Mohon tunggu...
Saifule Anware
Saifule Anware Mohon Tunggu... -

Warga Gubug, Grobogan, Jateng. Rakyat biasa yang gundah gulana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sederek Sikep

17 Desember 2013   00:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:51 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini, ketika aku selesai makan, Mbah berbisik. “Sekar, Mbah sudah sepuh, Nduk.. kamu jadi anak yang pinter ya..” Aku mengangguk-angguk. Jarang sekali Mbah berbicara dengan cara seperti itu. Aku tidak tahu apa maksudnya karena Mbah memang sudah sepuh. Apalagi rambutnya lebih banyak yang beruban.

Pagi ini, seperti biasa, aku berangkat ke sekolah. Ketika melewati pendopo, sudah ramai orang-orang menyiapkan wayangan nanti malam. Ya, nanti malam akan ada wayangan setelah sedekah adam, dalam rangka Suronan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya setiap malam Selasa Kliwon bulan Suro, sederek sikep akan mengadakan sedekah adam dan dilanjutkan dengan nonton wayang sampai pagi. Yang istimewa tahun ini adalah Pak Gubernur Jateng yang baru juga turut diundang.

Di pendopo akan berkumpul sederek sikep untuk memanjatkan do’a-do’a dan menyantap hidangan yang sudah diramu beberapa hari dan nasi kuning yang dibentuk semacam tumpeng. Sederek sikep menyebutnya sedekah adam. Menu di sedekah adam tersebut tak boleh disebutkan, aku hanya boleh mengatakan kalau semua hidangan harus ditutup dengan kain mori. Kain mori yang sama sekali baru. Oh iya, wadah dari semua hidangan itu juga harus baru. Intinya semuanya harus baru, karena merayakan bulan baru.

Setelah pembacaan do’a oleh sesepuh sedulur sikep, hidangan akan dibagikan secara merata. Satu kepala akan mendapatkan sekepal nasi kuning dan lauknya. Boleh dimakan di pendopo, boleh dibawa pulang. Tapi, kebanyakan sedulur sikep akan membawanya pulang. Untuk dibagikan barokahnya dengan keluarga, katanya.

Aku sudah sampai di sekolah. Aku, sebagai satu-satunya cucu Mbah, Mbah Lasio, sesepuh sedulur sikep bersyukur bisa hidup di kalangan mereka. Mereka adalah kumpulan orang-orang ramah dan tulus yang hidup di satu desa. Setiap hari bersahabat dengan alam. Menyatu dengan alam. Mereka menggembala kambing, sapi, dan kerbau. Menggarap sawah dan menggarap kebun.

Pada jam istirahat, aku bermain-main di taman. Aku bertemu dengan Wangi. Dia adalah anak ketua RT sedulur sikep. Setelah mengobrol sekadarnya, tiba-tiba dia serius. Dia menengok sekeliling. Seperti akan mengungkapkan rahasia yang sangat rahasia. Lalu, perlahan mulutnya berbisik.

“Pernahkah kau dengar bahwa keturunan Samin, bila perempuan maka wahyu akan berhenti?” Aku justru menatap matanya. Tapi matanya memang serius. Aku masih tak mengerti apa maksudnya.

“Dan kau tahu? Syarat agar wahyu kembali turun adalah dengan membunuh keturunan perempuan itu di malam Suronan.” Dia pergi begitu saja. Aku menatap kepergiannya. Tiba-tiba tanganku dingin. Mbah memang pernah bercerita tentang wahyu yang hanya bisa diturunkan pada keturunannya yang laki-laki, tapi aku sama sekali tak berpikir kalau keturunannya perempuan, maka akan dibunuh.

Mungkin saja dia memfitnah. Tapi bagaimana mungkin? Sedulur sikep adalah kumpulan orang-orang yang tulus, orang-orang yang pemurah dengan siapa saja. Karena konsep mereka memang jelas: segala yang di atas bumi dan di bawah langit adalah saudara, atau sederek. Maka, mereka menganggap semua orang adalah saudaranya. Mereka tak pernah bergaul atau serawungan dengan desa-desa tetangga, karena mereka merasa cukup dengan apa yang mereka punya. Mereka punya alam, dan alam adalah segalanya.

Mungkinkah konsep yang mulia itu ternodai dengan sistem kasepuhan? Aku masih bingung. Tapi mungkin saja. Konon di sistem kerajaan, di konsep untuk demi keberlangsungan masyarakat itu sendiri, perempuan boleh dikorbankan. Sekar tidak bisa konsentrasi belajar. Pandangannya kosong. Ia memutuskan untuk bertemu dengan Wangi.

Pada istirahat kedua, Sekar mencari Wangi kemana-mana. Ia menemukannya di kantin. Ia mencecar Wangi begitu saja.

“Apa maksud yang kau katakana tadi? Aku akan dibunuh?” Tapi justru Wangi menarik tanganku dan aku dibawanya ke bawah pohon cemara.

“Ssssstt.. kamu jangan bicara keras-keras..” Sekali lagi, Wangi memandang sekeliling.

“Aku mendengar pembicaraan bapak tadi malam. Sederek sikep sudah sepakat akan mengorbankan kamu, Sekar, demi berlangsungnya sederek sikep itu sendiri. Kalau kamu tidak dibunuh, maka wahyu itu akan berhenti. Kamu tahu sendiri, kan? Mereka hanya boleh memiliki satu anak. Lebih dari itu, haram hukumnya bagi sesepuh sederek.”

Sekar merinding. Ia terdiam. Memandang jauh. Jauh sekali.

“Satu-satunya cara untuk menghentikan pembunuhan itu adalah menghentikan acara  jangan sampai acara itu paripurna.”

“Maksudmu, aku harus menghentikan acara itu?”

“Ya, tepat sekali, acara wayangan itu tidak boleh selesai sampai pagi. Acara sedekah adam adalah pembuka. Puncaknya adalah pertapaan oleh sesepuh Samin dan orang-orang yang ditunjuknya di gubuk tengah hutan sana.”

“Jadi?”

“Aku dengar, acara akan selesai jam 3 pagi. Sebelum jam 3 pagi, kamu harus menghentikan wayang itu, atau kamu akan jadi tumbal mereka.” Sekar bergidik.

Ia masih belum bisa menikmati sejuknya udara yang dihembuskan cemara itu. Nafasnya sesak tak karuan. Ia terjatuh. Ingin menangis. Menarik nafas panjang, dan akhirnya menangis. Tapi air mata Sekar memang tak banyak. Ia menangis sekenanya, karena memang tak terbisa menangis.

Pada pelajaran penutup, pikiran Sekar sama sekali tak ada di tempatnya. Ia menerawang jauh ke surga. Ia bayangkan, seandainya ia akan benar-benar dibunuh, ia akan berada di tempat yang (kata orang-orang) memahagiakan itu, di alam surga, alam keabadian dengan gemerlap keindahan. Ia akan bertemu orang-orang tercintanya. Ia, tentu saja akan bertemu dengan bapak, ibu, serta adik-adiknya. Betapa membahagiakannya berada di surga. Tapi pikiran lain tentu mengusiknya. Atau jangan-jangan ia akan di neraka. Berkumpul dengan orang-orang yang ingkar kepada agamanya sendiri. Mereka yang menyimpang dari ajaran-ajaran? Ia justru tidak berani membayangkan yang ini.

Sekar pulang. Sampai di rumah, pendopo sudah sangat bising. Sekar bersikap seperti biasa. Ia bersalaman dengan Mbah kakung dan Mbah putri. Mencium tangan keduanya, lantas ke kamar untuk mengganti seragam abu-abunya.

Sekar menatap cermin dalam-dalam. Ya, itu adalah wajahnya. Wajah yang putih, bersih, dan tentu saja cantik. Rambutnya semampai. Sekar ingin sekali tersenyum. Tapi entah mengapa kali ini terasa begitu sulit.

“Sekar.. Sekar..” Suara dari luar kamar memanggilnya. Tentu saja ia sudah tahu apa maksudnya. Ia disuruh membantu menyiapkan pesta kematiannya sendiri. Menyiapkan menu suronan. Menu yang serba baru. Menu makanan yang kealam-alaman. Sama sekali tidak ada yang tidak dibuat dari alam.

Entah mengapa Sekar menjadi tidak takut menghadapi kematian. Ia seperti telah menerima wangsit bahwa ia diharuskan tenang untuk itu. Ia membantu semua persiapan Suronan dan Wayangan. Membantu mempersiapkan kematiannya sendiri.

Tepat ba’da Isya’ upacara Suronan selesai, dan siap dilanjutkan dengan Wayangan. Wayangan akan dibuka dengan sambutan-sambutan. Sambutan mulai dari ketua panitia, lalu lurah, camat, bupati, dan yang terakhir adalah ketua DPRD karena gubernur tidak jadi datang.

Sekar, meskipun tenang, tapi hatinya tak bisa dibohonginya. Sebenarnya pun ia masih tidak percaya bahwa ia akan dibunuh, maka ia tenang. Tapi alasan Wangi masuk akal juga. Ia ingat pesan Mbah pagi tadi bahwa Mbah sudah tua, sudah sepuh, dan ia diminta menjadi anak yang pintar. Apakah itu hanya akal-akalan Mbah saja, agar ia tidak curiga, ataukah itu memang tulus sebagaimana sifat sederek sikep pada aslinya? Bukankah sederek sikep selalu tulus, dan tak pernah mengada-ada dalam perasaan?

Tapi, bagaimanapun juga, sederek sikep adalah sekelompok manusia yang mengagung-agungkan, menyepuhkan seorang untuk dikukuhkan sebagai pemimpin, jadi, mungkin saja Wangi benar. Bukankah Wangi mendengar percakapan bapaknya? Seorang yang selalu ditunjuk Mbah untuk menemani di gubuk untuk bersemedi setiap malam Selasa Kliwon. Sekar masih pusing memikirkannya.

Sembari memikirkan antara mungkin dan tidak mungkin, Sekar sebenarnya sama sekali tidak melihat bahwa akan ada upacara penumbalan semacam itu, karena itu memang sangat melanggar panca sederek sikep.

Tepat pukul 2.30 tiba-tiba Mbah Jum, salah seorang kepercayaan Mbah, mengajakku ke belakang. Tiba-tiba jantungku berdenyut kencang. Aku lemas. Tak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Aku hanya disuruhnya diam. Gelap. Di tempat yang sama sekali gelap.

Aku membuka telepon genggam. Pukul 02.48 tiba-tiba suara dalang hilang. Lampu padam. Musik pengiring, saron dan sebagainya hanya terdengar lirih. Listrik padam sepenuhnya entah apa penyebabnya. Wayangan tidak dilanjutkan. Sekar mengelus dada. Seperti lega.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun