KASUS KERACUNAN: MBG DISOROT, BAGAIMANA JIKA TUBUH ANAK BERMASALAH?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya: jika makanan yang disajikan sama untuk semua siswa, mengapa hanya sebagian kecil yang terdampak? Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih kompleks: apakah masalah benar-benar bersumber dari kualitas makanan, atau ada faktor lain pada tubuh anak yang membuat mereka lebih rentan?
Sorotan atas perihal keracunan akibat MBG, sering kali publik cenderung mencari pihak yang bisa dipersalahkan, dan program pemerintah yang menyuplai makanan ke sekolah menjadi sasaran empuk. Media sosial dengan cepat memperkuat stigma ini, memunculkan narasi bahwa makanan MBG tidak aman. Padahal, tuduhan semacam ini belum tentu sejalan dengan fakta di lapangan. Alih-alih langsung menghakimi, kasus ini semestinya menjadi pintu masuk untuk melihat persoalan secara lebih jernih, dari proses penyajian makanan, distribusi, hingga kondisi kesehatan masing-masing anak penerima.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat adanya 17 kasus dugaan keracunan yang terkait dengan produk pangan program MBG, tersebar di 10 provinsi. Data ini diperoleh dari hasil pemantauan yang dimutakhirkan antara 6 Januari hingga 12 Mei 2025. Temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun program ini bertujuan mulia untuk meningkatkan asupan gizi anak sekolah, tetap terdapat tantangan dalam memastikan keamanan pangan di seluruh jalur distribusi dan proses penyajiannya.
Hasil uji awal terhadap sampel makanan tidak selalu menemukan kandungan berbahaya atau kontaminasi yang signifikan, bahkan sebagian laporan menyebut kualitas makanan masih sesuai standar. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa faktor kerentanan tubuh anak, seperti daya tahan tubuh yang lemah, alergi tertentu, atau riwayat penyakit bawaan bisa menjadi pemicu munculnya reaksi negatif setelah mengonsumsi makanan yang sama. Dengan kata lain, penyebab gangguan kesehatan tidak serta-merta dapat disimpulkan sebagai keracunan massal akibat MBG.
Melihat kasus ini dari sudut pandang medis, ada kemungkinan bahwa gangguan kesehatan yang dialami sebagian anak bukan murni keracunan makanan, melainkan reaksi tubuh terhadap zat tertentu dalam menu MBG. Alergi atau intoleransi makanan bisa memicu gejala mirip keracunan, seperti mual, muntah, atau sakit perut, meskipun makanan tersebut aman bagi anak lain. Selain itu, daya tahan tubuh yang lemah, riwayat anemia, atau penyakit bawaan seperti gangguan pencernaan juga dapat membuat seorang anak lebih rentan mengalami gejala setelah makan.
Beberapa studi bahkan menunjukkan, pada kasus serupa di daerah lain, hasil laboratorium tidak menemukan kontaminan berbahaya pada makanan, tetapi pemeriksaan kesehatan justru mengungkap masalah pribadi pada tubuh anak yang terdampak. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor internal sering kali diabaikan, padahal bisa menjadi kunci untuk memahami mengapa hanya segelintir anak yang mengalami gangguan kesehatan meskipun semua mengonsumsi makanan yang sama.
Di saat yang sama, pemeriksaan klinis pada anak terdampak tidak boleh ditunda untuk mengetahui riwayat alergi atau intoleransi, status gizi dan hidrasi, penyakit bawaan, kemungkinan infeksi virus/bakteri yang tidak terkait makanan, hingga interaksi dengan obat yang sedang dikonsumsi.
Oleh karena itu, kasus dugaan keracunan yang melibatkan program MBG seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru menjatuhkan vonis. Menyalahkan satu pihak tanpa bukti lengkap bukan hanya tidak adil, tetapi juga berisiko menutup peluang perbaikan sistemik. Edukasi gizi kepada anak dan orang tua, serta pemeriksaan kesehatan rutin di sekolah, harus menjadi langkah pencegahan yang berjalan paralel dengan peningkatan kualitas pangan.
Terlepas dari siapa yang pada akhirnya dibenarkan atau disalahkan, kita diharapkan mampu menyikapi persoalan ini dengan baik dan bijak, karena tujuan utama dari program MBG adalah memastikan anak-anak tumbuh sehat, bukan menjadi korban dari polemik. Kasus ini sepatutnya menjadi pelajaran bersama bahwa keamanan pangan dan kesehatan anak adalah tanggung jawab kolektif, bukan beban satu pihak semata.
Semoga kita mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa ini dengan kepala dingin dan hati jernih, bukan dengan emosi sesaat. Dengan begitu, setiap langkah perbaikan baik dalam mutu pangan, pola hidup sehat, maupun pemantauan kesehatan anak dapat berjalan lebih terarah dan berkelanjutan, sehingga kejadian serupa tidak terulang di masa depan.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI