Sebagai alat pembangun interaksi, bahasa juga memainkan perannya sebagai petunjuk navigasi dalam menyalurkan kedalaman emosi antarpenutur. Setiap untaian kata, gestur, maupun ekspresi yang hadir---secara kuat memantulkan realitas makna---yang memudahkan kita untuk memahami apa yang dirasakan orang lain. Nyatanya, kerja bahasa untuk memproduksi makna tidak hanya terbatas dari kata-kata yang terucap, lebih dari itu diperlukan perhatian penuh untuk menangkap konteks yang melingkupinya. Dari sinilah cara kerja pragmatis diuji.
Pragmatik---studi tentang bagaimana konteks membentuk makna dalam komunikasi. Dalam hal ini, situasi dan kondisi yang muncul bersamaan memengaruhi bagaimana kita memproses bahasa. Suasana yang seringkali menguji kita untuk menavigasi kata-kata yang tepat diungkapkan adalah dalam suasana yang sangat emosional seperti kesedihan atau perpisahan---mendorong cara sikap pragmatis yang benar untuk mengekpresikan diri maupun memahami orang lain. Saat kita menghadapi teman yang sedang dalam kondisi duka, kita tidak hanya merasakan vibrasi emosi lawan bicara, juga mengarahkan perhatian kita untuk memproses kata yang tepat untuk mengomunikasikannya kepada lawan bicara.
Dalam situasi terpuruk dengan kondisi emosional yang begitu mendalam, seseorang membutuhkan teman bicara untuk menyalurkan lanskap emosi yang dirasakan. Pragmatik dalam situasi ini mencoba untuk menavigasi norma-norma sosial yang sesuai termasuk dalam situasi kesedihan. Kita dapat mempertimbangkan antara mengekspresikan emosi kita untuk bisa dipahami orang lain atau memilih diam dan menahan diri agar tidak membebani diri sendiri atau orang lain. Demikian, pragmatik memberi kita alat untuk menimbang pilihan-pilihan ini sebagai cara terbaik mengelola kesedihan.
Membatasi Kata, Menjaga Citra
Membangun komunikasi saat teman atau saudara dalam kondisi terpuruk, orang cenderung melindungi kata-kata mereka dengan sesuatu yang memberi kenyamanan. Teori kesopanan, yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson, menjelaskan bagaimana orang menggunakan bahasa untuk menjaga 'citra' mereka sendiri dan orang lain --- selama percakapan. Hal ini khususnya relevan dalam situasi kesedihan, di mana emosi berada pada lapisan terbawah yang begitu rapuh sehingga orang lebih memilih memberi pertimbangkan dalam bertindak dan menjalin interaksi.
Saat menyampaikan perasaan empati kepada teman yang sedang melalui hari yang berat, alih-alih mengatakan, "Aku turut sedih mendengarnya," terdengar lebih nyaman untuk memilih frasa seperti, "aku yakin kamu kuat" atau "aku akan akan selalu ada untukmu" Frasa-frasa ini memberi dukungan dan penguatan---mempertahankan atensi yang lembut dan penuh empati dengan mencoba membuat situasi lebih mudah ditangani. Namun, tentu saja efektivitas semacam itu bergantung pada pembicara dan pendengar. Dengan mempertimbangkan norma-norma kesopanan dalam berbahasa, pembicara akan merasa lebih mampu mengendalikan pembicaraan atau lebih nyaman mengekspresikan kesedihannya.
Tindak Tutur dalam Menumbuhkan Empati
Teori tindak tutur Searle menyatakan bahwa ujaran tertentu tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menimbulkan tindakan. Dalam komunikasi empatik, frasa seperti "Beri tahu saya jika ada yang bisa saya lakukan" bersifat performatif --- frasa tersebut menawarkan kenyamanan dan dukungan. Namun, tindak tutur ini terkadang terasa hampa jika tidak didukung oleh tindakan yang bermakna. Misalnya, "Beri tahu saya jika Anda membutuhkan sesuatu" mungkin terdengar mendukung, tetapi memungkinkan untuk membebani lawan bicara meminta bantuan, hal ini bisa membuat mereka merasa tidak nyaman melakukannya. Namun, jika dengan mengatakan, "Saya akan membantu kamu menyelesaikan proyek itu malam ini --- Anda tidak perlu khawatir tentang apa pun." Hal ini mengubah tawaran bantuan yang samar menjadi tindakan konkret---memberi tawaran nyata, yang meminimalisir beban orang yang diajak bicara.
Percakapan Tidak Selalu Terikat Pada "Aturan"
Dalam percakapan sehari-hari, sudah menjadi keharusan untuk mengikuti aturan tidak tertulis untuk menjaga interaksi tetap efisien. Aturan ini dikenal sebagai Prinsip Kerja Sama Grice---yang berisi paduan dalam interaksi dengan memberikan informasi dalam jumlah yang tepat, relevan, mengatakan yang sebenarnya, dan jelas. Namun, dalam situasi terpuruk atau dalam suasana sedih, prinsip-prinsip ini sering kali tidak berlaku karena emosi lebih diutamakan daripada ekspektasi percakapan yang terikat pada prinsip tersebut.
1. Maksim Kuantitas: Seberapa banyak informasi yang harus dikatakan?
Kunci Kuantitas mengarahkan untuk memberikan informasi dalam jumlah yang seimbang --- tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit. Dalam percakapan seputar kesedihan, hal ini bisa jadi tidak efektif. Seorang teman yang dalam kondisi terpuruk mungkin akan berbagi banyak cerita, mengeluarkan segala yang ada diisi kepalanya. Dalan hal ini, berbagi cerita yang banyak mencerminkan kebutuhan pembicara untuk menetralisir kesedihan mereka, meskipun hal itu melanggar norma percakapan. Pendengar harus merespons emosional ini dengan rasa empati---mendengarkannya secara tulus tanpa menuntut apapun. Atau bisa jadi mereka mungkin tidak banyak yang dikatakan, hal ini tentu menguji pendengar untuk menanggapinya secara tepat.
2. Maksim Relevansi: Kesedihan Mengalihkan Fokus
Biasanya, kita diarahkan untuk mengikuti maksim relevansi, dengan memberikan informasi yang berhubungan langsung dengan percakapan. Namun, kesedihan sering kali mengalihkan fokus secara tak terduga. Beberapa penutur mungkin membagikan topik tidak relevan dan acak karena emosi bisa menjadi pemicu mereka tidak memperhatikan alur percakapan. Hal ini, mungkin sebagai cara mereka mengalihkan emosional yang dirasakannya dengan bergerak dari topik yang satu ke topik lainnya. Emosi yang rumit seringkali sulit untuk dikontrol dan dipahami orang lain, bahkan oleh diri sendiri. Maka dari itu, tetap berikan empati kepada mereka, pahami dan hargai keadaan yang mereka alami, hindari keberpihakan apapun.
3. Maksim Cara: Informasi Tidak Teratur
Prinsip lain Grice yakni tentang cara bersikap mendorong kejelasan, tetapi kesedihan sering kali menimbulkan pikiran yang tidak teratur atau bertentangan. Seseorang mungkin berkata, "Saya baik-baik saja... tetapi saya tidak baik-baik saja." Ungkapan kontradiktif tersebut memperlihatkan bagaimana kompleksitas kesedihan menghambarkan perasaan yang dialami, yang membingungkan pendengarnya. Namun, ini bisa menandakan bahwa orang tersebut kesulitan untuk mengekspresikan emosi mereka dengan lebih terbuka.
4. Maksim Kualitas: Memutarbalikkan Kebenaran
Maksim Kualitas adalah aturan untuk mengatakan kebenaran, tetapi dalam suasana terpuruk, orang terkadang memutarbalikkan kebenaran untuk menutupi beban diri mereka sendiri atau orang lain. Seseorang mungkin berkata, "Saya baik-baik saja, sungguh" dengan nada yang mencoba untuk meyakinkan meskipun sebenarnya tidak. Mereka menghindari membebani orang lain dengan rasa sakit mereka. Pelanggaran ini dibuat sebagai strategi menjauhkan diri mereka dari percakapan yang terlalu sulit untuk terbuka.
Melanggar prinsip-prinsip kerja sama dari Grice ini tidak berarti komunikasi telah gagal. Sebaliknya, hal ini menjadi rambu bahwa dalam komunikasi tertentu tidak selalu ketat pada aturan, dalam hal kesedihan mereka ingin merasa terbebas dengan cara lain yang menyembuhkan emosi yang dirasakannya. Pragmatik membantu kita memahami pelanggaran ini sebagai penyesuaian terhadap realitas emosional kesedihan, bukan kegagalan percakapan. Pragmatik adalah tentang bahasa yang kuat untuk terhubung dengan lawan bicara. Saat berbicara tentang kesedihan, pilihan kata dapat menjembatani jalur yang lebih nyaman dan tepat untuk dikomunikasikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI