Mohon tunggu...
Safinah Nurul Atieq
Safinah Nurul Atieq Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hallo saya mahasiswa aktif Di IAIN Kediri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resume Buku Studi Islam Dalam Dinamika Global Karya Dr. Mohammad Arif, M.A. Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Praktikum Penyuluhan Social Keagamaan

9 Desember 2023   21:31 Diperbarui: 9 Desember 2023   21:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang
  • Hadits adalah laporan atau perkataan, tindakan, atau persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang menjadi sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Hadits digunakan untuk memahami dan menjelaskan ajaran Islam serta tata cara beribadah dan berperilaku. Proses pengumpulan hadits dimulai setelah wafatnya Nabi, diawali oleh para sahabatnya. Beberapa tokoh utama dalam pengumpulan hadits antara lain Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya. Mereka menyaring hadits berdasarkan kriteria keabsahan dan keandalannya. Hasilnya, koleksi hadits ini menjadi panduan utama bagi umat Islam dalam memahami ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an. Fungsi hadits dalam Islam meliputi penjelasan dan pelengkap Al-Qur'an, memberikan contoh praktik hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, dan menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Hadits juga membantu memahami konteks dan implementasi ajaran agama secara lebih konkret.
  • Studi Islam sebagai disiplin ilmu mencakup berbagai aspek kehidupan umat Muslim, dan salah satu fondasi utamanya adalah Hadits. Posisi sentral Hadits dalam kajian Islam menjadi krusial karena Hadits adalah sumber kedua setelah Al-Qur'an dalam menentukan hukum, norma, dan panduan perilaku umat Islam. Dalam tulisan ini, akan diuraikan pentingnya Hadits sebagai penjelas dan pelengkap ajaran Al-Qur'an, serta peranannya dalam membentuk pandangan hidup dan praktik keagamaan umat Islam.

  • Rumusan Masalah
  • Bagaimana penjelasan mengenai Hadits?
  • Bagaimana mengenai Sejarah Hadits?
  • Bagaimana posisi sentral Hadits dalam studi Islam?

  • Tujuan
  • Untuk mengetahui mengenai definisi Hadits
  • Untuk mengetahui Sejarah Hadits
  • Untuk mengetahui posisi sentral Hadits dalam studi Islam
  • PEMBAHASAN

