Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

100 Tahun Masa Depan Pulau Pagerungan Besar (100 Tahun Kedepan Pulau-Pulau Akan Tenggelam)

30 Agustus 2015   03:17 Diperbarui: 30 Agustus 2015   08:05 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pageungan Besar Island"][/caption]Karya: Sahril Bin Abdul Basit

Dibawah terik matahari yang begitu panas, ditambah polusi asap pabrik yang melanglang buana di udara. Ditelevisi tersiar berita-berita tentang bencana alam seperti kebakaran hutan, musim kemarau bertambah waktu lebih lama dan tak menentu. Sementara konflik pemerintah, perusahaan, dan masnyarakat menjadi persoalan terkait sengketa tanah. Sedangkan para pekerja bayaran membakar lahan masyarakat lokal supaya lahannya di ambil alih oleh perusahaan. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi, dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli.

Sudah lama terjadi revolusi industri, ratusan tahun kini berlalu dengan harapan bisa berenang dilautan harta yang beku. Sementara panas matahari menyengat, lapisan ozon berlubang perlahan semakin membesar, atmosfir telah lemah tak mampu lagi menyerap radiasi sinar matahari laluh jatuh menyentuh kulit bumi. Begitulah kehidupan yang membuat ketakutan Zainal anak kecil yang baru berusia 7 tahun terhadap dampak ulah manusia.
Zainal yang mulai resah akan perubahan iklim yang tak kunjung-kunjung hujan datang membasahi bumi. Sementara permukaan laut menaik, Gas minyak bumi masih dikeruh tiada henti-hentinya. Hingga tak ada sisa fosil dimasa lampau yang terpendam sebagai emas hitam dipulau pagerungan besar. Kapal-kapal berlayar jauh menyebrangi ombak karena alam bawah laut yang ditumbuhi terumbu karang telah rusak oleh kebijakan politik yang mementingkan perut. Agama sebagai ritualisasi menyembah ambisi mereka semata, namun mengaku menyembah Tuhan. Tuhan akan terasa ada ketika merasa frustasi karena tidak mampu memenuhi keinginan mereka. Di masjid, orang-orang sholat hanya setengah hati saja, sementara dikuil ritual pemujaan hanya sekedar lahiriah saja.

“Mak Mengapa air laut sudah naik kepermukaan?” tanya Zainal yang mulai didatangi rasa ketakutan akan masa depan.
“begitulah alam Nak!” jawab Emak Murni
“apakah memang karena alam Mak?” tanya Zainal kembali yang tak puas dengan jawaban Emaknya.
“ya begitulah kata para pihak industri yang ada dipulau kita ini.”
“tak adakah yang lain Mak? Yang menyebabkan itu semua”
“katanya sih gejala alam, karena musim kemarau panjang yang menyelimuti seluruh permukaan bumi. Jadi es dikutub meleleh sehingga air laut naik kepermukaan.”
“jadi begitu Mak. pristiwa ini tidak apa-apa Mak?”
“tidak apa-apa Nak. Karena kita tidak dapat menghentikan kekuatan alam seperti alam menenggelamkan pradaban kuno.”
“apakah yang Emak maksud Atlantik yang sering Emak ceritakan kepadaku? Apakah juga Bapak berlayar jauh berhari-hari mencari ikan karena alam juga Mak?”
“ya bisa jadi demikian Nak! Seperti pada periode Paleolithikum, dimana terjadi perubahan dramatik pada iklim di bumi ini. Pada 120.000 atau mungkin 20.000 tahun yang lampau level air laut menyurut. Surutan terakhir terbesar mencapai perkiraan 120 meter, kemudian pada tahun yang diperkirakan 10.000 tahun lalu dengan naiknya permukaan air laut secara kontiyu hingga level yang saat ini.”
“bukankah Mak?” tanya Zainal penasaran “bukankah Emak pernah bercerita padaku bahwa permukaan laut sudah stabil dengan ukuran tertentu supaya tidak meneggelamkan pulau kita ini, kestabilannya terjadi pada tahun 5000-6000 tahun lampau?”
Mendengar keraguan Zainal, Emak Murni hanya terdiam tak menanggapi pertanyaan anaknya yang mulai banyak tanya walau masih sangat muda untuk memikirkan hal-hal demikian. Karena tak merasa dihiraukan Zainal beranjak berdiri dari pangkuan Emaknya, lalu berlari menuju kamar kakaknya.
“kak, apakah pulau kita akan tenggelam?”
“mungkin iya” jawab Amiril kakak Zainal yang lagi asyik menonton flim.
“mengapa Kak?”
“itu karena pengaruh pemanasan global yang menyebabkan bumi bertambah panas. Bahkan juga terumbu karang sudah rusak akibat polusi air dan penangkapan ikan dengan cara merusak kehidupan laut. apalagi ditambah kenaikan keasaman air akibat tingginya kadar karbon dioksida.”
“apakah ada pengaruhnya dengan aktivitas manusia itu sendiri Kak?”
“kerusakan lingkungan, terutama akibat penambangan pasir laut dan abrasi. Mungkin 100 tahun lagi pulau kita akan tenggelam karena perubahan iklim. Dek pemanasan global telah mengakibatkan kenaikan air laut.”
“mengapa demikian Kak?”
“ilmuan-ilmuan memprediksi bahwa mencairnya lapisan es dan memanasnya air laut bisa menaikkan ketinggian air laut sebesar 1,5 meter namun ada ramalan juga bahkan bisa naik tiga kalilipat Dek. “
“terus apa hubungannya dengan pemanasan global? Berarti pulau kita akan tenggelam kak? Bukankah pulau kita berada 1 meter diatas permukaan laut pada masa bapak kita dulu? entah sekarang sudah berapa meter.”
“salah satu dampak dari pemanasan global adalah peningkatan level air laut”
“jadi demikian kak.? Lantas kita harus pindah berarti kak?” tanya Zinal yang mulai ketakutan.
“berdo’a saja semoga pulau kita tak tenggelam.”

Ketakutan membuat Zainal terhenti bertanya lalu lari keluar dari kamar kakaknya. Ia berlari menuju pantai lalu memandang hari yang akan berganti dengan malam. Sementara ombak semakin mengikis pantai. Karang-karang berhamburan terbawa ombak berserakan dipantai.
Zainal memandang garis pantai yang mulai terkikis, dengan khayalan, mengingat pada suatu malam Kakaknya pernah bercerita tentang kehidupan 50 tahun silam, saat air laut surut anak-anak kecil bermain sepak bola dipantai, buat rumah-rumah dari pasir, dan menangkap ikan kecil. Orang-orang juga biasa menikmati pemandangan disore hari duduk dibawah pohon ketapang yang sebelahnya terdapat pohon waru yang lebat dan pohon cemara. Namun kini tak ada lagi Zainal hanya berdiri diatas di depan rumah yang hampir terkena air laut.

Kini pohon-pohon itu tumbang dan hanya tersisa khayalan saja, pohon-pohon yang dulunya bisa dijadikan tempat berteduh kini punah menjadi khayalan semata. Pohon cemara yang tumbang akibat naiknya permukaan air laut sampai rumah yang berada ditepi terkena ombak yang menepi. Pemandangan sampan-sampan yang berkeliaran diatas permukaan laut mengiringi matahari yang terbenam kini telah tenggelam dalam pandangan. Karena ikan telah jauh meranjak meninggalkan pradaban manusia dipulau pagerungan besar.

Ikan-ikan yang dulunya bisa mereka dapat dengan harga murah kini menjadi sangat mahal dan tak segar lagi sebagaimana waktu 50 tahun silam. Zainal termenum lalu datang Jumrah mendekatinya anak perempuan yang lebih tua daripada Zainal, umurnya sudah belasan tahun.
“mengapa kau melamun saja Nal” tanya Jumrah
“tak apa kak?”
“aku ingin bermain dipantai dengan leluasa bukan leluasa dengan bermain khayalan saja Kak”
“beginilah nasib kita, menjadi korban atas ulah nenek buyut kita yang menikmati kekayaan alam kita tanpa mempedulikan nasib kita. Seakan kita yang berkorban kepada mereka. Zaman apakah yang mereka titipkan kekita? mereka tak pernah peduli karena mata dibutakan nafsu serakah yang membabi buta, merusak alam demi keuntungan masa mereka tanpa peduli masa kita. Ini revolusi industri katanya namun asap menyelimuti bumi kita, ini kebahagiaan katanya, namun panas dan bencana menyerang kita. Ini surga katanya dengan membuka keuntungan dari alam tapi neraka yang membuat rusak pemandangan indah.”
Zainal hanya terdiam mendengar ucapan Jumrah tak mampu berkata karena dunia tak akan mendengarnya, amarah alam tak mampu dikendalikan. Tangan-tanganlah pada masa keemasan telah lupa bahwa emas akan meleleh oleh panas dan membanjiri tanah hingga hilang dan tenggelam.
*****
“bapak aku takut menyambut dunia, aku takut melihat kearah depan” dengan tangisan Zainal berujar dipangkuan Bapaknya.
“apa yang kau takutkan nak?” tanya Bapak Subaer
“aku melihat masa depan dengan berkeca kebelakang, bagaiman kedepanya sementar aku hitung dalam 100 tahun permukaan air laut naik hingga 10-25 cm, yang kutakutkan dari 100 tahun 2012 dimasa Bapak hingga dimasaku tahun tahun 2052 ini dan masa dimana anakku pada ditahun 2100an permukaan laut akan naik hingga 95 cm. Berarti tinggal puluhan tahun lagi. Bukankah Pak? Katanya pada masa Kakek dulu pulau kita berada diatas 1 meter dari permukaan laut, dan sekarang sudah 0,5 meter Pak!”
“sudahlah nak! Kau tak perlu menyalahkan siapapun karena inilah dunia dimana rusaknya alam karena ulah manusia itu sendiri.”
“lantas bagaimana mencegahnya Pak.? Supaya aku tidak takut untuk menyambut hari esok”
“mungki tidak ada yang bisa kita lakukan, karena kita hanya sebagian kecil saja dari lakon yang berdiri diatas pentas dunia ini. Kita sadar sebagai orang yang berdiri diatas pulau yang luasnya 3,5 km, namun aktivitas didaratan apakah bisa kita rubah sedangkan dunia takkan mendengarkan kita.”
“menurut Bapak apa yang bisa dilakuka oleh manusia meski itu hanya sebuah harapan? setidaknya izinkan anakmu ini punya harapan Pak.”
“aku hanya berharap saja Nak, ada yang peduli akan emisi gas yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas industri, untuk bersama-sama sadar supaya selalu mengoreksi tingkat emisi gas, dan bersama-sama sepakat untuk menurungkan tingkat emisi gas.”
“lantas apakah kita sudah telat pak?”
“aku tidak tahu pasti, karena Bapakmu ini hanyalah seorang nelayan yang terancam juga. Namun harapan Bapak kepada orang yang didaratan sebagai orang yang punya kekuasaan untuk didengar suaranya. Semoga tak ada lagi yang merusak dan menebang pohon secara liar Nak. Semoga ada yang melakukan gerakan penanaman pohon kembali, dan kemudian melakukan pelestarian hutan.”
Mendengar ucapan Bapaknya, Zainal lalu berlari menuju belakang rumah dan mengambil cangkul, ia menanam pohon yang didapatinya tumbuh liar, kemudian menanamnya didekat rumah, supaya ia bisa melindungi dan merawatnya. Melihat tingkah Zainal Bapak Subaer dan kakaknya Amiril hanya tersenyum lalu ikut membantu menyirami pohon-pohon yang ditanami.

Waktu sekian lama berlalu Bapak Subaer sadar berharap saja tidak mungkin dapat merubah segala sesuatu, lantas ia kemudian melakukan pembudidayaan Terumbu Karang. Ia tak ingin psikologi anaknya terganggu akan menyambut masa depan sedemikian takutnya. Sedangkan Amirin turut ikut serta terus menerus menyirami tanaman pohon yang tumbuh dihalaman rumahnya dengan harapan semoga Zainal anak kecil yang sadar akan lingkungan menjadi contoh kecil bagi masyarakatnya untuk melakukan hal kecil sebagaimana anak kecil yang sadar melakukan hal-hal kecil, apalagi orang dewasa apakah tidak mau sadar. Masyarakat kecil yang tak punya kekuatan secara politik ingin bertindak melindungi bumi mengapa orang besar dalam jabatan tak mau berbicara pada dunia untuk sepakat saling merawat dan melindungi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun