Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jeritan di Malam Pertama

13 Maret 2023   07:08 Diperbarui: 13 Maret 2023   07:13 4025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://m.pulsk.com/638459/2

Jana hanya bisa terpuruk di sudut tembok. Tiada henti air mata mengalir, pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan, ia hanya bisa meratap tak kunjung usai air mata mengalir. Matanya membengkak, Jana tidak mau keluar kamar. Sudah dua hari ia tidak nafsu makan, sayup-sayup suara isap tangis terdengar. Bahkan orang tuanya tak berdaya hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Selepas malam pertama itu. Kini Randi tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi, meski hanya sekedar lewat apalagi mau menanyakan kabar tentang istrinya yang baru tiga hari mereka melakukan ijab kabul. Tiga hari yang lalu semua mata tertuju dan terpesona akan megahnya pesta pernikahan Jana dan Randi. Bukan hanya megahnya pesta, terasa pernikahan dua sejoli yang sama-sama memiliki paras indah dipersatukan. Bagaimana tidak Jana adalah kembang desa, setiap mata yang melihat parasnya akan terbawa sihir kecantikannya. Tidak kalah juga Randi, si lelaki yang seringkali disebut-sebut oleh para gadis didesanya. Memiliki paras seperti bintang flim drama korea.
Kini orang-orang ramai bertanya-tanya. Ada apa, kenapa dan apa yang terjadi. Jeritan malam itu telah menggemparkan sekampung. Mereka terheran-heran sampai-sampai meraka menerka-nerka dan menarik suatu kesimpulan sendiri. Lain halnya dengan para pemuda, pemikirannya sedikit nakal, lalu menarik khayalan tentang eloknya tubuh Jana. Para sesepuh kampung sesekali datang kerumah bapak Majid, orang tua Jana. Selain ikut andil bicara tentang persoalan yang kini menimpa anaknya dan juga turut andil memberikan pesan moral. Pak Kamang, sesepuh sekaligus tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati dikampung itu, sebut saja kampung itu kampung duren desa nangka. Pak Kamang baru saja datang ingin berkunjung kerumah bapak Majid.
"yang sabar Jid," ujar bapak Kamang, menenangkan.
"saya tidak mengerti, bagaimana anak saya. Sudah dua hari ia tidak keluar kamar. Sementara itu, suaminya. Selepas malam itu, ia keluar dengar raut muka yang memerah."
"mungkin ini ada kesalah pahaman, tapi saya tidak berani menduga apa yang telah terjadi. Sampean sebagai orang tualah yang berhak bertanya langsung. Apakah besanan sampean belum datang menemui anda?" ujar Bapak Kamang
"sampai hari ini belum ada," jawab pak Majid, "tapi saya dengar-dengar dari para tetangga dan  kabar burung para orang-orang dikampung kita, Randi pun juga tidak mau keluar rumah. Yang pastinya kami sudah terlanjur kecewa dan malu. Sampai hari ini bahakan istri saya tidak mau menampakkan wajahnya di depan umum. Sunarti anak bungsu kami yang terus belanja jika ada kebutuhan."
"yang sabar saja, semoga ini ada hikmahnya." Ujar pak Kamang, "lagipula setiap kejadian pasti ada unsur hikmah dan pembelajaran mengikutinya. Kita sebagai manusia tentu selalu berharap yang terbaik dan jalan kita mulus tanpa ada masalah, tapi kehendak Tuhan lah yang berkata. Sementara kamu sudah berusaha menjadi orang tua yang baik."
"saran saya," sambung pak Kamang, "sampean kebesannya, perbaiki dan meminta maaf atas apa yang telah terjadi."
"saya terlanjur malu dan kecewa, menantu saya tengah malam langsung beranjak dari kamar pengantin begitu saja, tanpa sepatah-kata pun ia berlalu begitu saja." Ujar pak Majid, meluapkan isi hatinya sembari membuka cerita, kejadian malam itu.
"entah apa yang terjadi, malam itu?, mungkin itu kelalaian kami sebagai orang tua," sambungya, tampak ia ingin bercerita tapi masih ragu-ragu.
Pak Kamang tidak mau menanggapi, apalagi ia menyangkut persoalan mendalam dan soal pribadi. Ia lalu beranjak berpamitan. "kalau begitu saya pamit duluan. Jika suatu saat membutuhkan saya, jangan segan-segan dan merasa terlalu merepotkan," sambungnya. Ia pun beranjak pergi meninggalkan rumah pak Mujid.
***
"sebenarnya apa yang terjadi?" ujar pak Kamang kepada Randi. Nampaknya selepas kepulangannya dari rumah bapak Majid, pak Kamang menuju rumah Randi. Dua kemungkinan yang terjadi kenapa bapak Kamang tidak beranjak istirahat ia tetap melanjutkan penelusurannya tentang jeritan di malam pengantin. Antara jiwa kemanusiaannya sebagai tokoh masyarakat atau hasrat penasarannya membuat tanda tanya dalam benaknya meronta-ronta. Yang pastinya ia tidak sama dengan para pemuda duduk sambil menunggu cerita ini selesai karena hasrat malam pertama atau khayalnya pada jeritan malam pertama meronta-ronta rasa penasarannya. Para pemuda dikampung itu, tidak pernah tuntas bicara soal Jana dan Randi, hingga pokok persoalannya mereka abaikan.
"saya telah menerima saran dari sampean, itu disanggupi oleh dua keluarga yang punya hajat. Tapi saya tidak mengerti ujung-ujungnya seperti ini. " ujar Randi, sambil menyeruput kopinya. Ia sedari tadi memegang sebatang rokok, tapi tidak jadi dibakarnya. "saya tidak mengerti, ini suatu hal yang baik untuk kita pertahankan atau ini sesuatu yang kurang baik sehingga aib keluarga tersiar kemana-mana."
"nak," balas pak Kamang, melihat raut muka Randi yang penuh tanya. "kadang, apakah kau tidak kecewa jika harum yang kau idamkan ternyata melululantahkan sendi-sendi pengharapanmu. Apa yang kau idam-idamkan ternyata hanyalah palsu belaka."
"saya tidak pernah keberatan dengan tradisi dan budaya kita. Meski pun efeknya terjadi kepada saya. Bagaimana dulu?"
"sangat jarang nak, untuk menemukan kasus yang seperti kamu alami saat ini." Ujarnya bapak Kamang penuh kepercayaan. "setiap malam pertama, para pasangan keesokan harinya wajah mereka berseri, rasanya dunia menjadi milik mereka berdua. Keindahan pesona alam tidak akan mampu mengherdik suasana dan keindahan yang terpancarkan dari  kemesraan para pengantin baru."
"bukankah dulu lebih banyak yang tidak membangun pernikahan mereka atas dasar suka-sama-suka, tapatnya pada zaman dulu lebih banyak yang dijodohkan."
"ya, memang demikian nak. Bayangkan bagaimana canggungnya mereka dimalam pertama." Ujar bapak Kamang.
Sementara itu, Randi sejenak mampu terhipnotis dengan apa yang akan di sampaikan bapak kamang tentang malam pertama. Masalah sendiri ia lupakan sejenak, seakan persoalan cerita malam pertama lebih penting dari apapun. Entah yang menarik malam pertamanya atau kejadian yang terjadi dimalam pertama.
"bayangkan nak!, bagaimana kita duduk di dalam kamar berdua dengan wanita yang selama ini jarang atau bahkan belum pernah kita duduk bersama dengan dia. Rias wajahnya yang dipoles sedemikian indah, rasa dalam dada menggebu-gebu. Tangan ini berjalan seperti kepiting tapi masih malu-malu bagai cumi-cumi. Padahal ia adalah istri sah. Ladang yang harus digarap."sejenak membenarkan duduknya, "perasaan yang kita alami nak, kita seakan kaku ingin memulai dari mana. Mau angkat bicara darimana apalagi mau angkat paha." Sambungnya sambil tertawa.
Randi pu ikut tertawa, semua hampir telena hingga lupa pada persoalan apa yang telah dialami Randi pada malam pertama.
"itu dulu nak, tapi sekarang mungkin sudah berbeda, karena sudah menganggap modern. Zaman telah melampaui masa hingga pergaulan melampaui batas. Adat, budaya dan tradisi seakan terlalu kuno untuk tetap dipertahankan. Mungkin karena kita menelan mentah-mentah apa yang dilakukan oleh bangsa yang dianggap maju dan modern. Hingga kebebasan dan kebablasan susah untuk dibedakan."
"itulah mengapa saya menerima saran sampean. Saya mengambil tradisi itu sebagai sebuah alat kontrol dimasyarakat agar kebebasan tidak menjadi kebablasan dan akan ada hukum moral dan adat yang menjadi alat untuk mengawasi diri sendiri." Ujarnya Randi membenarkan perkataan bapak Kamang, "meski pun saya menjadi korban di malam pertama." Sambungnya
"jadi pada saat kejadian malam pertama itu, kita sudah sepakat mengikuti adat dan tradisi yang turun-temurun.  Di samping saya sudah ada parang dan sabut kelapa." Kata Randi bercerita
"kamar pengantin kami dirias sedemikian rupa begitu megah. Diatas kasur sudah disediakan kain bersih bewarna putih. Naas, pada saat kami ingin memulai saya sempat berdebat dengan istri saya. Ia beranggapan, mengapa tradisi demikian masih harus dipakai, bukankah itu sama saja membeberkan meskipun hanya kepada famili bahwa kita telah melakukan persetubuhan. Bukankah itu sesuatu yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Baginya itu hanya untuk kami saja berdua yang tahu. Meski pun kadang-kadang saya berfikir entah pikiran saya yang salah atau tidak, dengan melaksanakan pernikahan selain ibadah orang sudah akan beranggapan tentang peraduan dua insan manusia yang berlainan jenis kelamin. Pada intinya orang akan lebih banyak bicara tentang bagaimana malam pertama para pengantin daripada berapa pengeluaran, maharnya dan lain sebagainya. Itu yang terjadi pada kalangan pemuda," cerita Randi, "Istri saya hanya terdiam. Tapi saya tidak tahu pasti bagaimana raut mukanya karena pada saat itu suasana lampu dikamar dipadamkan. Ketika sudah memulai, ada yang aneh rasanya. Tapi saya tidak usah bicarakan keanehannya karena itu aib. Yang pasti pak ketika lampu saya hidupkan, sesuai tradisi saya lihat kain putih masih tetap suci, kemudian saya beranjak keluar dan istri saya hanya bisa menangis," sambungnya.
"demikianlah, nak. Kadang kita melihat orang yang kita cintai sangat tertutup dan baik. Tapi kita tidak tahu bagaiman ia diluar dan sebelum kita kenal dengan mereka. Setidaknya mereka mencoba amanah dalam menjaga kehormatannya untuk menjaga kehormatan keluarganya." Nasehat pak Kamang, "lalu bagaimana dengan cerita jeritan itu," sambungnya.
"soal jeritan itu, banyak yang sudah pandai akting sama dengan flim biru di negeri sakura banyak penipuan seakan nyata dengan jeritannya, padahal apa yang terjadi dibalik layar tidak semerta merta semua demikian ada tangan profesional yang bermain seakan itu nyata. Jadi jeritan yang paling heboh itu, jeritan mertua saya yang menyadari ketika saya menghidupkan lampu dan melemparkan parang dan sabut kelapa sebagai isyarat yang saya tiduri bukan orang (tidak perawan). Lalu ia menjerit sekencang-kencangnya dan menagis sekeras-kerasnya.
"lalu bagaimana cerita kedepannya, hubungan kamu dan istrimu." Kata pak Kamang penuh tanya.
"entahlah, cerita ini akan aku apakan, disambung atau cukup sampai disini."
***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun