Mohon tunggu...
Febri Siregar
Febri Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Eceran

a wise man

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menulis Antikorupsi, Apakah Menghakimi?

2 Agustus 2018   23:53 Diperbarui: 3 Agustus 2018   19:07 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Salamun Siti.2018

Ini semacam renungan. Boleh dibilang serupa itu. Hanya sekadar sekapur sirih tentang suatu hal atau banyak hal. Takaran banyak atau sedikit tentu sangat relatif. Mirip dengan makan dan minum. Ada yang bilang terlalu banyak makan bisa bikin gemuk salah satunya. Demikian juga kalau terlalu banyak minum bisa menyebabkan kembung.

Terlalu banyak makan atau minum menjadi gemuk atau kembung, tentu kembali pada pokok persoalan dasar, makan jenis makanan apa dan minum apa. Boleh juga dibilang kedua hal itu kembali kepada kebutuhan tubuh masing-masing. Makhluk kodok misalnya jenis binatang amfibi, bisa di darat dan di air, mungkin tak pernah kembung. Ya, sebab takdirnya begitu.

Kalau melihat ke dunia penciptaan lebih luas, tentu didalamnya ada beragam jenis makhluk hidup, dari jenis pohon, jenis binatang hingga jenis manusia, ada sejarah tentang manusia gua atau purba, baik dalam ukuran raksasa maupun ukuran normal atau bahkan manusia kecil purba, tentu apapun jenis makhluk manusia lebih lengkap plus sempurna di segala sektor, baik secara struktur kesehatan anatomi, kepandaian, kecerdikan.sebagai makhluk super intelegensi plus-minus selaku pemeran homo sapiens.

Judul di atas sebetulnya biar terlihat keren sedikit saja sehingga merasa perlu dibaca, itupun jika dianggap penting oleh pembacanya kelak. Itu sebabnya tidak ada yang di sebut-penulis hebat atau editor hebat-yang ada adalah pembaca yang hebat.

Tidak ada pula jenis tulisan cetek atau jenis tulisan dalam. Menulis itu bisa dari perumpamaan berimajinasi atau sebaliknya, bisa dari realitas atau impian pengarangnya, maka jadilah teks humaniora, cerpen atau esai juga puisi, atau berbagai jenis pilihan penulisnya.

Cetek atau tidak bukanlah ukuran sebuah tulisan. Setiap penulis punya khas sendiri, seperti bentuk lahiriah manusia serupa tapi tak sama, tak sama pula isi ide dan imajinasinya. Tak sama pula terapan pendidikannya, ada autodidak (natural) ada kelas pendidikan formal. cara menerapkan pikiran-pikiran untuk dasar menulis pun pastilah berbeda. Apa dan siapa penulis itu tetaplah bijaksana menyikapi perilaku diri sendiri untuk sesama.

Apalah artinya menulis jika tak ada media penampung pembaca, apalah gunanya media penampung pembaca jika tak ada pembacanya meski punya segudang penulis, disitulah pentingnya pembaca, mereka mampu membuat kaya pemilik media baik media online (kini) cetak (lampau) dan sekaligus mampu membuat bangkrut penulis atau raja media sehebat apapun.

Pembaca atau pemirsa, bisa setiap saat memalingkan muka untuk membaca apa saja dengan bebas, bahkan papan reklame elektronik yang memerlukan kecepatan kedip sepersekian detik, secepat kilat, mampu dibaca dan di serap, jika pemerhati itu berniat melihat, seketika terbaca olehnya, apapun bentuk komunikasi sebuah media.

Pembaca adalah personal atau kelompok bebas dalam arti bisa siapa saja, dimana saja, kapan saja, disegala lapisan masyarakat. Maka lahirlah susastra novel atau roman, setelah diakui oleh pembacanya, jutaan pembaca, jika tidak maka akan lewat ditelan waktu.

Hal itu pula penyebab seorang pengarang tangguh dan rendah hati sekelas Nh. Dini, Pramoedya Ananta Toer, Arifin C. Noer, Umar Kayam dan W.S. Rendra, ini hanya beberapa contoh pelaku sastra juga budayawan negeri tercinta ini. Para pendahulu susastra itu justru membentuk tata laku bahasa komunikasi susastra, contoh sederhana semisal 'Antologi Puisi Pamflet Masa Darurat' dari W.S. Rendra, lahir dari bahasa sehari-hari, lantas membentuk citra bahasa tata laku susastra pamflet, tak sekadar menulis dari mengutip kamus begitu saja.

Kutipan sajak

SAJAK SEBATANG LISONG
Karya: WS Rendra

"...Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya...."

Secara langsung pembaca atau pemirsa penentu hidup matinya penulis atau pengarang juga kreator siapapun atau media apapun. Terbayangkah jika satu media online raksasa sekalipun akan runtuh dalam hitungan detik jika menjual barang palsu melulu, apa lagi di masa milenial kini, bisnis online adalah usaha dagang kejujuran total non-korupsi disegala lini sektor.

David Ogilvy, si raja iklan kreatif kelas dunia pencipta bentuk-bentuk logo dan iklan kreatif dengan ide sederhana, semisal iklan merek korek terkenal di dunia, digambarkan dalam bentuk seekor ikan hiu, menelan korek api dalam keadaan menyala, dibawa kedasar laut, lalu hiu itu muncul dengan korek masih menyala di dalam rongga mulutnya, ada lagi iklan sebuah rokok merek terkenal di dunia, diselipkan di helm seorang tentara dengan teknik foto medium closeup piawai hitam putih, sederhana tepat sasaran pada titik kecerdasan pembaca atau pemirsa iklan, lantas melanda dunia, rokok itu menjadi gaya hidup zamannya di tengah perilaku budaya publik ketika itu zaman orde baru.

Itu sebabnya pula kalau seumpama jadi penulis dilarang sombong, kata perumpamaan bahasa di atas langit ada langit. Apalagi penulis eceran seperti saya, anak bawang warung kopi, baru gabung di Kompasiana he he he... Sangat dilarang sombong untuk selamanya. Kembali lagi hal sekapur sirih ini. Apalah artinya sebuah tulisan sekalipun telah ditayangkan jika tak ada pembacanya.

Demikian pula hampir mirip dengan kalimat menghakimi atau main hakim sendiri atau main hakim-hakiman atau hal mirip setara itu. Siapa yang merasa dihakimi? Semisal menulis tentang anti korupsi? Apakah itu bukan sumbangsih pada aturan negara tentang anti-korupsi?

Menulis anti korupsi tidak berarti menghakimi koruptor kan? Mungkin merupakan salah satu amal sederhana dari salah satu anggota masyarakat untuk masyarakat, sosialisasi, mengingatkan bahwa korupsi adalah hal tabu dan tidak ada celah baiknya.

Jakarta, Agustus 2018/Siti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun