Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dunia Milik Mereka yang Membaca dan Berpikir Luas

8 Oktober 2025   04:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   21:10 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih lanjut, Survei PISA 2018 oleh OECD menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-73 dari 79 negara dalam kemampuan membaca siswa. Artinya, meskipun masyarakat Indonesia banyak yang sudah bisa membaca, hanya sedikit yang benar-benar memahami dan menikmati aktivitas membaca itu sendiri. Kondisi ini diperkuat oleh studi dari Central Connecticut State University (2016) yang menempatkan Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Laporan tersebut bahkan menegaskan bahwa minat baca masyarakat hanya 0,001. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Bila menyandingkan lagi dengan data yang lebih baru dari Comparedoo tahun 2024--2025 kembali menunjukkan tren serupa: Indonesia berada di posisi ke-99 dari sekitar 200 negara, meskipun tingkat literasinya tetap tinggi di angka 96 persen. Fakta ini menandakan bahwa tingginya angka melek huruf belum berbanding lurus dengan kualitas literasi masyarakat secara keseluruhan. Banyak orang memang bisa membaca, tetapi tidak menjadikan membaca sebagai kebiasaan berpikir dan sarana membangun wawasan.

Bercermin dari data-data tersebut, sejumlah pakar pendidikan menilai bahwa rendahnya minat baca di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor mendasar. Mereka menyoroti minimnya akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas dan relevan, kurangnya budaya membaca di lingkungan rumah maupun sekolah, serta ketergantungan masyarakat pada konten digital yang lebih bersifat visual, cepat, dan dangkal.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Ketiga hal ini secara perlahan membentuk pola berpikir instan dan dangkal di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Akibatnya, kemampuan untuk memahami teks secara kritis, menalar makna secara mendalam, dan berpikir luas secara reflektif semakin melemah. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi bangsa yang bercita-cita melahirkan generasi pembelajar sejati, generasi yang tidak hanya mampu membaca, tetapi juga menghidupi nilai-nilai dari apa yang dibacanya.

Memaknai membaca sebagai gerbang pengetahuan sejatinya bukan sekadar aktivitas mengenal huruf dan merangkai kata, melainkan proses memahami makna, menyelami ide, dan menyingkap cakrawala baru yang membentuk cara berpikir seseorang. Dari membaca, manusia belajar menafsirkan dunia, mengenali dirinya, dan memahami realitas di sekitarnya dengan lebih jernih. Tak heran jika bangsa-bangsa maju selalu lahir dari budaya membaca yang kuat, sebab dari sanalah tumbuh tradisi berpikir kritis dan kemampuan berinovasi.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Sebaliknya, di Indonesia, tantangan rendahnya minat baca menjadi hambatan besar bagi lahirnya masyarakat yang gemar belajar. Ketika membaca mulai digantikan oleh kebiasaan menatap layar dan menikmati informasi instan, kualitas berpikir pun menurun dari reflektif menjadi reaktif, dari analitis menjadi sekadar konsumtif. Padahal, tanpa membaca secara mendalam, mustahil bagi seseorang atau bangsa untuk memahami dunia secara utuh dan berkontribusi secara bermakna di dalamnya.

Memahami konsep berpikir luas sebagai ciri manusia visioner, yang berarti mampu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, tidak mudah terjebak dalam fanatisme, prasangka, atau kebenaran tunggal. Orang yang berpikir luas memiliki keberanian untuk membuka diri terhadap ide-ide baru, mendengar pendapat yang berbeda, dan menimbangnya dengan kebijaksanaan. Sikap semacam ini tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh dari kebiasaan membaca dan merenung.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Belajar dari tokoh Ki Hadjar Dewantara dan Nelson Mandela adalah contoh nyata manusia visioner yang berpikir melampaui zamannya. Mereka menjadikan membaca sebagai sumber inspirasi dan refleksi untuk memperluas cakrawala berpikir serta memperdalam nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, membaca dan berpikir luas memiliki hubungan yang tak terpisahkan, lewat membaca membuka wawasan, sedangkan berpikir luas memampukan seseorang mengolah wawasan itu menjadi kebijaksanaan.

Lalu, apakah sejatinya makna membaca hanya berhenti pada kemampuan mengenali huruf dan kata, atau justru menjadi jalan yang membebaskan manusia untuk berpikir merdeka dan menyadari potensinya secara utuh? Tentu membaca sejati adalah jalan menuju pembebasan dan kemerdekaan berpikir. Sebuah tindakan pembebasan dalam proses yang mengubah manusia dari kegelapan kebodohan menuju terang kesadaran. Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, "Literacy is the road to human progress and the means through which every man can realize his potential." Literasi menjadi jalan kemajuan manusia dan sarana untuk mewujudkan potensi dirinya secara utuh.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Dalam konteks pendidikan kita, literasi seharusnya tidak dipahami sekadar sebagai program pemerintah atau kegiatan membaca buku di sekolah melalui gerakan literasi membaca 15 menit saja, melainkan sebagai gerakan kemerdekaan berpikir yang selalu memanfaatkan waktu luang, bukan menunggu adanya waktu luang baru membaca. Ketika seseorang terbiasa membaca dan merenungkan maknanya, maka akan mempertanyakan dan memahaminya. Dengan demikian, membaca bukan hanya menambah pengetahuan, melainkan membebaskan manusia dari ketidaktahuan menuju kesadaran yang mencerdaskan

Maka benarlah pandangan Rick Holland bahwa "Dunia milik mereka yang membaca." Sebab membaca dapat digambarkan sebagai nutrisi kehidupan bagi pikiran, dan di sanalah tumbuh rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Sementara itu, berpikir luas menumbuhkan kebijaksanaan, karena dari keluasan pandangan lahir kemampuan memahami perbedaan dan menemukan kebenaran dengan hati yang tenang. Dalam realitas kehidupan, dunia ini tidak dikuasai oleh mereka yang paling kuat secara fisik, melainkan oleh mereka yang paling banyak belajar, membaca, dan merenung. Mereka inilah yang mampu menafsirkan zaman, memimpin perubahan, dan menyalakan cahaya pengetahuan di tengah gelapnya ketidaktahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun