Mereka sering dipercaya untuk memimpin karena kesan dominan yang mereka tampilkan. Mereka tidak segan menyampaikan pendapat secara langsung, bahkan dengan nada tinggi. Meski terlihat lebih tegas dan cepat dalam mengambil keputusan, tetapi jika tidak dikendalikan gaya ini bisa menimbulkan kesan kasar atau arogan.
Di banyak ruang profesional yang penuh tekanan, gaya hard spoken dianggap perlu untuk menciptakan rasa urgensi atau otoritas, tetapi harus digunakan secara bijak agar tidak berujung pada konflik yang tidak perlu.
Studi sosiolinguistik menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap gaya bicara sangat dipengaruhi oleh gender. Perempuan yang hard spoken sering dilabeli sebagai "galak" atau "tidak feminin", sementara laki-laki yang soft spoken kadang dianggap kurang maskulin.
Ketimpangan persepsi ini menandakan bahwa masyarakat perlu belajar memisahkan gaya bicara dari penilaian karakter secara menyeluruh. Meskipun stereotip ini perlahan berubah, tetapi masih banyak dijumpai di berbagai budaya.
Psikolog komunikasi menyarankan untuk mengadaptasi gaya bicara sesuai konteks. Dalam situasi yang menuntut diplomasi, gaya soft spoken bisa menjadi jembatan yang efektif. Namun dalam rapat krusial atau saat harus menetapkan batas, gaya hard spoken bisa menyampaikan otoritas dengan jelas.
Dalam keseharian, masyarakat menghargai kelembutan dan kerendahan hati, tetapi di ruang-ruang kerja profesional atau politik, ketegasan ala hard spoken sering lebih dihargai.
"Bukan soal siapa yang lebih baik, tapi kapan dan bagaimana kita menyesuaikan diri," ujar Dr. Maria Sari, pakar komunikasi interpersonal dari Universitas Indonesia.
Barack Obama, misalnya, dikenal memiliki kemampuan untuk memadukan keduanya. Dalam pidato-pidatonya, ia bisa menyampaikan pesan yang kuat dengan nada tenang namun berwibawa. Sementara Steve Jobs, dengan gaya yang lebih hard spoken, mampu mengguncang dunia dengan ketegasannya di panggung maupun ruang rapat.
Kedua gaya ini meskipun sangat berbeda, sama-sama berhasil menyampaikan pesan secara efektif karena disesuaikan dengan konteks perjuangan masing-masing.
Dalam dunia yang semakin beragam, kemampuan untuk menyesuaikan gaya komunikasi adalah kunci sukses. Baik soft spoken maupun hard spoken, masing-masing punya kekuatan tersendiri. Yang terpenting adalah kesadaran akan audiens, konteks, dan dampak dari cara kita menyampaikan sesuatu.
Pakar komunikasi menyarankan penggunaan kombinasi keduanya sesuai konteks. Misalnya, memulai dengan pendekatan tenang lalu meningkatkan nada untuk menekankan poin penting. Dalam wawancara kerja, gaya yang sedikit hard spoken, yaitu penuh percaya diri dan artikulasi jelas lebih disukai, sementara dalam sesi konseling atau mentoring, soft spoken lebih efektif membangun koneksi emosional.