Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Juni dan Sejarah yang Harus Kita Kritisi

7 Juni 2020   17:44 Diperbarui: 8 Juni 2020   10:12 1306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Soeharto, Sumber Gambar: istimewa

1 Juni ditetapkan oleh Pemerintah pada 2016 sebagai hari lahir Pancasila dengan menggunakan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 yang sekaligus menjadikan 1 Juni sebagai hari libur nasional.

Sebelumnya, saya berpikir polemik mengenai hari lahir Pancasila sudah terselesaikan. Sudah tidak ada lagi silang pendapat mengenai hari lahir Pancasila, apalagi dengan ditetapkannya 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila sedangkan 18 Agustus sebagai hari Konstitusi. Ternyata dugaan saya salah. 

Tepat pada 1 Juni 2020 saya mengikuti sebuah webinar dengan pembahasan mengenai RUU Haluan Ideologi Pancasila yang dinarasumberi secara tunggal oleh seorang Profesor dari sebuah kampus negeri di Jawa Tengah.

Tak disangka, silang pendapat terjadi antara saya dan Profesor tersebut mengenai hari lahir Pancasila. Pasalnya, beliau meyakini 18 Agustus sebagai hari lahir Pancasila.

Saya tidak akan menyebutkan nama lengkap Profesor dan Kampus tempat Profesor mengabdi sebagai dosen. Menurut saya itu tidak penting dan kurang relevan. Karena yang lebih penting dan relevan adalah pendapat beliau, yang mungkin juga diyakini oleh tidak sedikit masyarakat Indonesia. 

Oleh karena itu, dengan tulisan ini saya harap dapat menjadi secercah cahaya di dalam kegelapan hegemoni militerisme yang telah menguasai Indonesia sejak 1965-1998 dan masih membekas di dalam benak tidak sedikit masyarakat Indonesia hingga kini.

1 Juni dan Sejarah Hari Lahir Pancasila

Badan Penyeledikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk oleh Jepang sebagai wujud dari Jepang, yang mengaku sebagai saudara Asia, untuk memerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukan setelah posisi Jepang yang semakin terpojok dalam perang pasifik.

1 Maret 1945 BPUPKI diumumkan oleh Jepang sebagai badan yang dibentuk untuk mempersiapkan segala halnya guna menuju Indonesia merdeka. Namun 29 Mei 1945 BPUPKI baru dapat bekerja dan memulai sidangnya dengan agenda menentukan dasar negara. 

Dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPKI sekaligus pemimpin sidang membuka sidang dengan pertanyaan mendasar yaitu, dasar Indonesia merdeka, yang oleh Soekarno sebut sebagai "Philosofische Grondslag" atau fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya berdiri Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

Soekarno menyampaikan pemikirannya pada 1 Juni 1945, setelah dari 29 Mei 1945 secara berturut-turut hingga 1 Juni 1945 belum menemukan kata sepakat dari jawaban-jawaban peserta sidang atas pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Mengapa sidang BPUPKI mengenai dasar negara berakhir pada 1 Juni 1945 ?. Hal ini dapat dijawab dengan pemikiran bahwa ide dasar negara dimana diatasnya diletakan Indonesia Merdeka telah disambut antusias oleh peserta sidang dan frasa serta nilai Pancasila disampaikan oleh Soekarno telah disepakati oleh para peserta sidang, yang nantinya pada reses pertama dibentuk Panitia untuk membahas lebih lanjut ide dan gagasan mengenai dasar negara yang telah disampaikan oleh Soekarno.

Menurut sejarawan Peter Kasenda (2017:42), walaupun rumusan Pancasila Soekarno ketika menyampaikannya pada 1 Juni 1945 dihadapan Sidang BPUPKI berbeda dengan rumusan yang dan uraian yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, akan tetapi dasar ideologinya sama. 

Menurut Soekarno fundamen politik diletakkan terlebih dahulu, baru setelah itu moral agama menjadi penutup, sedangkan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 didahulukan fundamen moral agama daripada fundamen politik. Rumusan pada pembukaan UUD 1945 tersebut yang merupakan hasil kerja sama para pendiri bangsa yang menempatkan konsep metafisik sebagai dasar negara Indonesia Merdeka.

Apa yang dijelaskan oleh Peter Kasenda, seorang sejarawan dan dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, membuktikan bahwa, apa yang disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni merupakan nilai yang digali dari masyarakat Indonesia, yang oleh Soekarno dan disepakati bersama oleh founding father lainnya sebagai Pancasila. Sehingga tidak dapat dipisahkan antara 18 Agustus 1945 dengan 1 Juni 1945, atau dapat dikatakan bahwa Pancasila telah lahir pada 1 Juni 1945 dan menjadi dasar rumusan 18 Agustus 1945

Sejalan dengan Peter Kasenda, Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI (2009:30) menjelaskan bahwa Soekarno adalah tokoh pertama yang menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Memang terdapat tokoh lain yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila termasuk nama Pancasila.

Disini Bung Karno merupakan hanya sebatas sebagai penggali Pancasila bukan sebagai pencipta. Hal tersebut disampaikan dalam otobiografi berjudul "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat" yang ditulis oleh Cindy Adams, bahwa "Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah". (Cindy Adams, ,Syamsu Hadi 2011:240). 

Hal ini menjelaskan bahwa Pancasila dibentuk berdasarkan nilai dari masyarakat Indonesia itu sendiri, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dan Soekarno hanya sebagai 'penerjemah' nilai-nilai luhur tersebut kepada 5 sila pada Pancasila.

1 Juni 1945 tidak secara serta merta pasca kemerdekaan diperoleh Indonesia, dirayakan secara nasional sebagai hari lahir Pancasila. 1 Juni diperingati secara nasional sebagai hari lahir Pancasila menurut Hendri F. Isnaeni dalam tulisannya yang berjudul "Peringatan Hari Lahir Pancasila yang Pertama" sebagaimana diterbitkan pada media online Historia.id, yaitu sesaat setelah Aidit mempertanyakan Pancasila dalam pidatonya pada tahun 1964. 

Aidit menyatakan bahwa "Pancasila mungkin untuk sementara dapat mencapai tujuannya sebagai faktor penunjang dalam menempa kesatuan dan kekuatan Nasakom. Akan tetapi begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tak akan ada lagi."

Hendri F. Isnaeni mengutip pernyataan Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri pada era Soekarno, yang menyatakan bahwa mungkin karena terpengaruh oleh sikap Aidit yang menyelewengkan Pancasila, maka tiba-tiba presiden menuntut diadakannya acara peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1964.

Sejak saat itu, hari lahirnya Pancasila selalu dirayakan, yaitu pada 1 Juni. Namun pada 1 Juni 1970 (era-Soeharto), peringatan hari lahir Pancasila dinyatakan dilarang untuk diselenggarakan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau sering disebut Kopkamtib. 

Komando ini dibentuk pasca G30S, dengan Soeharto sebagai komandan Kopkamtib. Komando ini dipertahankan dalam pemerintahan era-Soeharto dan diubah pada 1988 dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional atau Bakorstanas.

De-Soekarnoisasi, Militer dan Penafsiran Sejarah

Terhitung pasca peristiwa G30S, usaha untuk meminorkan peran Soekarno dalam kemerdekaan Indonesia sekaligus menghilangkan pemikiran-pemikirannya dalam sejarah Indonesia telah dilakukan dengan peran utama yang dilakukan oleh kekuatan militer, setidaknya Kopkamtib dan Pusat Sejarah ABRI memiliki peran utama dalam usaha de-Soekarnoisasi di Indonesia.

Kopkamtib dibentuk pasca peristiwa G30S selang beberapa hari, yaitu 3 Oktober 1965 dengan dikomandani oleh Soeharto. Menurut Peter Kasenda (2017:220), landasan dari rezim orde baru menguasai Indonesai lebih dari 30 tahun adalah perintah Soekarno pada 3 Oktober 1965 tersebut. Soekarno memerintahkan kepada Soeharto untuk memulihkan  ketertiban akibat adanya keadaan darurat. 

Namun menurut Soeharto, keadaan dararut tersebut tidak pernah berakhir. Kopkamtib tetap dipertahankan pada era orde baru sampai akhir masa kekuasaannya, yang mana pada tahun 1988 Kopkamtib diubah menjadi Bakorstanas.

Tindakan dari Kopkamtib menjadi salahsatu dari serangkaian mengurangi kekuasaan Soekarno, sebagaimana disebut oleh Soebandrio sebagai Kudeta Merangkak yang dilakukan oleh Soeharto. Setelah G30S, kekuatan militer terutama TNI AD poros Soeharto mencoba untuk menguasai kondisi dengan melakukan monopoli informasi. 

Umar Wirahadikusumah mengumumkan pada 1 Oktober 1965 dimulainya jam malam dari pukul 18.00 hingga 06.00. Selain itu juga, menutup semua Koran kecuali Koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.

Pers Militer mendominasi informasi dan kebenaran dengan memanfaatkan waktu satu minggu untuk mengisi atau mengkampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S. Mulai saat itu, pidato-pidato dan pernyataan dari Bung Karno tidak pernah sampai ke publik, koran-koran sama sekali tidak menyiarkannya. 

Banyak pernyataan dari Bung Karno saat itu yang memberikan komentar terhadap informasi yang tersebar ke publik atas monopoli informasi dan kebenaran yang dilakukan oleh militer. Apabila Ben Anderson pada Jurnal yang di terbitkan Cornell mengungkapkan bahwa kemaluan jenderal tidak disilet dalam pembunuhan di Lubang Buaya 1 Oktober 1965, jauh sebelumnya Soekarno telah menyatakan bahwa, 100 silet yang dibagikan untuk menyilet kemaluan jenderal adalah tidak masuk akal (Asvi Warman Adam, 2009:36).  

Kopkamtib dibentuk dengan tugas untuk mengindentifikasi, menangkap dan mengusut semua yang bertanggung jawab serta terlibat dalam G30S. Wewenang Kopkamtib tidak terbatas selain untuk "memulihkan ketertiban dan keamanan", secara efektif tidak dibatasi oleh batasan yuridis apapun (Peter Kasenda 2017:210). 

Setelah adanya monopoli informasi dan menimbulkan adanya beberapa tindakan kekerasan bahkan pembunuhan dibeberapa daerah seperti Jawa Tengah,  pada rentang waktu Desember 1965 hingga Maret 1966, cara penanganan dengan aksi kekerasan yang dilakukan negara mulai bergeser, dari pembantaian yang didukung militer tingkat lokal ke arah penangkapan dan penahanan yang lebih tersentralisasi terhadap sisa-sisa Orde Lama yang dilakukan oleh Kopkamtib. 

Pada Maret 1966, Soekarno terpaksa menandatangani Supersemar, yang memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk "mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan keamanan dan ketertiban serta stabilitas jalannya revolusi.... demi kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia...."

Setelah dikeluarkannya Supersemar, 15 orang menteri dipecat dari Kabinet Soekarno atas perintah Soeharto. Dalam beberapa minggu selanjutnya, pembersihan dilanjutkan dengan lebih banyak menteri kabinet yang dicopot. Simpatisan PKI dan Soekarno dalam birokrasi kenegaraan dibersihkan. Lebih dari 300 Pejabat Angkatan Udara ditangkap. Pembersihan meluas dengan cepat ke aparat Angkatan Bersenjata lainnya dan kepolisian. 

Pada Juni 1966, komando militer yang baru membentuk MPRS yang anggotanya bersih dari PKI dan para pendukungnya. MPRS Orde Baru ini menegaskan legalitas Supersemar (Peter Kasenda, 2017:214-215). Dengan adanya aktivitas tersebut menyebabkan susunan keanggotaan DPR-GR menjadi berjumlah total 242 anggota. 

Dari jumlah tersebut 102 merupakan anggota partai politik, yaitu 44 anggota PNI dan 36 Partai NU, selebihnya anggota dari beberapa partai kecil. Sedangkan 140 anggota sisanya adalah dari Golongan Karya (termasuk ABRI) (Miriam Budiarjo, 2008:337).

Sebelum Kopkamtib melakukan pembersihan pada MPR dan setelah mendapatkan surat 11 Maret 1966, Soeharto sempat mengeluarkan Keputusan Presiden dengan mengatasnamakan Presiden, yaitu Keppres No. 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 tentang Pembubaran PKI. 

Walaupun mengatasnamakan Soekarno, Soeharto sama sekali tidak pernah mendapatkan restu untuk mengeluarkan Keppres tersebut dan Soekarno dengan gamblang menolak Keppres itu sebagaimana disampaikannya pada 12 Maret 1966 dengan memanggil Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amirmachmud ke Istana Bogor (Asvi Warman Adam, 2009:182-183). 

Keppres inilah dipertegas dengan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. 

TAP MPRS tersebut dikeluarkan setelah Kopkamttib melakukan 'pembersihan' di dalam tubuh MPR dan menjadi MPRS dengan menambahkan unsur-unsur diluar MPR sebelumnya. Sehingga konfigurasi politik pada tubuh MPRS adalah representasi dari kekuatan militer atau yang merupakan simpatisan militer (Orde Baru).

Dapat kita lihat bahwa Soeharto (militer) telah memegang kendali atau mengendalikan kondisi sejak pasca peristiwa G30S dengan memonopoli informasi dan "kebenaran", hingga tindakan-tindakan selanjutnya dengan menggunakan Kopkamtib serta memanfaatkan Surat 11 Maret 1966. 

Oleh karena itu, diawal tulisan ini, saya menyebutkan rezim militerisme 1965-1998, hal tersebut disebabkan secara de facto keputusan politik sudah berada di tangan Soeharto sejak 1965 (pasca G30S), walaupun secara hukum penyerahan kekuasaan baru terjadi pada 1967 dengan ditolaknya pidato pertanggujawaban Soekarno "Nawaksara" dihadapan MPRS dan dikeluarkannya TAP MPRS XXXIII/1967.

Menurut Peter Kasenda (2017:216), Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. 

Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Soeharto secara bertahap dapat disebut sebagai kudeta merangkak dengan dilakukan di bawah usaha terselubung untuk mencegah kudeta. 

Sedangkan menurut Soebandrio, mantan Kepala Badan Pusat Intelejen sebagaimana dikutip oleh Asvi Warman Adam (2009:153) membagi apa yang disebut kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto menjadi empat tahap:

1) menyingkirkan para jenderal saingannya melalui pembunuhan yang terjadi tanggal 1 Oktober 1965 dini hari; 2) membubarkan PKI, partai dengan jumlah anggota beberapa juta orang, yang merupakan salah satu partai pendukung Soekarno; 3) menangkap 15 orang menteri yang loyal kepada Soekarno; 4) Merenggut kekuasaan dari Soekarno.

Setelah secara yuridis Soeharto memegang kekuasaan sebagai presiden dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. XXXIII/1967, Kopkamtib yang semula diperuntukan untuk menghadapi kondisi darurat pasca G30S, oleh Soeharto tetap dipertahankan kedudukannya, walaupun Soeharto telah ditetapkan sebagai Presiden oleh MPRS, dan nantinya tetap dipertahankan hingga 1998 (1988 diubah menjadi Bakorstanas).      

Kopkamtib ini yang nantinya pada 1 Juni 1970 menyatakan bahwa peringatan hari lahir Pancasila dilarang untuk diselenggarakan.

Pasca penetapan pelarangan penyelenggaraan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, Nugroho Notosusanto yang merupakan dosen sejarah UI dan sempat menjadi Rektor UI pada 1982, menulis buku dengan judul "Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik" yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI pada tahun 1971. 

Buku ini menjelaskan bahwa Pancasila yang autentik adalah rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah berlandasakan pada Proklamasi.

Selain itu, dijelaskan pula bahwa lahirnya suatu gagasan tidak perlu dikaitkan secara mutlak pada salah satu tokoh (Asvi Warman Adam, 2009:28).

Jelas bahwa buku yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI pada 1971 itu menjadi satu rangkai dari sikap Kopkamtib pada 1 Juni 1970.

Tak heran tentu saja apabila apa yang telah ditulis oleh Nugroho dan diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI disambut oleh pemerintah dan menjadikannya bagian dari paket indoktrinasi dalam pendidikan aparatus birokrasi Orde Baru dan ABRI.

Selain itu, karya Nugroho tersebut pun menjadi bacaan wajib bagi para guru yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan para pandu BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). (J.J Rizal, Tirto.id)

Tulisan Nugroho dan sikap Pemerintah menuai polemik di tengah masyarakat. Pasalnya peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila pada tahun 1970 tiba-tiba saja dilarang untuk diperingati, sekaligus diikuti oleh adanya buku yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI 1971 yang menjelaskan bahwa Pancasila yang sah adalah lahir 18 Agustus 1945. Hal ini menyebabkan adanya polemik mengenai siapa penggali Pancasila. 

Menurut Asvi (2009:41-42) pemerintah merespon dengan membentuk Panitia Lima pada tahun 1974. Panitia ini diketuai oleh Bung Hatta dengan anggota Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo. 

Panitia Lima ini menghasilkan buku "Uraian Pancasila oleh Panitia Lima" dan oleh Panitia Lima diakui bahwa Soekarno adalah tokoh pertama yang berpidato dan mengungkapkan nama Pancasila sebagai dasar negara. Namun keputusan dari Panitia Lima tidak digubris oleh pemerintah Orde Baru, dan tetap mempertahankan tafsiran sejarah dari Pusat Sejarah ABRI. (Asvi Warman Adam, Lipi.go.id)

Selain itu, muncul juga respon atas pelarangan peringatan 1 Juni dan de-Soekarnoisasi, yaitu dengan diselenggarakannya Deklarasi Pancasila pada 17 Agustus 1981 di Monumen Soekarno-Hatta, Jalan Proklamasi. 

Deklarasi tersebut ditandatangani oleh 17 orang, anatar lain Manai Sophian, Usep Ranawidjaja, Jusuf Hasyim, H.M Sanusi, Slamet Branata, Hugeng dan HR Dharsono. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya Pancasila dan Soekarno adalah satu-satunya yang mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara (Peter Kasenda, www.peterkasenda.wordpress.com)

Hatta, seorang yang juga mengikuti Sidang BPUPKI hingga sidang PPKI, pasca ketidakpedulian Orde Baru atas keputusan dari Panitia Lima, tetap memegang teguh sikapnya bahwa Soekarno adalah penggali Pancasila, dan 1 Juni 1945 merupakan hari lahirnya Pancasila.

J.J. Rizal, sejarawan, dalam artikelnya yang dimuat tirto.id menyatakan bahwa Hatta sebagaimana dalam "Surat Wasiat" yang ditulisnya dan ditujukan kepada Guntur Soekarnoputra pada 1980 menjelaskan bahwa pidato Soekarno, 1 Juni 1945, diterima secara antusias oleh semua peserta rapat BPUPKI. 

Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Panitia Kecil yang beranggotakan Sembilan orang, termasuk Hatta, Soekarno dan Yamin, yang hanya membuat perubahan-perubahan kecil. Jadi, dasar utama Pancasila sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 bersumber dari pidato Soekarno 1 Juni 1945.

Orde Baru membentuk legitimasi dari penafsiran sejarah dan militer. Dapat dilihat bagaimana pasca G30S, militer langsung mengambil kendali situasi dan berlangsung hingga menyingkirkan semua loyalis Soekarno dalam pemerintahan hingga akar rumput. 

Tak cukup sampai disitu, karena peran Soekarno pun diminorkan dalam sejarah dan Revolusi Indonesia dengan penafsiran sejarah dan sekali lagi militer memegang peran penting dengan Pusat Sejarah ABRI. Maka menjadi tidak berlebihan bahwa Orde Baru membangun legitimasi kekuasaannya dengan militer, de-Soekarnoisasi dan penafsiran sejarah.

