“Saya enggak ngerti harus gimana lagi biar bisa dibilang anak baik.”
Itu adalah kalimat yang keluar dari beberapa anak di kelas saya. Ia tidak berteriak. Tidak melempar barang. Tidak menangis. Tapi matanya memuat luka yang dalam.
Hari itu, saya belajar untuk mendengar. Karena saya sadar yang dibutuhkan adalah mereka dibimbing, bukan dipermalukan,penghakiman, tapi pengertian.
Mereka tidak nakal. Mereka hanya tidak tahu bagaimana menyampaikan rasa sakitnya.
Dalam keseharian sebagai guru, kita sering terjebak pada label: “anak ini sulit”, “anak itu bandel”, “anak ini tidak bisa diatur”.
Padahal sesungguhnya, tidak ada anak yang ingin jadi nakal.
Yang mereka butuhkan hanyalah cara baru untuk dimengerti.
Mungkin mereka sedang:
- Lelah di rumah, tapi tidak tahu cara bicara
- Merasa tidak cukup dicintai
- Bingung dengan emosi yang datang bertubi-tubi
Saya mengubah pendekatan. Dari hukuman menjadi pelukan.
Saya mulai menerapkan:
- Komunikasi sadar: mengajak bicara dengan hati, bukan suara tinggi
- Relaksasi ringan sebelum pelajaran
- Menulis jurnal emosi agar anak bisa mengenali perasaannya
- Afirmasi positif seperti: “Aku anak baik. Aku sedang belajar tenang. Aku disayang.”
Bukan karena takut, tapi karena merasa diterima.