Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanpa Maaf

6 Agustus 2019   12:25 Diperbarui: 6 Agustus 2019   12:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panas Matahari yang tersimpan dalam Stratum Korneum, menyisakan rasa hangat di tubuhnya. Keringatnya membasahi Kaus singlet yang dipakai di bawah kemeja putih yang tidak sempurna menahan dampaknya. Pada beberapa bagian kemajanya, tampak lingkaran-lingkaran akibat keringat yang membasahinya.

Bahri telah duduk di ruangan kerjanya ketika dia memperhatikan penampilannya melalui cermin yang menampilkan Sosoknya. Penampil khas seorang pebisnis yang hidup di jaman milenial. Berambut rapi dengan kemeja dan celana jean warna hitam serta sepatu kulit. Hanya rompi rajut yang kali ini absen dari penampilannya karena sejak awal dia tidak berniat masuk ke Kantor.

Hari itu adalah hari yang ditentukan untuk menyatakan keinginannya mempersunting teman perempuan yang telah sepuluh tahun bersamanya. Janji telah dibuat, di sebuah kafe yang berjarak dua blok dari kantornya pada pukul 06.00 pagi. Sebuah cincin yang dibelinya dari toko perhiasan Cangli milik temannya telah siap pula dalam sebuah kotak berwarna merah.

Teman perempuannya telah menungu di meja nomer 23 yang terletak di dekat taman saat Bahri keluar dari mobil. Tempat yang biasa keduanya tempati saat menghabiskan malam sepulang kerja. Hampir semua kebersamaannya dihabiskan di meja itu. Sebuah meja yang tiap kali orang akan menempatinya, selalu dikonfirmasi terlebih dahulu ke Bahri oleh pelayan kafe. "Mas, ini mejanya mau ditempati orang. Punya rencana kesini atau tidak kamu?"

Bahri masih mengingat dengan baik semua yang baru saja dialaminya, termasuk bagaimana Rara, teman perempuannya, menyambutnya dengan senyum dan lesung pipi yang mampu meluluhkan kecanggungannya. " Akhirnya kamu datang juga." Sambut Rara bersama dengan dua cangkir Latte yang telah siap di meja dengan gambar hati dipermukaannya.

" Aku tidak menyangka kamu datang secepat ini setelah apa yang terjadi bulan lalu."

Bahri mengenang kejadian bulan lalu, saat timnya keluar bersama untuk mengadakan pesta makan sebelum datangnya puasa. Dia bersama dengan kesepuluh karyawannya makan di sebuah restoran dekat dengan pasar besar. Sebuah restoran seafood kesukaannya.

Saat dia dan kesepuluh karyawannya bercengkrama dengan keakraban yang dibangunnya di kantor, tiba-tiba Rara muncul bersama dengan teman-temannya. Rara menyaksikan bagaimana Santi sekertaris Bahri membersihkan tetesan saus yang mengenai bajunya. Rara seketika marah dan mendatanginya, "Apa yang kamu lakukan?" Bentaknya.

Santi ketakutan hingga bibirnya bergetar. Dia tahu dengan pasti keadaan itu, Santi merasa terhina atas ucapan Rara yang terkesan menuduhnya merebut Bahri. Santi kehilangan kata. Mengetahui hal itu, Bahri mengambil inisiatif. "Dia hanya menjalankan tugasnya Ra."

" Owh, bermesraan itu termasuk tugasnya? Kalian di tempat umum saja seperti ini, apalagi kalau di kantor. Janga-jangan Tugasnya di kantor lebih dari ini." Rara pergi meninggalkan Bahri.

Sejak saat itu semua chat, sms, dan telpon bahri tidak di jawab oleh Rara. Bahkan beberapa kali Bahri mencoba mendatangi apartemen Rara dan tidak dibukakan pintu. Hampir tiap malam Bahri menunggu Rara di meja nomor 23 itu dengan harapan sesekali kekasihnya itu akan mampir ke sana untuk sejenak mengenang kebiasaan keduanya selama beberapa tahun terakhir.

Bahri berdiri menghadap jendela menyaksikan pohon besar yang berdiri di depan kafe. Sebuah pohon yang menjadi saksi atas ketulusan cintanya terhadap Rara. Di sanalah Bahri selalu memparkir mobil City-nya untuk memberi tanda kepada Rara yang bekerja di gedung sampingnya bahwa dia telah menunggu.

 "Setidaknya, aku menjadi kejutan buatmu hari ini." Ujar Rara sambil meminum latte.

" Iya, bahkan aku tidak menyangka kalau dirimu membalas pesanku kemarin." Bahri tersenyum.

" Sudah cukup hukumanmu. Sebulan hidup tanpaku tentu sesuatu yang berat bagimu. Setelah mengoreksi diriku, akupun merasa bahwa Aku adalah peniti yang telah disematkan padamu, seperti puisi Rendra. Dan tidak ada gunanya lagi buatku menghindari perasaanku itu karena cemburu yang berlebihan." Rara tersenyum. Sebuah senyum yang terkesan di paksakan.

" Kamu merindukanku?"

" Aku tidak bisa melawannya."

" Maafkan aku yang telah menyakitimu." Bahri merunduk, pikirannya terasa berat. " Tetapi aku telah memutuskan untuk menjadi kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan padamu. Aku ingin melamarmu dan mengajakmu menikah. Aku tersadar kalau kita tidak akan mampu lagi hidup seperti ini lebih lama lagi." Sebuah kotak merah dikeluarkannya dari Saku kemejanya dan disodorkan kepada Rara.

" Aku sepakat, kita adalah lava yang tidak lagi dapat diuraikan." Rara tertawa. Dia mengambil kotak itu, membukanya dan mengenakan cincin yang ada di dalamnya. " Tidak lagi perlu kamu pakaikan, kita telah satu." Rara berdiri dan memamerkan jarinya pada pelayan kafe yang berdiri di depan meja kasir. Mereka kemudian berlari menghampiri Rara dan mengucapkan selamat.

Bahri mengambil lattenya dan meminumnya. Dia mulai terpikir dengan karyawannya di kantor. Dia telah berjanji akan segera memberi tahu mereka jika berhasil melamar Rara. " Ra, aku pergi dulu ya. Aku janji pada karyawanku untuk memberikan kabar bahagia ini secepatnya secara langsung. Dia berlari ke kantornya, membelah jalanan yang sepi.

Bahri tersenyum ketika mengenang semua itu. Bahripun baru tersadar jika hari itu masih libur lebaran dan karyawannyapun masih belum masuk kerja. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Dia segera keluar ruangannya dengan perasaan bahagia yang sama seperti saat kedatangannya.

Dia putuskan untuk mengambil mobilnya di depan kafe dan pulang ke rumah. Dia ingin mandi sambil merencanakan upacara pernikahan yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Dia tidak ingin membuang banyak waktu. Dia berencana agar upacara pernikahannya sesempurna yang pernah di bayangkan dulu. Pernikahan dengan konsep outdoor di sebuah perkebunan anggur milik keluarganya di Probolinggo. Dia akan mengundang semua teman senimannya untuk mendesain dan mengkonsep acara itu.

Sesampainya di rumah, ternyata Rara sudah menunggunya bersama dengan ketiga temannya. Mereka adalah Hari, Bakir dan Wandi. Ketiganya merupakan seniman yang dimaksud oleh Bahri.

" kalian sudah di sini rupanya. Rencananya aku ingin mandi dulu dan kemudian menghubungi kalian." Bahri kaget.

" Rara yang memintaku kesini." Jawab Bakir santai.

Bahri menatap Rara yang tempak tersenyum malu mendengarkan Jawaban Bakir. " Oke, Aku mandi dulu saja kalau begitu. Habis mandi nanti kita bahas lebih dalam rencana kita."

" Ri. Ri. Ri.. "

Suara Bakir dan Wandi terdengar jauh menggema dalam pekatnya kegelapan yang membelenggunya. Suara itu terdengar lirih dari tempatnya berdiri. Bahri merasa terjebak dalam sebuah ruang kosong yang tidak berpenghuni. Mungkin sebuah Goa atau mungkin juga sebuah labirin yang tidak berujung. Bahri tidak tahu pasti apa yang terjadi.

Kepalanya terasa nyeri, terutama bagian tengkuknya. Kini terasa sebuah tangan menggenggam bahunya dengan erat. Bahri mencoba memastikan semua baik-baik saja. Tetapi bukti-bukti keberadaannya semakin semu. Dia merasa lenyap dari lorong gelap itu dan tubuhnya terasa kaku di atas sebuah media tanah  yang empuk.

" Kamu ikuti suaraku Ri, buka matamu!" Suara Hari terdengar berulang kali terucap. Hangat napasnya terasa membelai daun telinganya dan sedikit menggugahnya untuk mengikuti perintahnya. Tetapi matanya terasa berat.

" Dokter, Bahri sudah sadar." Teriak Wandi.

Beberapa orang dengan baju putih datang menghampirinya. Mereka memegang matanya dan menyorotinya dengan lampu senter yang berukuran kecil. Matanya tetap saja terasa berat. " Apa yang terjadi?"

" Kamu habis jatuh di kamar mandi. Kepalamu membentur closet dan kamu tidak sadarkan diri." Jawab dokter itu sambil menempelkan Stetoskop ke dadanya.

Bahri menyaksikan wajah layu dari ketiga temannya yang berdiri di belakang dokter. Tampak air mata yang terbendung di mata Hari. Bahri mengingat-ingat apa yang terjadi, tetapi semua ingatannya semu. Dia hanya mengingat rencananya menikah bulan depan dengan Rara.

" Mana Rara? Kenapa dia tidak ada di sini bersama kalian?"

Tidak seorangpun menjawab.

" Aku tahu, kalian sebelumnya di rumahku bersama dia."

Ketiganya menggelangkan kepala. " Kami datang ke rumahmu tanpa dia."

Kembali Bahri mengingat komunikasi terakhirnya dengan Ibunya Rara saat masih di Kafe. " Nak, Rara kecelakaan saat kembali ke kota. Bis yang dinaikinya masuk ke jurang." . Bahri mematikan gawainya dan berlari ke kantor meninggalkan mobilnya terparkir di bawah pohon depan kafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun