Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Keracunan: MBG Disorot, Bagaimana Jika Tubuh Anak Bermasalah?

6 September 2025   04:30 Diperbarui: 5 September 2025   19:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: lintas.biinmafo

KASUS KERACUNAN: MBG DISOROT, BAGAIMANA JIKA TUBUH ANAK BERMASALAH?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: kompasiana.com
Input gambar: kompasiana.com
Kasus dugaan keracunan makanan di sekolah bukanlah hal baru, dan sering kali langsung dikaitkan dengan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang dijalankan pemerintah. Di sejumlah daerah, muncul laporan anak-anak mengalami mual, pusing, hingga muntah setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Menariknya, kejadian ini tidak terjadi secara massal, melainkan hanya dialami oleh sekelompok anak saja di sekolah tertentu.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya: jika makanan yang disajikan sama untuk semua siswa, mengapa hanya sebagian kecil yang terdampak? Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih kompleks: apakah masalah benar-benar bersumber dari kualitas makanan, atau ada faktor lain pada tubuh anak yang membuat mereka lebih rentan?

Sorotan atas perihal keracunan akibat MBG, sering kali publik cenderung mencari pihak yang bisa dipersalahkan, dan program pemerintah yang menyuplai makanan ke sekolah menjadi sasaran empuk. Media sosial dengan cepat memperkuat stigma ini, memunculkan narasi bahwa makanan MBG tidak aman. Padahal, tuduhan semacam ini belum tentu sejalan dengan fakta di lapangan. Alih-alih langsung menghakimi, kasus ini semestinya menjadi pintu masuk untuk melihat persoalan secara lebih jernih, dari proses penyajian makanan, distribusi, hingga kondisi kesehatan masing-masing anak penerima.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat adanya 17 kasus dugaan keracunan yang terkait dengan produk pangan program MBG, tersebar di 10 provinsi. Data ini diperoleh dari hasil pemantauan yang dimutakhirkan antara 6 Januari hingga 12 Mei 2025. Temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun program ini bertujuan mulia untuk meningkatkan asupan gizi anak sekolah, tetap terdapat tantangan dalam memastikan keamanan pangan di seluruh jalur distribusi dan proses penyajiannya.

Input gambar: liputan6.com
Input gambar: liputan6.com
Jika ditelusuri lebih dalam, data lapangan menunjukkan bahwa jumlah anak yang mengalami gejala keracunan jauh lebih kecil dibanding total penerima MBG di sekolah tersebut. Misalnya, dari ratusan siswa yang mengonsumsi menu serupa, hanya belasan atau bahkan beberapa anak saja yang melaporkan mual, pusing, atau muntah. Gejala yang muncul pun bervariasi, ada yang hanya merasa sedikit tidak nyaman di perut, sementara beberapa lainnya harus mendapat perawatan medis lebih lanjut.

Hasil uji awal terhadap sampel makanan tidak selalu menemukan kandungan berbahaya atau kontaminasi yang signifikan, bahkan sebagian laporan menyebut kualitas makanan masih sesuai standar. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa faktor kerentanan tubuh anak, seperti daya tahan tubuh yang lemah, alergi tertentu, atau riwayat penyakit bawaan bisa menjadi pemicu munculnya reaksi negatif setelah mengonsumsi makanan yang sama. Dengan kata lain, penyebab gangguan kesehatan tidak serta-merta dapat disimpulkan sebagai keracunan massal akibat MBG.

Melihat kasus ini dari sudut pandang medis, ada kemungkinan bahwa gangguan kesehatan yang dialami sebagian anak bukan murni keracunan makanan, melainkan reaksi tubuh terhadap zat tertentu dalam menu MBG. Alergi atau intoleransi makanan bisa memicu gejala mirip keracunan, seperti mual, muntah, atau sakit perut, meskipun makanan tersebut aman bagi anak lain. Selain itu, daya tahan tubuh yang lemah, riwayat anemia, atau penyakit bawaan seperti gangguan pencernaan juga dapat membuat seorang anak lebih rentan mengalami gejala setelah makan.

Beberapa studi bahkan menunjukkan, pada kasus serupa di daerah lain, hasil laboratorium tidak menemukan kontaminan berbahaya pada makanan, tetapi pemeriksaan kesehatan justru mengungkap masalah pribadi pada tubuh anak yang terdampak. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor internal sering kali diabaikan, padahal bisa menjadi kunci untuk memahami mengapa hanya segelintir anak yang mengalami gangguan kesehatan meskipun semua mengonsumsi makanan yang sama.

Input gambar: jabar.tribunnews.com
Input gambar: jabar.tribunnews.com
Terhadap kasus ini, perlu adanya pendekatan investigatif yang menyeluruh dengan harus menempatkan dua jalur pemeriksaan secara sejajar yakni uji keamanan pangan dan uji kesehatan korban. Pada sisi makanan, diperlukan penelusuran rantai pasok dari dapur produksi hingga penyajian, termasuk pengecekan bahan baku, suhu penyimpanan, higienitas alat, waktu antara produksi dan konsumsi, dan potensi kontaminasi pada  tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun