Mohon tunggu...
Safira Iqlima Royyana
Safira Iqlima Royyana Mohon Tunggu... 24107030127

Writing for assignment. So, be updated buddy!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Nada Bicara Jadi Kunci

9 Juni 2025   22:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   22:35 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah dunia yang semakin bising dengan suara-suara yang saling bersaing, gaya bicara seseorang dapat menjadi penentu bagaimana ia dipersepsikan oleh orang lain.

Dua kutub gaya komunikasi yang paling sering dibandingkan adalah soft spoken (orang yang berbicara dengan nada lembut dan tenang) dan hard spoken (mereka yang berbicara dengan nada tegas, keras, bahkan dominan).

Namun, mana yang lebih efektif? Apakah berbicara dengan lembut berarti lemah? Apakah berbicara dengan tegas otomatis berarti kuat?

Soft spoken bukan berarti pasif atau tidak percaya diri. Mereka biasanya memilih kata dengan hati-hati, berbicara pelan, dan memberikan kesan empatik serta sabar. Banyak tokoh inspiratif seperti Mahatma Gandhi atau Aung San Suu Kyi dikenal sebagai sosok yang soft spoken, namun memiliki pengaruh besar.

Sementara itu, hard spoken biasanya diasosiasikan dengan karakter yang tegas, lugas, dan tidak segan menaikkan volume suara demi memperjelas maksudnya. Gaya ini sering ditemukan dalam dunia militer, politik, atau kepemimpinan perusahaan besar.

Dalam psikologi komunikasi, gaya bicara seseorang mencerminkan aspek kepribadian dan kecerdasan emosionalnya. Mereka yang soft spoken cenderung memiliki tingkat empati dan pengendalian diri yang tinggi.

Dalam kehidupan sosial, soft spoken sering kali dianggap lebih menyenangkan untuk diajak bicara. Mereka mudah membuat orang merasa nyaman dan aman. Namun, di lingkungan yang agresif, mereka kerap diremehkan atau dianggap kurang tegas.

Suara yang lembut dan nada yang tenang bukan berarti mereka lemah, justru menjadi cerminan kemampuan untuk menahan diri, berpikir sebelum berbicara, serta memahami perasaan orang lain sebelum bereaksi.

Gaya ini sering membuat orang merasa aman dan nyaman saat berbincang, dan sangat efektif dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat.

Sebaliknya, individu yang hard spoken menunjukkan karakteristik dominan. Hard spoken kerap diasosiasikan dengan otoritas dan ketegasan. 

Mereka sering dipercaya untuk memimpin karena kesan dominan yang mereka tampilkan. Mereka tidak segan menyampaikan pendapat secara langsung, bahkan dengan nada tinggi. Meski terlihat lebih tegas dan cepat dalam mengambil keputusan, tetapi jika tidak dikendalikan gaya ini bisa menimbulkan kesan kasar atau arogan.

Di banyak ruang profesional yang penuh tekanan, gaya hard spoken dianggap perlu untuk menciptakan rasa urgensi atau otoritas, tetapi harus digunakan secara bijak agar tidak berujung pada konflik yang tidak perlu.

Studi sosiolinguistik menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap gaya bicara sangat dipengaruhi oleh gender. Perempuan yang hard spoken sering dilabeli sebagai "galak" atau "tidak feminin", sementara laki-laki yang soft spoken kadang dianggap kurang maskulin.

Ketimpangan persepsi ini menandakan bahwa masyarakat perlu belajar memisahkan gaya bicara dari penilaian karakter secara menyeluruh. Meskipun stereotip ini perlahan berubah, tetapi masih banyak dijumpai di berbagai budaya.

Psikolog komunikasi menyarankan untuk mengadaptasi gaya bicara sesuai konteks. Dalam situasi yang menuntut diplomasi, gaya soft spoken bisa menjadi jembatan yang efektif. Namun dalam rapat krusial atau saat harus menetapkan batas, gaya hard spoken bisa menyampaikan otoritas dengan jelas.

Dalam keseharian, masyarakat menghargai kelembutan dan kerendahan hati, tetapi di ruang-ruang kerja profesional atau politik, ketegasan ala hard spoken sering lebih dihargai.

"Bukan soal siapa yang lebih baik, tapi kapan dan bagaimana kita menyesuaikan diri," ujar Dr. Maria Sari, pakar komunikasi interpersonal dari Universitas Indonesia.

Barack Obama, misalnya, dikenal memiliki kemampuan untuk memadukan keduanya. Dalam pidato-pidatonya, ia bisa menyampaikan pesan yang kuat dengan nada tenang namun berwibawa. Sementara Steve Jobs, dengan gaya yang lebih hard spoken, mampu mengguncang dunia dengan ketegasannya di panggung maupun ruang rapat.

Kedua gaya ini meskipun sangat berbeda, sama-sama berhasil menyampaikan pesan secara efektif karena disesuaikan dengan konteks perjuangan masing-masing.

Dalam dunia yang semakin beragam, kemampuan untuk menyesuaikan gaya komunikasi adalah kunci sukses. Baik soft spoken maupun hard spoken, masing-masing punya kekuatan tersendiri. Yang terpenting adalah kesadaran akan audiens, konteks, dan dampak dari cara kita menyampaikan sesuatu.

Pakar komunikasi menyarankan penggunaan kombinasi keduanya sesuai konteks. Misalnya, memulai dengan pendekatan tenang lalu meningkatkan nada untuk menekankan poin penting. Dalam wawancara kerja, gaya yang sedikit hard spoken, yaitu penuh percaya diri dan artikulasi jelas lebih disukai, sementara dalam sesi konseling atau mentoring, soft spoken lebih efektif membangun koneksi emosional.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa keras kita berbicara, tapi seberapa dalam pesan kita menyentuh orang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun