Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Agenda Tersembunyi

15 Maret 2020   11:39 Diperbarui: 15 Maret 2020   11:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diambil dari upexamstore.xyz tgl 15-03-2020

Sejenak dirinya menarik napas panjang. Keringatnya bercucuran mengalir melewati kening, membasahi baju warna kuningnya dan jatuh ke tanah. Di pagi sedingin itu dia mengeluarkan terlalu banyak keringat dari biasanya.

"Maling! Maling!"

Suara penduduk kampung saling sahut menyahut di belakang yang kemudian terdengar semakin mendekat. Beberapa suara kentongan terdengar saling sahut menyahut.  Dia mencoba mendengarkan dengan teliti asal suara kentongan itu. Suara yang terdengar Dari segala penjuru Mata angin.

Dia berlari menuju hutan. Mendaki bukit bebatuan padas yang tampak mengkilap oleh sinar rembulan Yang dipantulkan oleh air bekas hujan semalam dan menempel dipermukaannya.

Sebagai seorang maling profesional, Darman telah mempertimbangkan segala kemungkinan yang bakal dihadapinya. Keluar saat pemuda kampung mulai lelah memainkan kartu reminya di gardu-gardu. Masuk ke rumah yang tidak seorangpun terjaga. Mempertimbangkan jalan masuk dan keluar rumah dengan sangat teliti. Ngomong-ngomong, dia telah melakukan pengamatan lebih dari sepuluh hari untuk menentukan waktu pencurian. Menentukan jalur pelarian jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia setidaknya memiliki tiga rencana besar.

Pertama Saat semua berjalan mulus, dia akan masuk melalui teras samping dengan melompati tembok beling yang telah diberinya lapisan ban luar. Dan keluar lewat pintu belakang menyebrangi sungai brantas yang terkenal dengan bajulnya.


Kedua saat kepergok di dalam rumah, dia akan keluar dengan cara yang sama. Mengganti pakaian yang ada di seberang sungai dan berjalan santai ke Masjid yang berjarak sekitar 300 meter dari sana sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya saat menyambut fajar. Ketiga Saat terkepung di bagian depan dan belakang, dia akan keluar dengan melompati genting - genting rumah. Merayap layaknya cicak dengan tanpa suara. Terakhir ini memaksanya harus menggunakan ilmu meringankan tubuh yang dipelajarinya dari perguruan silat yg pernah dia ikuti.

Tetapi pada Malam itu, nampaknya semua orang telah bersiaga. Semua orang telah berjaga didepan dan samping rumah Haji kodir saat dia keluar. Memang Haji kodir Masih terlelap oleh ramuan yang dimasukkannya ke dalam tandon air tempo hari. Tetapi kumpulan orang sekampung yang mengelilingi rumah haji kodir itu membuatnya sadar bahwa rumah itu adalah jebakan. Mungkin bahkan orang kampung sudah tahu niatnya sejak dirinya masih mengamati rumah Haji Kodir.

"Darman...! Kamu tidak punya pilihan selain menyerah."

Mereka bahkan tahu yang di dalam rumah itu dirinya. Panik, itulah suasana yang paling pantas digunakan untuk menggambarkan kondisinya saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dia berlari ke dapur dengan membawa perhiasan di kantong sakunya. Dia berlari menaiki tangga, memasuki kamar Laila anak Haji kodir yang pernah menjadi teman dekatnya selama ini. Dia datang menghampiri Laila yg tertidur pulas dan mencium keningnya. "Aku akan kembali padamu suatu saat."

Di ujung bukit berbatu itu, wajah Laila lah yang selalu diingatnya. Sudah 5 tahun dia berpacaran dan sampai akhirnya keduanya harus putus karena penolakan oleh Haji Kodir. "Darman, bukannya Aku merendahkan orang tuamu. Aku hanya tidak ingin anakku hidup miskin bersamamu."

Sudah sepuluh tahun peristiwa penolakan itu terjadi. Laila masih memilih untuk melajang dan Darman menikah dengan Restu, anak penjual sayur di pasar. Sekarang Darman sudah memiliki anak yang akan masuk sekolah dasar dan dia membutuhkan uang untuk nya. Pada suatu pagi, Laila datang ke rumahnya. " Tu, mana Darman?" Suarnya terdengar lantang mengisi rumah gedeg milik Darman.

"Masih tidur mbak."

"Cepat bangunkan dia!"

Restu dengan cepat masuk ke dalam rumah dan kemudian keluar bersama Darman. "Ada apa La?"

"Aku pengen kopi Tu. Tolong buatkan kopi!" Perintah Laila pada restu.

Restu yang diperlakukan seperti pelayan oleh mantan kekasihnya tampak menahan armarahnya. Air matanya menetes ke tanah ketika berjalan menuju dapur. Tetapi Darman dan Laila tidak menghiraukan itu. Keduanya saling pandang seolah sudah saling mengerti maksud masing - masing.

"Aku sudah membeli ini. Ketika Kamu sudah siap, segeralah berkabar. Kami tidak akan mampu menyekolahkan anakmu dari gaji menjaga kebun milik keluargaku."

Darman mencoba menenangkan diri. Sebuah perasaan yang sulit diterjemahkannya terbit dan terbenam. "Aku tidak ingin merugikan keluargamu."

"Aku sudah tahu itu. Akupun tahu pekerjaanmu selama ini. Jadi Aku Rasa tidak Ada alasan buatmu untuk menolak niatan baikku."

"Dari mana kamu tahu pekerjaanku Di luar pekerjaan resmiku sebagai penjaga kebunmu?"

"Semua orang kampung telah membicarakanmu."

Restu datang dan duduk di samping Darman. Secangkir kopi dengan asap yang masih menghiasi permukaan hitam disuguhkannya di atas meja. Laila meminum kopi itu dan pergi meninggalkan sepasang suami istri. "Aku Masih Ada urusan. Terima kasih kopinya Tu."

Dari puncak Bukit itu tampak pembawa obor beriringan mengejarnya sambil membunyikan kentongan. Darman berjalan dengan santai melalui jalan setapak menuju tebing curam di sisi kanan bukit. Dia berjalan tenang menuruni tebing itu dengan bantuan penerangan Bulan. Sementara itu penduduk desa telah sampai di puncak. Mereka berkumpul sambil mengeluarkan sumpah serapah. "Brengsek kau Darman. Jika saja aku menemukanmu, bakal Aku cincang."

"Kita semua harus berpencar! Jangan lupa perhatikan pepohonan Di atas kalian." Suara seorang lelaki memimpin pencarian pagi itu. Tetapi nampaknya semua terkaget dengan rumah Haji Kadir yang terbakar. Apinya tampak terang memerahkan langit.

Semua lelaki itu kalangkabut. Mereka berlari menuruni Bukit menuju ke desa. Mereka mencoba berlari sekencang-kencangnya. Mereka tahu bahwa tidak seorang lelakipin yang tersisa Di desa.

Sambil mengikatkan tubuhnya pada sebuah pohon dengan sarungnya. Pikiran Darman kembali teringat pada Laila. Dia buka sekantong emas yang beratnya kurang lebih setengah kilo itu. "Aku tidak mungkin kembali ke desa lagi setelah semua orang mengetahui pekerjaan sampinganku."

Restu duduk di depan rumahnya menantikan kepulangan suaminya. Dia menatap lampu neon yang menerangi ruang tamunya, ketika teriakan tentang kebakaran mulai terdengar. Restu meneguk kopinya sambil meneteskan air Mata. Dia teringat ketika dirinya hendak menolak lamaran Darman dan Laila mendatanginya. "Aku tahu Kamu akan menolak lamaran itu Karena kemiskinannya. Aku berharap kamu menerimanya. Aku tidak ingin dia kembali terluka Karena kemiskinannya."

"Tetapi.."

"Nikah saja dengannya atau kamu tidak Akan bisa menikah selamanya." Ancam Laila.

Beberapa jam yang Lalu saat semua lelaki kalang kabut mengejar Darman, Restu meringkuk menutup telinga anaknya. Dia takut anaknya mendengar teriakan tetangganya meneriaki Darman sebagai maling. Sampai semuanya berubah menjadi tenang dan suara mereka terdengar menjauh, tiba-tiba seorang perempuan berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Restu hampir teriak karena kaget.

"Tenang Tu, Aku Laila."  Ucap perempuan itu tenang.

"Bagaimana kamu bisa memasuki rumahku?" Restu bangkit dan menuntun Laila ke ruang tamu.

"Aku memiliki duplikat kuncimu."

Restu merundukkan kepala. "Berarti kamu sering ke sini saat malam?"

"Tidak, aku memilikinya hanya untuk malam ini." Laila menaruh sekotak uang tunai di atas meja. "Gunakan untuk kehidupanmu kedepan. Aku harus kembali ke rumah sebelum keluargaku terbangun."

Restu masuk ke dalam kamar, menaruh uangnya di lemari dan kemudian merebahkan dirinya ke kasur. Tetapi perasaan bencinya pada Laila tiba-tiba tumbuh begitu kuat. 

Dia berpikir kalau Laila selama ini telah sering datang ke rumahnya dan kemudian tidur bersama suaminya. Dia merasa suaminya dan Laila telah bermain di belakangnya. Segera Restu bangkit dan keluar rumah. Dia berjalan menuju rumah Haji Kadir dan kemudian memantikkan sedikit api di kandang ayamnya yang selanjutnya menjalar ke seluruh rumahnya.

"Hai Man, ngapain kamu mengikatkan tubuhmu ke pohon?" Laila telah berdiri di samping Darman.

"Aku tidak mimpi bukan?"

Laila tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun