Lebih lanjut, Survei PISA 2018 oleh OECD menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-73 dari 79 negara dalam kemampuan membaca siswa. Artinya, meskipun masyarakat Indonesia banyak yang sudah bisa membaca, hanya sedikit yang benar-benar memahami dan menikmati aktivitas membaca itu sendiri. Kondisi ini diperkuat oleh studi dari Central Connecticut State University (2016) yang menempatkan Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Laporan tersebut bahkan menegaskan bahwa minat baca masyarakat hanya 0,001. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca.
Bercermin dari data-data tersebut, sejumlah pakar pendidikan menilai bahwa rendahnya minat baca di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor mendasar. Mereka menyoroti minimnya akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas dan relevan, kurangnya budaya membaca di lingkungan rumah maupun sekolah, serta ketergantungan masyarakat pada konten digital yang lebih bersifat visual, cepat, dan dangkal.
Memaknai membaca sebagai gerbang pengetahuan sejatinya bukan sekadar aktivitas mengenal huruf dan merangkai kata, melainkan proses memahami makna, menyelami ide, dan menyingkap cakrawala baru yang membentuk cara berpikir seseorang. Dari membaca, manusia belajar menafsirkan dunia, mengenali dirinya, dan memahami realitas di sekitarnya dengan lebih jernih. Tak heran jika bangsa-bangsa maju selalu lahir dari budaya membaca yang kuat, sebab dari sanalah tumbuh tradisi berpikir kritis dan kemampuan berinovasi.
Memahami konsep berpikir luas sebagai ciri manusia visioner, yang berarti mampu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, tidak mudah terjebak dalam fanatisme, prasangka, atau kebenaran tunggal. Orang yang berpikir luas memiliki keberanian untuk membuka diri terhadap ide-ide baru, mendengar pendapat yang berbeda, dan menimbangnya dengan kebijaksanaan. Sikap semacam ini tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh dari kebiasaan membaca dan merenung.
Lalu, apakah sejatinya makna membaca hanya berhenti pada kemampuan mengenali huruf dan kata, atau justru menjadi jalan yang membebaskan manusia untuk berpikir merdeka dan menyadari potensinya secara utuh? Tentu membaca sejati adalah jalan menuju pembebasan dan kemerdekaan berpikir. Sebuah tindakan pembebasan dalam proses yang mengubah manusia dari kegelapan kebodohan menuju terang kesadaran. Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, "Literacy is the road to human progress and the means through which every man can realize his potential." Literasi menjadi jalan kemajuan manusia dan sarana untuk mewujudkan potensi dirinya secara utuh.
Maka benarlah pandangan Rick Holland bahwa "Dunia milik mereka yang membaca." Sebab membaca dapat digambarkan sebagai nutrisi kehidupan bagi pikiran, dan di sanalah tumbuh rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Sementara itu, berpikir luas menumbuhkan kebijaksanaan, karena dari keluasan pandangan lahir kemampuan memahami perbedaan dan menemukan kebenaran dengan hati yang tenang. Dalam realitas kehidupan, dunia ini tidak dikuasai oleh mereka yang paling kuat secara fisik, melainkan oleh mereka yang paling banyak belajar, membaca, dan merenung. Mereka inilah yang mampu menafsirkan zaman, memimpin perubahan, dan menyalakan cahaya pengetahuan di tengah gelapnya ketidaktahuan.