang kerap tak sesuai harapan.

tapi, aku tidak terkejut sama sekali bu. bagaimanapun kenyataan harus tetap diterima juga disyukuri. seperti katamu waktu itu, hari ini adalah milik kita yang harus selalu disyukuri tanpa tapi. itu yang sampai kini terpatri di sanubari, bu. jadi tak ada alasan untuk mundur ke belakang meski keluh terus memaksa bibir untuk mengaduh.

juga caramu menikmati waktu, bu. tak perlu banyak kata untuk membenarkan bahwa kita telah paling keras berusaha. sesekali juga tak apa berdamai dengan diri sendiri. berbicara  dengan hati untuk evaluasi. menjadi bukti kalau raut wajahmu tak pernah gusar apapun yang terjadi.

bu, aku yakin doamu akan selalu menyertai tiap derap langkahku meski aku tak meminta. hingga engkau lupa untuk dirimu sendiri.

oleh karenanya, Aku menyebutnya bumi, karena ia terlalu luas untuk ku isi penuh. Sementara aku tak mempunyai sesuatu yg spesial untuk membuatnya utuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun