TAK ada larut di malam Singapura. Langit malam malu pada gemerlap lampu yang memendar dari apartemen-apartemen dan hotel-hotel beradu tinggi menggapai awan. Seperti malam-malam lalu, setiap larut merayap di lain tempat, ia menghitung lembaran-lembaran uang kertas. Ada yang sepuluh dolar, tapi selalunya uang kertas dua dolaran yang ia bawa pulang ke apartemen di pinggiran Singapura.
Cik Minah hidup dari lentik jemarinya. Baginya, sepuluh jemarinya adalah anugrah Tuhan yang tak pernah alpa disyukurinya. Setiap pagi buta ia mengangkat kedua tangannya, berterimakasih kepada Tuhan. “Terimakasih wahai sang penyayang, sepuluh jari ini menyambung hidupku hari ini…,” begitu Cik Minah setiap memulai hari selalu bermanja dengan Kesasihnya.
Sudah sejak muda ia menggantungkan hidup dari jemarinya itu. Sebagai seorang pemijat yang memiliki pelanggan bejibun, perempuan paruh baya itu kini semakin menyayangi jemarinya. “Entah bagaimana hidupku kalau jari-jari ini sudah tidak lincah lagi menari diatas tubuh pelangganku.” Kerap kekhawatiran seperti itu menyergapnya kala sepi menderanya.
Janda tak beranak itu selalu merenung begitu, manakala menunggu tamu. Ia bekerja di sebuah rumah pijat tradisional yang sudah dikenal orang di Singapura. Sebagai budak Melayu, ia harus menerima nasib sebagai warga kelas tiga di negeri kapitalis itu.
Ia tak berani memprotes Tuhan karena diciptakan sebagai budak Melayu, bukan sebagai orang Cina atau India keling. Baginya, cukuplah ia bisa bebas menghirup udara Singapura tanpa harus membayar kepada pemerintah. Sebab, hanya udara itu saja yang digratiskan oleh pemerintahnya. Yang lain, ia harus merogoh koceknya hingga menembus angin.
“Ya nak macam mana lagi bang, memang beginilah nasib kami orang Melayu di sini,” katanya sembari melemaskan otot-otot kakiku yang kaku.
Ia kemudian melanjutkan kisah perjalanan hidupnya. Seperti menikmati sebuah sinetron yang penuh dengan tikungan dan jurang tajam. Meski selalu saja ia selamat dan terselamatkan. Seperti ada yang selalu mengikuti langkah Cik Minah, sehingga setiap kali celaka mengintainya, ada saja yang menyelamatkan.
Seperti ketika ia baru menginjak usia ABG dulu. Seperti halnya para ABG Singapura yang getol main di mal, Cik Minah pun selalu membunuh waktunya dengan menabur jejak kakinya di hampir semua mal di Singapura. Bagi Cik Minah muda, itulah pilihan paling menarik menghibur diri hidup di Singapura. Selebihnya, membosankan. Selain bosan dengan banyaknya aturan, mulai dari aturan naik MRT sampai dengan aturan membuang sampah dan merokok di tempat umum.
Kebahagiaan Cik Minah semasa ABG ternyata tidak berlangsung lama. Itu bermula ketika Wak Ayoub, ayahnya terlilit hutang kepada touke Aseng. Maklum, sejak ibunya meninggal, Wak Ayoub seolah seperti nahkoda mabuk laut. Ia tak mampu menghadirkan teladan hidup sebagai kompas. Hari-hari keluarga Wak Ayoub berdua dengan Cik Minah berarti boring dan sepi. Sampai akhirnya dua orang lelaki muda mendatangi apartemen dua kamar Cik Minah di ujung Singapura, Bedok. Mereka mencari Wak Ayoub menagih hutang dan menawarkan solusi. “Awak nak bayar sekarang atau bayar dengan anak perawan kau ini.”
Minah terperanjat. Ia sama sekali tak menyangka dirinya adalah sebuah solusi bagi beban orang satu-satunya yang paling disayanginya. Sejak ibunya meninggal karena kanker payudara, Cik Minah hanya mencurahkan kasih sayangnya pada Wak Ayoub, ayahnya. Pernah, beberapa kali ia mencurahkan perhatiannya pada seorang pemuda Melayu, teman sekolahnya. Tapi tak ada yang bertahan lama, semuanya kandas di tengah jalan. Entah apa sebabnya.
“Macam mana Minah?” Suara Wak Ayoub memecahkan kebekuan di ruang tamu.