    • Pengertian Hadits
    • Menurut istilah ahli ushul fiqh, Pengertian hadits ialah: "Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw selain Al- Qur'an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara'. Menurut ahli hadits, hadits ialah segala ucapan Nabi, perbuatan, taqrir dan keadaannya.Adapun menurut ahli ushul, hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang berkaitan dengan hukum atau berdampak hukum.
    • Perbedaan antara ahli hadits dan ahli ushul di atas, dilatarbelakangi adanya perbedaan disiplin ilmu yang secara spesifik berbeda antara satu dan lainnya sehingga menciptakan pandangan yang berbeda pula terhadp pribadi Nabi Saw sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.Mushthafa As-Siba'i berpendapat bahwa adanya perbedaan pengertian tentang istilah hadits itu karena adanya perbedaan tujuan masing- masing ahli di berbagai bidang ilmunya.
    • Latar Belakang Pemahaman Tekstual dan Konstektual Hadits
    • Berbeda dengan Al-Qur'an, hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan catatan beberapa sahabat dan tabi'i. Namun profil sahabat dan tabi'in dapat dibuktikan handal dalam hal kejujuran, ketabahan, keikhlasan dan upaya selektif untuk peduli dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita menetapkan Hadits atau Sunnah sebagai sumber hukum yang lain, bahkan tradisi-tradisi kehidupan Nabi merupakan wujud institusi Islam yang konkrit dan hidup sebagai terjemahan Al-Qur'an.
    • Untuk memahami hadis secara tepat dan komparatif, perlu diketahui kedudukan dan fungsi Nabi dalam turunnya hadis. Baik status Muhammad sebagai nabi, rasul, kepala pemerintahan, hakim, panglima perang, suami atau orang biasa, kedudukan atau peranannya menjadi acuan untuk memahami hadis agar tetap shaleh li kulli masa wa makan. Berdasarkan  pertimbangan  di atas, secara umum terdapat dua tipologi pemahaman ulama tentang hadis: pertama, memahami hadis Nabi tanpa mempertimbangkan proses sejarah yang memunculkannya bersifat "unhistoris", tipologi ini disebut textist; kedua, pemahaman kritis, mengingat asal muasal Hadits (asbab al-wurud)  dan konteks yang melingkupinya, maka pemahaman Hadits dengan cara seperti ini disebut kontekstual.
    • Posisi dan Fungsi Hadits
    • Keberadaan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayat- Nya secara tersirat juga merupakan ijma' (konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Menetapkan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an bertujuan untuk menunjukkanbahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah itu sangat pentinguntuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. Menempati Posisi kedua setelah al-Qur'an, sunnah memiliki fungsi sebagai bayan (penjelas) atau penafsir yangdapat mengungkapkan tujuan dan maksud-maksud al- Qur'an. Firman Allah:"Dan Kamiturunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yangditurunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir".
    • Menurut T.M. Hasybi al-Shiddiqi, Mundzir Suparta dan Fathurrahman fungsi hadits terhadap Al-Qur'an itu sebagai penjelas (al-bayan). Fathurrahman tampaknya menyimpulkan penjelasan serta kategori al-bayan ke dalam tiga hal.
    • Hadits berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum- hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Fungsi in mengacu pada bayan al-taqrir versi Imam Malik dan bayan al-ta'kid versi Ahmad bin Hambal.
    • Hadits berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al- Qur'an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq.
    • Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam Al-Qur'an. Fungsi ini mengacu pada bayan tasyri' versi Imam Malik, Imam Syafi'i dan Ahmad bin Hambal.
    • Sejarah dan Kodifikasi hadist
    • Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, diawali setelah berdirinya perintah dari khalifah Umar bin Abd al Aziz kepada para pakar hadits untuk menuliskannya."Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm: Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul lalu tulislah. karena aku takutakan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadits Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan." Dengan demikian penulisan hadits yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun, untuk mengingat sejarah perkembangan hadits dari zaman ke zaman, akan dijabarkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk melihat tahapan hadits secara periodik.
    • Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan pembentukan ('ashr al-wahyu wa al-takwin. Pada periode ini para sahabat dilarang menulis hadist oleh Nabi dikarenakan adanya kekhawatiran nabi terhadap bercampurnya hadist dengan Al-Qur'an. Sebab saat itu umat islam lebih melihat dari Al-Qur'an. Meskipun adanya larangan, beberapa sahabat menulis hadist dengan berbagai alasan. Penyampaian hadist nabi kepada para sahabat disampaikan dengan dua metode yakni  metode secara langsung dan secara tidak langsung.  Penyampaian hadist secara langsung seperti ceramah, pengajian, atau disampaikan secara langsung oleh nabi. Sedangkan penyampaian hadist secara tidak langsung yakni penyampaian melalui sahabat-sahabat nabi dan para utusan nabi dari berbagai daerah. Ciri utama pada penyampaian hadist di periode ini adalah aktif dan bersemangat menyalin dan menulis sendiri-sendiri. Beberapa sahabat yang menerima hadist nabi adalah sahabat Abdullah bin Mas'ud, khulafa rassyidin, Anas bin Malik, Abu Hurairah,Siti Aisyah, dan Ummu Salamah. Nabi menyampaikan hadist kepada umat  dengan cara menghafal.
    • Periode kedua ialah pada zaman sahabat khulafa rasyidin. Pada masa ini disebut juga masa pembatasan hadist penyelidikan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah).  Pada periode ini timbulnya kekhawatiran para sahabat terhadap kekeliruan hadis nabi. Sebab pada peride ini politik umat islam labil dan dapat menyebabkan konflik atau perpecahan umat. Oleh karena itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadist. Ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Pertama lafdzi ialah redaksi hadist yang disabdakan oleh Nabi. Kedua ialah ma'nawi ialah redaksi hadist yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan nabi, tapi substansinya sama.
    • Periode ketiga ialah penyebaran hadist di berbagai daerah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada zaman sahabat kecil dan tabi'in besar.  Pada masa ini wilayah islam sudah tersebar luas dan berdampak pada penyebaran hadist.  Periode keempat ialah periode penulisan dan pembukuan hadist secara resmi ('ashr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-'Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M.
    • Periode kelima adalah periode kemurnian, penyehatan dan penyempurnaan n ('ashr al-tajrid wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah.Atau tepatnya pada saat dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah alMa'mun sampai al-Mu'tadir (201-300 H), pada periode ini para ulama' mengadalan penyeleksian, penyaringan dan pengklasifikasian hadist dengan cara memisahkan hadis sesuai jenisnya yakni hadist marfu', hadist mauquf dan maqthu'.
    • Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Hadits
    • Tahap pertama, kelahiran ilmu hadits. Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriyah. Waktu itu mereka telah hafal Al-Qur'an dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memelihara hadits Nabi.
    • Tahap kedua, Tahap penyempurnaan. Pada tahap ini ilmu hadits mencapai titik kesempurnaannya.Karena setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidahkaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh para ulama. Tahap ini berlangsung dari awal abad kedua sampai awal abad ketiga.
    • Tahap ketiga, tahap pembukuan ilmu hadits secara terpisah. Tahap iniberlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriyah.
    • Tahap keempat, penyusunan kitab-kitab induk 'ulum al-Hadits dan penyebarannya. Tahap ini bermula padapertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.Para ulama periode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya yang notabene perintis dalam pembukuan hadits dan ilmu hadits.
    • Tahap kelima, kematangan dan kesempurnaan pembukuan 'ulum al-Hadits. Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh.Dalam tahap ini pembukuan 'ulum al-hadits mencapai tingkat kesempurnaanya dengan ditulisnya sejumlah kitab mencapai tingkat seluruh cabang ilmu hadits.
    • Tahap keenam, masa kebekuan dan kejumudan. Tahap ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriah. Pada tahap ini ijtihad dalam masalah ilmu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Tahap ini ditandai dengan lahirnya sejumlah kitab hadits yang ringkas dan praktis, baik dalm bentuk syair maupun prosa.
    • Tahap ketujuh, kebangkitan kedua. Tahap ini bermula pada permulaan abad keempat belas Hijriah.Pada tahap ini umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan yang tidak manusiawi dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya.
    • Unsur-Unsur Hadits
    • Isnad adalah pemberitaan rawi tentang rentetan rawi (yang meriwayatkan)
    • Sanad adalah h jalan yang menyampaikan pada matan hadits dari Rasulullah. Dan rawi-rawi yang dijadikan sandaran periwayatan hadits dinamakan Sanad
    • Matan adalah karya seseorang menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Sedangkan syarah adalah pen elasan yang lebih terurai dan terperinci.
    • Rawi adalah orang yang menyampaikan hadist dalam suatu kitab apapun yang pernah didengar dari seseorang atau gurunya.
    •  Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum 
    • Umat Islam telah bersepakat bahwa dasar hukum Islam selain Al Qur'an juga ada hadits/sunnah baik dari golongan ahli aqli maupun ahli naqli. Selain disepakati bersama seluruh umat Islam wajib mengamalkannya baik dalam bentuk awamir maupun nawahi. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalil naqli maupun aqli, sebagai berikut:
    • Dalil Al-Qur'an
  • Di salah satu ayat suci Al-Qur'an  dalam (QS. Al-Anfal (8):20) telah menjelaskan bahwa Allah SWT  memerintahkan kaum muslim agar mereka tetap beriman kepada Allah dan Rasul. Di akhir ayat, Allah SWT mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW. juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan.  Berkenaan dengan haditst sama halnya dengan apa yang diutarakan diatas, nilai tentang hadits sangat penting terutama dalam melestarikannya. Hal itu sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur'an "Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah".Maka jika kita mengaku sebagai umat Muslim, maka berkewajiban untuk mengikuti dasar sunnah, menjaga dengan ilmu dan amal dalam rangka mengagungkannya.

    • Dalil Al Hadits
  • Rasulullah SAW. Telah berpesan kepada seluruh umatnya bahwa wajib bagi umat muslim menjadikan Al-Qur'an dan hadits sebagai pedoman hidup. Beliau bersabda "Aku tinggalkan dua pustaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya ".(HR. Malik)

    • Kesepakatan Ulama ( Ijma')
  • Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW. telah meninggal, pada  masa Khulafa Ar-Rasyiddin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkari-Nya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tetapi menyebarluaskannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Setelah suatu hadits dipastikan kesahihannya, Hasbi menekankan pada pentingnya pemilahan hadits berdasarkan ketetapan hukumnya, apakah suatu hadits dipahami berlaku secara khusus (tasbri' khas) atau dipahami berlaku secara umum (tasbri' 'amm).

    • Sesuai Dengan Petunjuk Akal (Ijtihad).
  • Dalam memberikan penjelasan hadits (sharh Al -- Hadits) Hasbi menganjurkan agar hadits yang dijelaskan dikuatkan dengan dukungan Al-Qur'an. Hadits yang bertentangan hendaknya di musyawarahkan dan dicari kebenarannya. Pensharahan hadits selayaknya dilakukan oleh para ahli menurut bidangnya mesing-masing. Pensharahan hadits sebaiknya dikemukakan secara sederhana dan sebisa mungkin menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan antar umat muslim .Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadits memiliki beberapa fungsi yaitu:

    • Fungsi Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur'an.
    • Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur'an. Teks Al-Qur'an sebagai pokok asal sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya.
    • Menurut  Imam Ghazali dalam bukunya Fadhaib Al-Bathiniyyah Wa Fadhail Al Mustazhhiriyah halaman 180-181 menyatakan bahwa seorang wanita tidak bisa didudukkan menjadi seorang imam(pemimpin pemerintahan). Dalam suatu hadits Nabi meriwayatkan oleh Iman Nasai, Imam Turmudzi dan Imam Ahmad disebutkan bahwa "sesekali tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan". Al-Qur'an surat An -- Nisa' ayat 34 juga telah menggariskan bawah "Kaum laki-laki adalah pemimpin wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) ...". Dalam ayat tersebut senada dengan Hadits Rasulullah bahwa seoarang laki-laki dengan segala kemampuan yang dianugrahkan oleh Allah mempunyai tanggung jawab lebih dari pada perempuan yaitu tanggung jawab menjadi seorang pemimpin.
    • Mayoritas Sunnah relative kebenarannya (zhanniy ats-tsubut)
    • Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, yakni setelah Al-Qur'an selalu berintegrasi dengan Al-Qur'an. Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa sunnah, sebagaimana syariah tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan kepada sunnah. para sahabat menerima langsung penjelasan Nabi tentang syari'ah yang terkandung dalam Al-Qur'an baik dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau yang disebut dengan sunnah itu. Demikian juga umat Islam setelahnya, tidak mungkin dapat memahami hakikat Al-Qur'an , kecuali harus kembali kepada sunnah.
    • Konsep aqli Al-Qur'an telah meletakkan dasar bahwa nilai kehormatan, jati diri kemanusiaan serta hak dan kewajiban wanita setara dan seimbang dengan pria (QS Al-Hujurat 13). Nabi Muhammad SAW pernah menegaskan "innama al-nisau syaqaiqu al-rijali", sungguh wanita itu saudara kandung pria. (HR Ahmad, Abu Dawud, Al Turmudzi dan Al Darimi). mengamati kodrat bawaan wanita seperti itu tepat dikatakan bahwa wanita pada dasarnya memiliki basis ahliah (kecakapan berbuat dan kecakapan menerima hak) yang sama dengan pria sepanjang ikatan hukumnya potensi akal. Di balik dasar penyetaraan posisi hak politik wanita dengan hak yang sama pada pria. Berkembang kecenderungan aplikasi atas penafsiran nash-nash Syari'at tersebut.
    • Model-Model Penelitian Hadits
    • Sebagaimana halnya Al-Qur'an, Al hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur'an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al-Qur'an dan hadits berbeda. kedatangan atau turun (nuzul) nya Al-Qur'an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. tidak ada satu ayat Al-Qur'an yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. Atas dasar ini, maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat Al-Qur'an itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan hadits. dari segi datang (Al Wurud)nya hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari nabi, Melainkan ada yang berasal dari selain nabi.
    • Berikut Model- Model Penelitian Hadits :
    • Model H.M. Quraish Shihab. Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-Qur'an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur'an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-Qur'an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadits termasuk pula Al-Qur'an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis dan bukan uji hipotesis. Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadits terhadap Al-Qur'an, menyatakan bahwa Al-Qur'an menekankan bahwa Rasul Saw. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Qs. 16:44). Ulama lain menyebutnya sebagai menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Dalam keadaan demikian Al-Qur'an dan Al Sunnah kedua-duanya bersama-sama menjadi sumber hokum. Adapun fungsi yang kedua dari Al Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu Al Hadits juga dapat mengambil peran sebagai menetapkan hokum atau aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur'an.

  • Model Musthafa Al-Siba'iy.Penelitian yang dilakukan Musthafa Al Siba'iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. yakni dalam system penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Hasil penelitiannya yang dilakukan Mushthafa Al Siba'iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulllah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah Al Hadits, Ilmu Jarh dan at Ta'dil, kitab-kitab tentang hadits palsu dan para pemalsu dan penyebarannya. Selanjutnya Al Siba'iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum khawarij, syiah, mu'tazilah dan mutakallimin, para penulis modern dan kaum Muslimin pada umumnya terhadap Al Sunnah. dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di masa sekarang yang mengingkari kehujjahan Al Sunnah disertai pembelaannya.

    Model Muhammad Al-Ghazali.Penelitian yang dilakukan Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Al SunnahAl Nabawiyah Baina Abl Al-Fiqh wa Abl al-Haditst termasuk penelitian eksploratif dan corak penyajiannya masih bersifat Deskriptif analitis. Masalah yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad Al Ghazali itu Nampak cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishah, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar,dll.

    Model Zain Al-Din 'Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy. Penelitian yang dilakukan Zain Al-Din bersifat penelitian awal yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku inilah dibuat pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya yaitu hadits yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif. kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil, marfu', mauquf, mursal, al munqatil. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.

    Model Penelitian Lainnya. Model penelitian diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu.

    • Metodologi Penulisan Literatur Hadits Pada Periode
    • Awal Periode ini ditandai dengan munculnya penyeleksian terhadap hadits Nabi yang pada periode Tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu' dari hadits marfu'. Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu' tercampur pada yang shahih. Pada masa ini ulama bersungguh--sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini telah berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha'if dari yang shahih dan hadits-hadits mauquf serta yang maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselupnya hadits yang dha'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.Pada era para Islam, keahlian bangsa Arab dalam membuat syair-syair dengan keindahan bahasa yang menakjubkan serta kepiawaiannya merangkai kata-kata yang harmonis menjadikan Arab Pra-Islam kaya akan nuansa sastrawi. Namun begitu , peradaban Arab sepertinya tidak bermula dari Arab pra-Islam , akan tetapi lebih tepatnya untuk disimpulkan bahwa sejarah literatur Arab dimulai pertama kali dari al-Qur'an ,"buku" pertama dalam literatur arab.
  •  

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
  • LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun