Mohon tunggu...
Sakti Lazuardi
Sakti Lazuardi Mohon Tunggu... -

Sakti Lazuardi, S.H sekarang aktif menjadi Tenaga Ahli KP3EI Kementrian Koordinator Perekonomian dan Anggota Tim Mandiri UPRBN Kementrian PAN RB. Selain itu juga aktif dalam Grup Diskusi Makara Progresif dan Community Development Terminal Hujan Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Peran Segitiga Hitam Kekuasaan dalam Membentuk (NKRI) Negara Koruptif Republik Indonesia

29 Maret 2012   11:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:18 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sejak lama Indonesia terkenal sebagai Negara kaya, kaya akan harta alam yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia sejak lama. Sejak zaman penjajahan dulu sampai dengan era globalisasi sekarang ini, Indonesia dianggap sebagai Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam. Kita sejak kecil pun selalu dibuai dalam mimpi-mimpi penuh cerita tentang Indonesia sebagai Negara yang kaya. Mimpi yang koruptif dan asing, karena kita hanya dibuai namun tidak diajarkan untuk bekerja mempertahankan atau mengolahnya. Habibie Presiden ketiga RI Pernah menyebutkan bahwa Indonesia harus mulai berpikir untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia dengan basis teknologi yang kuat, modalnya darimana? Modalnya menggunakan uang hasil penjualan Sumber Daya Alam terutama bahan bakar fossil sehingga berkurangnya SDA Indonesia tidak berkorelasi positif dengan rusaknya SDM Indonesia, tetapi sebaliknya sehingga ada manfaat yang dapat diperoleh.
Cerita tidak berhenti disini, pada faktanya setelah kurang lebih 67 tahun bangsa ini merdeka kita masih belum bisa menyelesaikan permasalahan mengenai ini, kualitas SDM yang minim ditambah dengan sistem pendidikan yang berubah-ubah membuat kualitas pendidikan yang dihasilkan pun juga ikut-ikutan rusak. Sebagai contoh, masih banyak kita temukan anak-anak lulusa Sekolah Dasar yang belum bisa membaca, padahal kemampuan membaca adalah kemampuan dasar yang seharusnya dikuasai sejak bangku Sekolah Dasar. Atau dalam dimensi lain, juga yang akan coba penulis bahas dalam tulisan ini adalah mengenai dimensi moral yang tidak tercermin dalam pola pendidikan kita, dampaknya apa? Hamper setiap hari kita melihat pejabat baru yang tertangkap korupsi, kasus pemerkosaan, pencurian, tawuran pelajar dan masih banyak lainnya. Sedikitnya hal itu semua dipengaruhi oleh ketidakmampuan bangsa ini untuk menciptakan kualitas SDM yang baik, SDA terus habis namun kualitas SDM tidak membaik secara signifikan.
Kembali ke cerita, faktanya korupsi telah menjadi momok yang menakutkan bagi hampir sebagian besar bangsa Indonesia. Korupsi tidak hanya mencekik para pejabat dan birokrat dengan segala macam aturan-aturan ketatnya, tetapi korupsi juga menjadi hantu yang menghantui hampir setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia. Hampir bisa dipastikan dimana ada kekuasaan dan uang maka disitu ada korupsi. Seolah korupsi tidak bisa lepas, dan melekat erat dengan keseharian bangsa Indonesia. Filosofis dan mitos! Tetapi itulah faktanya dan kita meyakini hal tersebut.
Tempo hari, bangsa ini dihebohkan dengan proses pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kalangan yang sangsi akan proses yang coba dibangun terutama setelah bergulir ke DPR karena di DPR kental akan proses politik yang oleh banyak orang dipandang tidak akan bisa menghasilkan pimpinan KPK yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Ini tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar. Mau tidak mau, kewenangan DPR untuk memilih pimpinan KPK dari sejumlah calon yang diajukan oleh Panitia Seleksi KPK merupakan kewenangan yang berasal dari UU. Dan jika kita mau menarik ini semua ke hal yang lebih mendasar lagi, DPR memang dianggap berwenang untuk melakukannya. Namun diluar hal-hal yang berbau filosofis tersebut sadar atau tidak bahwasanya sarang terbesar dari korupsi yang harusnya segera dituntaskan ada di segitiga kekuasaanyaitu Eksekutif-Leglisatif-Yudikatif.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut yang masing-masing di jalankan perannya oleh Pemerintah/Presiden untuk Eksekutif, DPR,DPRD,dan DPD untuk Leglisatif dan MA serta MK untuk yudikatif jelas merupakan akar yang seharusnya diselesaikan terebih dahulu. Mengapa demikian? Saya bisa mengatakan bahwasanya ketiga cabang kekuasaan tersebut adalah asal muasal Negara ini, bukan untuk mencoba untuk meruntuhkan teori yang sudah lama berdiri, tetapi saya hanya mencoba mengajak kita untuk berpikir rasional. Ketiga cabang kekuasaan tersebut merupakan dasar dalam berdiri dan berjalannya sebuah Negara, jika saja untuk fondasi yang dasar tersebut sudah tidak benar atau tidak beres maka bisa dipastikan keberlangsungan sebuah Negara juga akan rusak atau berhenti di tengah jalan. Mesinnya akan mati atau rusak.
Jika kita coba berpikir di luar konteks hukum positif yang berlaku, bisa jadi ketidakmampuan sebuah lembaga penegak hukum seperti KPK untuk dapat memberantas korupsi di ketiga cabang kekuasaan adalah akibat praktek oligopoly yang dipraktekkan oleh ketiga cabang kekuasaan. Tidak saja koruptif tapi sudah menggurita. Memang kita sudah sering mendengar KPK menangkap para aparat penegak hukum seperti Jaksa atau anggota dewan untuk kemudian dijebloksan ke dalam penjara akibat tindakan korupsi yang dilakukannya, tetapi hal ini bisa jadi merupakan upaya untuk menciptakan “rasa percaya” dan “rasa aman” di masyarakat. Padahal penjahat-penjahat kelas kakap yang menjadi pusat dari semua kejahatan ini tidak pernah tertangkap.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut secara tidak langsung terlindungi oleh sistem yang memang sudah berjalan. Akibat dari ini, KPK yang seharusnya di plot menjadi lembaga super jadi terhambat dan dikebiri menjadi lembaga penegak hukum biasa. Dalam kondisi yang tidak normal ini, wajar jika kemudian harus ada keberanian untuk mengambil langkah lebih jauh guna menyelesaikan masalah korupsi yang sudah akut ini. Karena hidup matinya bangsa ini tergantung dari berhasil atau tidaknya masalah korupsi ini bisa diselesaikan.
Selama ini mengapa beberapa kalangan menyebut Negara kita sebagai Negara autopilot bukan karena Negara kita tidak punya sosok pemimpin yang real ada dan terpilih. Tetapi karena hilangnya kharisma kepemimpinan dalam sosok pemimpin tersebut. Sang pemimpin tidak bisa menyerahkan menyerahkan masalah pemberantasan korupsi ini pada sistem, dia harus memimpin harus menjadi bemper agar semua ini bisa selesai. Masalah pemberantasan korupsi ini juga tidak bisa diserahkan kepada pasar, dimana siapa-siapa yang harus ditangkap merupakan hasil pesanan atau titipan para birokrat atau politikus busuk.
Tentunya penulis mengatakan sekali lagi kalau, kepemimpinan mutlak ini terjadi jika keadaan tidak normal. Dimana kita tidak bisa lagi percaya dengan tiga cabang kekuasaan, maka dalam kondisi seperti ini seorang pemimpin seperti Presiden harus berani mengambil peran lebih. Bukan malah membentuk komisi atau sejenisnya. Tidak takut mengambil sikap tegas dan posisi tidak populee. Hongkong membuktikan bahwa mereka bisa menyelesaikan kasus korupsi yang ada di negaranya selain karena ada lembaga penegak hukum semacam KPK di sana juga mereka mempunyai tipikal pemimpin yang tahu kapan harus otoriter dan tahu kapan harus demokratis. Tidak seperti Presiden kita, dimana ia selalu menjadikan demokrasi dan peraturan perundang-undangan sebagai tameng guna mengelak dari tanggung jawab atau menjadi dasar pembenaran atas hasil yang tidak maksimal.
Oleh karenanya penulis akan menutup tulisan ini, dengan sebuah pemikiran bahwasanya. Kita sebagai bangsa telah lupa bagaimana harusnya bersikap layaknya bangsa yang luar biasa, kita telah lupa bagaimana seharusnya kita bernegara. Yang kita ingat hanya sisa-sisa romantisme masa lalu yang tidak hanya membuai tetapi juga sangat berbahaya jika terus berlarut-larut. Segitiga Hitam Kekuasaan sebagai dasar dari berjalannya sebuah Negara harus dijadikan acuan dalam pemberantasan korupsi. Bersihkan dulu sapunya baru kemudian membersihkan rumahnya,untuk itu perlu ada keberanian lebih. Bukan hanya keberanian untuk membuat sebuah kebijakan tetapi juga keberanian untuk melaksanakannya dan mempertahankannya sampai ke titik darah penghabisan. Inilah yang kita namakan melanjutkan perjuangan para pahlawan. Salam!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun