TAK ADA SAKU, TAS PUN JADI
Penulis: Sam Saiful Amri
“Huuu …, huuu …, huuu ….” Wandi menangis meraung-raung.
“Aku nggak mau baju ini!” sangkal Wandi.
Wandi terus saja menangis sejak beberapa saat setelah membuka bungkusan berisi baju baru dari ayahnya. Dia menolak baju baru tersebut tanpa memberitahu alasannya. Hal ini membuat kedua orang tuanya bingung.
Beberapa saat sebelum menerima bungkusan berisi baju baru dari ayahnya, Wandi terlihat ceria. Saat itu ia sedang menantikan ayahnya pulang kerja dan akan membawa baju baru yang telah dijanjikannya. Sambil menunggu ayahnya, ia asyik membaca buku cerita anak bersama ibunya. Wandi hobi membaca terutama buku cerita anak. Ia tidak suka bermain gawai karena akan membuatnya kecanduan.
“Ibu, benarkah ayah mau membawakan baju baru?” tanya Wandi.
“Iya benar, Nak,” jawab ibunya.
“Mengapa sih nggak bareng Wandi aja belinya?” tanya Wandi.
“Kan ayahmu sekalian pulang kerja lewat toko baju yang berada di samping bank BRI,” jawab ibu lagi.
“Ibu, ayo dong telepon ayah. Video call bagaimana corak bajunya,” pinta Wandi tak sabar ingin melihat baju barunya.
“Ibu juga sudah merencanakan hal tersebut tapi tadi ayah memberitahukan bahwa baterai HP-nya lowbatt sehingga ibu tidak bisa menelpon ayahmu lagi,” jawab ibu.
Wandi menerima penjelasan ibunya. Ia melanjutkan membaca buku cerita anak. Membaca buku cerita membuatnya terhibur.
Tak lama kemudian terdengar salam, “Assalamualaikum.”
Suara tak asing itu membuat Wandi kegirangan menghampiri pintu depan. Ibunya mengikuti Wandi.
“Waalaikumsalam,” Wandi dan ibunya menjawab salam serentak sambil membuka pintu. Senyum sumringah terlihat dari wajah Wandi. Kedua orang tuanya terlihat tersenyum melihat tingkah Wandi.
“Ayah, itu bungkusan baju untukku, ya?” tanya Wandi tidak sabar.
“Benar sekali, Nak. Ini spesial untuk kamu,” jawab ayahnya sambil memberikan bungkusan tersebut.
“Terima kasih, Ayah.” Wandi mencium tangan ayahnya kemudian secepat kilat ia membawa bungkusan tersebut dan membukanya di lantai.
Beberapa saat setelah Wandi membuka bungkusan tersebut, wajahnya berubah tegang. Ia seperti tak percaya dengan apa yang dipegangnya. Satu stel baju dan celana panjang tidak sesuai dengan harapannya. Tangis pun pecah.
Kedua orang tuanya masih tak percaya apa yang terjadi terhadap anak semata wayangnya itu. Mereka mengira Wandi akan senang gembira menerima baju baru tersebut. Mereka berusaha memahami kekecewaan yang dialami oleh anaknya itu.
Setelah tangisnya agak reda, ibu menghampiri Wandi. Ia memeluk Wandi dengan penuh kasih sayang. Ayahnya pun mendekatinya.
“Coba ceritakan kepada ibu apa yang membuatmu menangis,” pinta ibu dengan lemah lembut.
“Aku ingin baju dan celana baru yang banyak sakunya. Huuu …, huuu …,” jawab Wandi sambil masih sesenggukan dari tangisnya.
Ayah dan ibunya saling bertatap dan mengernyitkan dahi. Mereka mencari jawaban mengapa Wandi ingin baju dan celana baru yang banyak sakunya.
“Kamu mau kan menjelaskan mengapa ingin baju dan celana baru yang banyak sakunya,” pinta ibu lagi.
“Nanti kalau lebaran kan aku akan dapat angpau. Aku akan dapat banyak uang dari kakek, nenek, om, tante, dan yang lainnya. Kalau sakunya sedikit, nanti nggak muat. Aku juga ingin memasukkan banyak permen ke dalam sakuku. Huuu …, huuu ….” Wandi menjelaskan sambil melanjutkan tangisnya yang sulit ia setop.
Seketika ayah dan ibunya tersenyum. Mereka mulai memahami alasannya. Mereka mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Apakah mereka harus membeli satu stel lagi baju dan celana yang banyak sakunya.
Tiba-tiba, ayah memberi kode kepada sambil memegang tas kecil yang ada di tubuhnya.
“Coba lihat ayahmu. Dia terlihat gagah dengan tasnya itu. Dan tas itu memuat banyak uang. Bagaimana, jika ibu membelikan tas seperti tas ayahmu?” bujuk ibu.
“Aku boleh memiliki tas seperti tas ayah?” Wandi balik bertanya sambil mempertegas apa yang ditawarkan ibunya.
“Tentu boleh, Nak,” jawab ibu, “Nanti kamu akan terlihat gagah seperti ayahmu,” lanjut ibu.
Ayahnya selalu mengenakan tas kecil yang diselempangkan di tubuhnya. Ia terlihat gagah dengan tasnya itu. Ternyata diam-diam Wandi menyukai tas seperti itu. Hal itu terlihat dari apa yang disampaikan Wandi.
“Nah, sekarang lap air matamu. Kemudian berwudu. Sebentar lagi azan Asar. Ayo kita ke masjid. Setelah itu kita membeli tas bersama ibu,” ajak ayahnya.
“Oh iya kita sambil ngabuburit, ya,” timpal ibu.
“Baik, Ayah.” Wandi tersenyum gembira. Ia bergegas ke tempat wudu kemudian menyiapkan diri untuk salat Asar ke masjid bersama ayahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI