Senyum Farli dan Dunia yang Terbalik
Farli itu seperti matahari kecil di kelas 8 SMPN 3 Ndoso. Rambutnya ikal, kulitnya sawo matang khas anak Manggarai, dan senyumnya—ah, senyum Farli itu menular. Bahkan Ibu Guru Minika yang terkenal galak pun kadang tak kuasa menahan senyum saat Farli mengangkat tangan, menjawab dengan semangat yang meletup-letup, walau jawabannya seringkali meleset jauh.
Masalah Farli hanya satu: membaca.
Bagi anak lain, huruf adalah alat. Mereka merangkainya menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi pengetahuan. Tapi bagi Farli, huruf-huruf di buku paket itu adalah segerombolan semut yang sedang lari-larian. Mereka melompat, berputar, dan bertukar tempat. Huruf 'b' dan 'd' adalah kembar identik yang suka sekali bermain petak umpet. Kata "susu" bisa jadi terbaca "usus" di matanya. Farli didiagnosis disleksia, sebuah kondisi yang membuat otaknya memproses huruf secara berbeda.
Setiap pelajaran Bahasa Indonesia, saat Bu Guru Monika meminta murid maju satu per satu untuk membaca paragraf, jantung Farli seperti sedang main drum di dadanya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Farli, giliranmu," kata Bu Monika dengan lembut.
Farli maju. Ia berdiri di depan kelas, memegang buku yang terasa berat sekali, seolah isinya adalah batu-batu. Ia menatap paragraf tentang sejarah lokal, mencoba fokus, tapi yang ia lihat hanya kekacauan.
"A-a-nak... s-s-s... p-p-po... p-p-po..." Farli terdiam. Wajahnya memerah. Ia tahu teman-temannya sedang menahan tawa, atau mungkin menahan rasa kasihan.
Tiba-tiba, teman sebangkunya, Lucky, berbisik, "Pahlawan."
Farli mengangguk cepat. "Anak pahlawan—" ia melanjutkan, suaranya pelan. Sampai di baris berikutnya, ia macet lagi. Ia menyerah. Ia tutup buku itu pelan-pelan.
"Maaf, Bu. Saya... saya lupa kacamata," dalihnya, padahal ia tak pernah pakai kacamata. Ia kembali ke bangku, menunduk. Rasa malu itu tebal dan dingin.