Sebuah Artikel dengan judul "De-Soekarnoisasi dalam Wacana Resmi Orde Baru: Kilas-Balik Praktek-Praktek Rekayasa Kebenaran dan Wacana Sejarah Oleh Rejim Orde Baru" dipublikasi oleh Jurnal Fisipol UGM, JSP Vol.2 No.1, Juli 1998 yang ditulis Agus Sudibyo, menjelaskan bahwa sejak awal kekuasaan orde baru, Soeharto telah menempatkan pengaruh dan simbol-simbol Bung Karno yang masih kuat menancap dalam realitas psiko-historis bangsa sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan Orde Baru. 

Oleh karena itu, Orde Baru melakukan berbagai upaya untuk mengeliminir pengaruh dan ajaran-ajaran Bung Karno dan mengaburkan peranan serta kontribusi Bung Karno dalam sejarah.

1 Juni 1945 Bukanlah Pengkultusan Individu

Saya pribadi tidak sepakat mengenai kultus individu. Hal tersebut adalah sesuatu yang buruk dalam iklim demokrasi. Namun menurut hemat saya kultus pribadi tidak dapat dikaitkan dengan suatu peran sejarah seorang tokoh bangsa. Yang menjadi salah adalah mengeliminir peran atau kontribusi seorang tokoh dalam sejarah bangsa. 

Apabila usaha untuk membuka tabir guna menemukan kebenaran sejarah dianggap merupakan suatu kesalahan, maka kita menjadi bangsa yang tidak mengerti syukur dan ditakutkan akan menjadi bangsa yang gamang serta kehilangan arah kedepan.

Karena sejarah tidak sekedar soal masa lalu, tetapi memberikan pelajaran untuk menjadi pijakan melangkah ke masa depan.

1 Juni 1945 merupakan fakta sejarah yang harus diungkapkan. Karena penafsiran sejarah orde baru guna melegitimasi kekuasaan dapat menyebabkan pada tercabutnya makna Pancasila itu sendiri. 

Sebagaimana dijelaskan oleh J.J. Rizal yang berangkat dari keterangan tertulis Bung Hatta yang ditujukan kepada Guntur Soekarnoputra pada 1980, bahwa dasar utama Pancasila sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 bersumber dari pidato Soekarno 1 Juni 1945.

Sehingga apabila membaca secara tekstual saja pada Pembukaan UUD 1945 tanpa menyelami Pidato 1 Juni 1945, maka akan mereduksi Pancasila itu sendiri.

Orde Baru lahir dan bertahan dengan dasar de-Soekarnoisasi yang dilakukannya. Usaha-usaha yang dilakukan tidak hanya menafsirkan sejarah, melarang peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni, tetapi juga mereduksi ajaran-ajaran Soekarno. 

Lahirnya TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno telah berhasil mereduksi ajaran-ajaran Bung Karno.

Tersistematisnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Orde Baru menyebabkan, walaupun rezim militerisme ini sudah tumbang, ajaran-ajaran Bung Karno pun telah sulit untuk ditemukan akarnya, yang tersisa hanya slogan-slogan. Hal ini mengakibatkan adanya "kematian" pemikiran-pemikiran Bung Karno di era saat ini. 

Oleh karena itu, dalam ranah politik Indonesia yang tersisa adalah kultus Individu terhadap Bung Karno dan ini merusak sendi demokrasi Indonesia. Menemukan kembali atau membuka tabir guna menemukan kebenaran sejarah dapat menjadi usaha menghilangkan kultus Individu terhadap Bung Karno, karena berarti menjadi usaha menemukan kembali ajaran-ajaran dan gagasan dari Bung Karno.

Cendikiawan seharusnya dapat melihat sebuah narasi dari berbagai sisi untuk akhirnya mengambil sebuah kesimpulan. Tanpa adanya kehati-hatian dan ketelitian dalam proses menemukan kesimpulan, maka dapat mengakibatkan adanya kesesatan di tingkat publik.

Apabila hal tersebut terjadi, tugas cendikiawan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat telah gagal atau memang sejak awal pengabdiannya bisa jadi bukan kepada kebenaran dan pencerahan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun