Mohon tunggu...
Sahal Mahfudh
Sahal Mahfudh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lunturnya Budaya Takzim terhadap Guru di Sekolah

20 Maret 2019   16:40 Diperbarui: 20 Maret 2019   16:46 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir-akhir ini, marak sekali terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh seorang murid terhadap gurunya sendiri. Sebuah fenomena yang sangat mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Guru yang seharusnya dihormati, ditaati, dan ditakdzimi, tak jarang mendapatkan perlakuan yang kurang sopan dari muridnya sendiri. Budaya takdzim guru yang diajarkan oleh para leluhur bangsa Indonesia di sekolah kini sudah mulai luntur.

Ada kasus Pak Budi, seorang guru honorer mata pelajaran Seni Rupa di Torjun Sampang Madura, yang meninggal dunia karena ditempeleng kepalanya oleh muridnya sendiri, karena mengingatkan sang murid supaya mau mengerjakan tugas. Ada kasus Pak Joko Susilo, seorang guru Gambar Teknik Otomotif di Kaliwungu Kendal yang dikeroyok dan dijadikan bahan tertawaan oleh murid-muridnya sendiri. 

Ada kasus Pak Nur Khalim, guru honorer matapelajaran IPS di Wringinanom Gresik yang ditoyor kepalanya, diancam, ditarik kerah bajunya, dan dipegangi lehernya oleh muridnya sendiri, lantaran menegur sang murid yang merokok di dalam kelas. Dan yang baru-baru ini terjadi, kasus Pak Sujianto guru Teknik Otomotif di Yogyakarta yang ditantang dan didorong-dorong tubuhnya oleh muridnya sendiri, hanya karena menyita handphone sang murid karena akan ada ujian di dalam kelas.

Tragedi murid menganiaya guru yang saya tulis di atas adalah kejadian-kejadian yang sudah viral di berbagai media, baik sosial maupun cetak. Kasus-kasus lain yang tidak viral tentu sangatlah banyak, hanya saja tidak nampak, laksana bagian tubuh gunung es yang jarang terlihat oleh khalayak. 

Akan tetapi, walaupun kasus-kasus tersebut sudah sering terdengar, jangan kemudian menjadikannya sebagai hal yang wajar. Sebab, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan murid untuk tidak hormat dan takdzim kepada guru. Apalagi, seorang murid, menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, adalah hamba sahaya bagi guru, walaupun yang diajarkan hanya satu huruf saja.

Murid sudah tidak lagi hormat terhadap guru merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan adanya kemerosotan moral anak bangsa yang cukup mengkhawatirkan. Murid sudah tidak hormat terhadap guru adalah sebuah kedurhakaan dalam ranah tholabul ilmi. Lantas, bagaimana mungkin hal ini bisa acap kali terjadi, sementara masyarakat Indonesia sangat terkenal dengan budaya sopan santun dan tatakramanya?

Menurut saya, ada beberapa persoalan yang menyebabkan budaya takdzim seorang murid terhadap guru mulai luntur di sekolah.

Pertama, hilangnya kesadaran moral (moral feeling) murid untuk bersikap takdzim terhadap guru. Kasus-kasus aniaya ataupun bullying yang dilakukan murid terhadap guru di atas, menunjukkan indikasi kuat atas hilangnya kesadaran moral anak bangsa. Kesadaran moral (moral feeling), berbeda dengan pengetahuan tentang moral (moral knowing). 

Jika sekedar pengetahuan, maka semua murid pasti tahu, bahwa hormat terhadap guru merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi soal kesadaran? Tidak semua memiliki dan mau mengaplikasikan. Kesadaran moral bahwa unggah-ungguh, sopan-santun dan andap-asor terhadap guru akan melahirkan keberkahan ilmu bagi sang murid, sudah jarang-jarang ditemukan dalam diri seorang murid di zaman sekarang. Sehingga hal ini bisa melahirkan perilaku kurang santun seorang murid terhadap guru.

Untuk mengatasi problem lemahnya kesadaran moral dalam diri murid, ada beberapa tawaran solusi yang bisa dilakukan. Pertama, lakukan pendampingan khusus terhadap murid-murid yang bermasalah dari sisi moral. Pendampingan ini bisa dilakukan pihak sekolah, oleh guru bimbingan dan konseling atau wali kelas. Pendampingan ini perlu dilakukan, supaya dapat diketahui faktor-faktor penyebab terjadinya problem moral yang sedang mendera murid. 

Selain itu, dengan adanya pendampingan secara khusus, murid yang sedang bermasalah dalam hal moral akan merasa diperhatikan dan bisa diajak bicara dari hati ke hati. Pada saat murid merasa mendapatkan perhatian khusus dari guru inilah waktu yang tepat untuk memberikan pemahaman moral, sehingga ia memiliki kesadaran moral yang tinggi (high moral feeling). Kedua, guru dan orang tua harus menjalin kerjasama untuk memberikan contoh yang baik. Sebab, bagaimana pun, guru dan orang tua merupakan uswah atau panutan, yang sedikit banyak akan ditiru perilakunya oleh seorang murid.    

Kedua, belum terbentuknya budaya moral positif di sekolah. Kasus Pak Joko Susilo di Kaliwungu Kendal, yang dikeroyok dan ditertawakan oleh murid-muridnya sendiri adalah salah satu contoh belum terbentuknya budaya moral positif di sekolah. Meskipun kejadian tersebut, menurut pengakuan para murid dan Pak Joko sendiri, motifnya hanya bercanda, namun menunjukkan adanya tindakan yang sangat tidak sopan terhadap guru, yang mencerminkan bahwa sekolah belum mampu membentuk budaya moral yang baik di sekolah, dalam hal ini adalah budaya takdzim terhadap guru.

Untuk mengatasi persoalan tidak terbentuknya budaya positif di sekolah, sekolah perlu menegakkan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan di sekolah, utamanya tata tertib yang berkaitan dengan pembentukan karakter siswa. Selain itu, sekolah perlu memberikan reward terhadap para guru dan murid yang mampu menjadi teladan bagi terbentuknya budaya yang baik di sekolah, sekaligus juga memberikan punishment terhadap para guru maupun murid yang justru menciptakan budaya yang kurang baik di sekolah. 

Jika perlu, sekolah membuat pakta integritas yang ditandatangani oleh seluruh masyarakat sekolah, yang memuat aturan tentang tata nilai yang telah disepakati, supaya pelaksanaan pembentukan budaya yang baik di sekolah dapat berjalan secara maksimal, karena telah didukung seluruh entitas sekolah.

Ketiga, minimnya kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan moral. Sekolah, orang tua dan masyarakat, sering kali menjadi komponen yang berdiri sendiri-sendiri, bukan menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan dalam pembentukan moral anak-anak. Terkadang, kasus yang terjadi, sekolah sudah berusaha sekuat tenaga mendidik anak supaya memiliki moral yang baik. 

Namun, pendidikan moral di sekolah seketika luntur ketika sang murid bergaul dengan teman-teman bermainnya di kampung. Terkadang, kasus yang terjadi sebaliknya. Orang tua sudah berusaha mendidik moral anak sekuat tenaga, tetapi sang anak justru berubah menjadi pribadi yang kurang baik karena terkena dampak teman-temannya di sekolah.

Untuk mengatasi problem ini, yang bisa menjadi penjembatan antara sekolah, orang tua dan masyarakat adalah pihak sekolah. Sekolah sebagai kawah candradimuka pembentukan karakter anak bangsa, memiliki kewajiban untuk menjalin kerjasama yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat.

Kerjasama yang bisa diterapkan oleh pihak sekolah untuk menjalin sinergitas dengan orang tua, antara lain dengan: Pertama, menjalin komunikasi yang baik dengan cara membentuk komunitas moral yang anggotanya berisi wali kelas, guru bimbingan dan konseling, dan wali murid. Komunitas ini dapat berbasis kelas dan juga bisa dibuatkan grup Whatsapp supaya komunikasi bisa intens, sehingga setiap persoalan moral dapat segera terselesaikan dengan baik. 

Kedua, pihak sekolah membuat kartu kendali moral murid, yang mana kartu ini selalu dibawa oleh orang tua, dengan tujuan untuk mengamati dan mengawasi perilaku murid. Contoh, apabila sekolah ingin menerapkan bahwa murid harus selalu shalat berjamaah ketika di rumah, maka di dalam kartu kendali tersebut, terdapat poin shalat berjamaah yang bisa dicheklist hanya oleh orang tua manakala anak melakukannya di rumah. 

Ketiga, untuk membangun sinergitas yang produktif dan menyatukan visi-misi-tujuan, pihak sekolah perlu memberikan edukasi kepada wali murid tentang bagaimana cara mengasuh, mendidik dan membimbing anak supaya memiliki perilaku dan moral yang baik, dengan mendatangkan tokoh-tokoh pendidikan yang sudah berpengalaman. Diharapkan, dengan adanya bimbingan dan edukasi ini, wali murid menjadi lebih pro aktif dalam mendukung program-program pembentukan karakter di sekolah.

Keempat, penguatan pendidikan karakter di sekolah masih sebatas teori. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sering menyerukan kegiatan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) di sekolah. Akan tetapi, pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pada kenyataannya, penerapan program penguatan pendidikan karakter di sekolah, kebanyakan masih sebatas teori, atau masih berada pada ranah moral knowing. Belum sampai pada ranah kesadaran bersama untuk menjalankan nilai-nilai moral yang baik (moral feeling), apalagi ranah aplikasi tindakan moral secara berjamaah (moral behavior).

Untuk membentuk kesadaran moral (moral feeling) dan aplikasi nilai moral (moral behavior) secara bersama-sama, dapat dilakukan beberapa langkah berikut. 

Pertama, semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan membuat kesepakatan untuk menerapkan tata nilai moral yang sudah disepakati di sekolah. Apabila melanggar, maka akan mendapatkan punishment. Apabila mampu menjadi yang terbaik, maka akan diberikan reward. Guru-guru inilah yang akan menjadi good model bagi para murid. Ketika para guru sudah menjalankan nilai moral yang diterapkan di sekolah, maka untuk mengajak para murid supaya mau melakukan tentu akan lebih mudah. 

Kedua, semua guru ketika mengajar di dalam kelas, sebelum masuk ke dalam kegiatan inti, selalu mengingatkan para murid akan pentingnya nilai moral yang diterapkan di sekolah, sebagai upaya untuk membentuk kesadaran moral dari para murid. 

Ketiga, semua wali kelas mengajak anggota kelas masing-masing untuk membuat kesepakatan dalam menjalankan nilai moral yang telah ditetapkan di sekolah. Setelah disepakati, maka setiap wali kelas harus memantau perkembangan moral para setiap murid, bisa menggunakan buku kendali moral, dengan dibantu guru BK dan kesiswaan. 

Keempat, luangkan waktu 10-15 menit untuk melestarikan program pembentukan moral yang digalakkan di jam sekolah. Sebagai contoh, bila sekolah ingin membentuk karakter peserta didiknya menjadi pribadi yang peduli terhadap lingkungan, maka sebelum masuk kelas bisa diadakan kerja bakti lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat sekolah. Contoh lain, jika sekolah ingin membentuk peserta didiknya menjadi pribadi yang takdzim dengan guru, maka luangkan waktu sejenak sebelum masuk kelas untuk menerapkan program Sungkem Masal dengan para guru, untuk menumbuhkan kesadaran moral yang kuat sehingga setiap siswa memiliki rasa takdzim yang tinggi terhadap guru.     

Kelima, minimnya teladan yang baik, baik dari orang tua maupun dari guru. Orang tua murid merupakan contoh teladan kehidupan bagi mereka di rumah. Sedangkan guru merupakan contoh teladan kehidupan bagi murid di sekolah. Kedua-duanya memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter dan moral seorang murid. 

Persoalan moral peserta didik yang sering terjadi di masyarakat, kebanyakan lahir karena orang tua sebagai teladan di rumah atau pun guru sebagai teladan di sekolah, belum mampu menjalankan peranan mereka secara optimal, sehingga anak pun akan meniru perilaku orang tuanya atau gurunya. Anak-anak usia sekolah, cenderung lebih mudah untuk meniru perilaku yang buruk, daripada meniru perilaku yang baik. 

Semua orang tua dan guru tentu tidak ingin memberikan teladan yang buruk kepada anak-anaknya. Hanya saja, terkadang tanpa disadari, orang tua atau pun guru melakukan tindakan yang kurang terpuji, yang justru diamati oleh murid dan kemudian langsung ditiru. 

Jika orang tua dan guru melakukan tindakan yang kurang terpuji sekali saja, sementara seorang anak tahu akan hal itu, maka boleh jadi selain harga diri orang tua dan guru turun di mata murid, juga tindakan tersebut akan menjadi landasan bagi mereka untuk berbuat tidak baik. Secara ideal, jika kita sebagai guru dan orang tua, menginginkan anak-anak untuk menjadi baik, maka kita perlu memulainya dari diri kita sendiri.   

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun