Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cintaku, Nodamu (13)

6 November 2014   23:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cinta harus dirawat inap untuk beberapa hari. Itu kata dokter Ridwan agar bisa memastikan penyakit apa yang diderita bocah itu. Kini aku diharuskan memilih kamar untuk dapat ditempati Cinta. Aku hanya bisa memilih kelas tiga, karena itu yang aku mampu. Meski sebagai Pegawai Negeri Sipil aku mempunyai askes, aku tidak menggunakannya sejak Cinta masuk ke sini. Karena selain berbelit-belit pengunaannya, pelayanan yang didapat sungguh lama.

Kondisi Cinta yang gawat saat aku membawanya ke sini membuatku langsung saja membayar cash biaya pengobatan. Tapi aku tidak menyangka Cinta harus tinggal lama di rumah sakit dengan melakukan beberapa tes laboratorium. Mulai dari awal masuk sampai detik ini aku sudah mengeluarkan uang dalam jumlah yang bagiku terasa berat. Kini aku hanya bisa berdoa semoga Cinta tidak mengalami penyakit yang berat.

Bunyi ponsel tiba-tiba dari dalam tasku membuatku tergesa membukanya. Airin.

“Assalaamu Alaikkum,” sapaku

“Kak Daniar tadi menelpon? Maaf, kak, tadi Airin di dapur tidak dengar suara hp berbunyi,” kata Airin menjelaskan karena tadi aku menelponnya tapi tidak diangkat.

“Ya. Bagaimana keadaan bunda?”

“Baik, kak. Tapi bunda mengkhawatirkan kak Daniar dan Cinta.”

“Bilang bunda, Cinta tidak apa-apa. Hanya perlu istirahat saja. O ya Rudi mana?” Aku menanyakan suami Airin.

“Belum pulang dari sekolah, kak,” jawab Airin. Rudi, suaminya adalah seorang guru, sama seperti saya.

“Ok, aku akan telpon dia dulu.” Aku menutup ponselku lalu menghubungi Rudi.

“Assalaamu Aikum,” suara Rudi di seberang.

“Wa alaikum salam. Kamu sibuk Rud?”

“Tidak, kak.”

“Aku mau minta tolong. Bisa kamu gantikan aku temani Cinta karena aku mau urus cuti dulu? Sudah tiga hari ini aku hanya izin pada kepala sekolah secara lisan. Boleh kan?”

“Ya, kak. Kebetulan aku baru selesai mengajar.”

“Terima kasih, Rud.”

“ Ah, kak Niar, seperti orang lain saja. Aku izin dulu.”

Setelah Rudi menutup ponselnya aku menoleh ke Cinta yang tengah menatapku. Pandangan matanya begitu sayu. Kubelai rambutnya penuh kasih lalu kucium keningnya lembut.

“Mama mau pulang ya?” tanya Cinta. Ah, anak ini memang pintar. Dia sudah bisa mengerti arti pembicaraanku tadi.

“Ya, sayang. Boleh kan mama tinggal sebentar?”

“Apa itu cuti, ma?” tanya Cinta yang sempat membuatku berpikir sejenak.

“Cuti itu adalah hari dimana dibolehkan tidak masuk kerja selama beberapa hari,” jelasku sambi menahan geli dalam hati karena bingung bagaimana cara mengartikannya pada bocah kecil ini, agar mudah dipahami. “Mama ingin temani Cinta terus supaya cepat sembuh,” sambungku lagi. Dan bocah itu manggut-manggut.

Dua jam kemudian Rudi datang. Aku pun segera bersiap-siap. Karena mobil angkutan umum untuk ke Molinese batasnya hanya sampai jam tiga siang. Aku harus bergegas. Dengan setengah berlari aku melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Tiba di ruang informasi aku melihat Rina dan Farid sedang berbicara dengan seorang petugas rumah sakit. Kedua orang itu menoleh bersamaan ke arahku saat mendengar suara kakiku.

“Nah, itu orangnya.” Rina tersenyum. Aku pun demikian namun bagiku terasa kaku, kerena aku melihat Farid begitu tiba-tiba.

Selama kami bertetangga aku tak pernah bertemu dengannya. Kini lelaki itu ikut Rina menjenguk Cinta. Bukankah dia tidak suka anak kecil? Rupanya demi ponakan tersayangnya, Farid mau turut serta ke rumah sakit.

“Di kamar berapa Cinta dirawat?” tanya Rina

“Kamar 4e kelas tiga. Ruang melati. Terima kasih kamu mau datang lagi,” kataku sambil melirik Farid. Cara lelaki itu menatapku masih seperti dulu. Tidak ada ekspresi. “Maaf aku tinggal dulu. Di sana ada Rudi, suami Airin yang temani Cinta,” Aku cepat-cepat pamit. Namun disaat kakiku mau melangkah, Rina memegang lenganku.

“Mau ke mana?” tanyanya

“Aku mau pulang dulu, mau urus cutiku,” jelasku.

Rina melirik jam tanganya.

“Masih ada angkutan jam segini?”

“Makanya aku harus segera bergegas,” kataku sambil melepaskan pegangan Rina.

“Daniar!” Rina kembali mencegahku. “Nanti om Farid yang antar,” kata Rina sambil menatap omnya dengan wajah permohonan. Farid tampak terkejut. Apalagi aku.

“Terima kasih,Rin. Aku naik angkutan umum saja. Kataku sambil berusaha melepaskan tangan Rina. “Pliisss, Rina. Nanti aku terlambat,” kataku setengah memohon, panik, karena kulihat jam dinding di rumah sakit sudah hampir jam tiga. Syukur-syukur kalau masih ada mobil. Karena biasanya juga setengah tiga mobil sudah berangkat kalau penumpang sudah penuh. Rina melepaskan pegangannya.

“Aku tinggal dulu Rin, Om.... Maaf ya.” Dengan setengah berlari aku pun bergegas.

Tiba di pinggir jalan aku menahan sebuah mikrolet jurusan terminal Baruga. Aku menggerutu dalam hati saat mikrolet yang kutumpangi berhenti sejenak di ujung sebuah lorong, menanti dua orang wanita yang sedang berjalan. Duh, lambat skali tuh jalannya orang. Aku menghembuskan napas kesal.

Akhirnya mikrolet itu kembali meluncur setelah dua wanita tadi telah duduk di depanku. Aku melirik jam tanganku. Jam tiga tepat. Aku gelisah. Mikrolet yang kutumpangi terasa lambat jalannya. Benar dugaanku. Mobil-mobil angkutan jurusan molinese sudah berangkat semua. Aku terlambat.

“Maaf, Pak. Mobil jurusan mana ini?” tanyaku pada seorang lelaki yang berdiri di samping sebuah mobil angkutan umum.

“Tinanggea. Mbak mau ke mana?”

“Molinese.”

“Ooo sudah berangkat semua. Barusan saja mobil terakhir sekitar lima menit yang lalu,” jelas sopir itu.

Aku terdiam beberapa saat. Satu-satunya jalan aku harus mencarter lagi. Tapi sungguh memberatkan bagiku. Aku menghela napas berat sambil menyisir rambutku dengan jemariku, resah. Dalam kebingunganku aku tiba-tiba melihat Farid tengah menatapku dari dalam mobilnya di dekat pintu masuk terminal. Lelaki itu turun dan mendekatiku.

“Sudah berangkat semua?” tanyanya

“Ya, Om,” kataku gugup.

“Ayo, aku antar,” ajaknya sambil melangkah.

Tidak ada jalan lain. Aku akhirnya mengikutinya. Kalau bukan karena Cinta aku tidak akan sebodoh ini. Kurasa juga Farid juga merasa begitu. Kalau bukan karena Rina, Lelaki itu tidak akan sudi menjadi sopirku sementara.

Selama dalam perjalanan kami sama-sama membisu. Tak ada suara. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak kikuk di dekatnya. Jari-jariku beberapa kali kugerakkan. Oo tidak aku merasa kikuk. Itu tidak bisa kupungkiri.

Kutajamkan pandanganku ke depan.Lalu aku sedikit meluruskan badanku sambil memejamkan mataku sejenak. Dalam pelupuk mataku, wajah Cinta kembali terbayang. Tatap matanya yang sayu dengan wajahnya yang sedikit pucat melepas kepergianku tadi. Kubuang pandanganku ke luar jendela saat kurasakan mataku terasa memanas.

Sore sudah hampir beranjak saat kami tiba di desa Molinese.

“Terima kasih, Om,” kataku sambil membuka pintu mobil dan menoleh ke arah Farid. Lelaki itu hanya mengangguk.

“Besok kalau mau ke kendari hubungi saja aku. Kita sama-sama,” katanya sambil ikut turun dari mobil.

“E...e iya, Om,” jawabku gelagapan karena kaget mendengar ajakannya. Farid menoleh ke arahku. Seperti ada yang ingin dikatakannya. Tapi dia hanya menatapku sejurus lalu mendengus dan berlalu.

***

Aku menghempaskan tubuhku ke sofa. Kubuka tasku, mengambil ponselku lalu menghubungi Rudi. Kutanyakan kabar Cinta. Dan dia menjelaskan Cinta baik-baik saja. Sekarang Rina sedang membacakannya sebuah dongeng.

Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib. Kuseret kakiku ke ruang makan. Lalu membuka kulkas melongok apa yang bisa kusajikan sebentar untuk makan malamku. Kemudian aku mengambil handuk, melangkah ke kamar mandi. Lalu kuguyur tubuhku sepuasnya. Hampir tiga hari di rumah sakit aku tidak pernah mandi, hanya close-up saja alias cuci muka dan gosok gigi.

Sehabis shalat magrib aku duduk di depan tv dengan gelisah. Pikiranku terus tertuju pada kondisi Cinta. Aku berjalan ke dapur, membuat nasi goreng untuk makan malamku. Aku berniat menelpon Rudi lagi, tapi layar ponselku tiba-tiba mati diikuti suara bip beberapa kali.

Dengan gelisah aku mencari charg hp-ku. Sudah semua sudut tasku kuperiksa tapi tidak ada. Aku mencoba mengingat. Apa mungkin aku lupa di rumah sakit tadi? Aduh, kenapa aku jadi pikun begini? Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Aku mengintip lewat gorden jendela. Pak Jayus. Aku membuka pintu dan mendapati Pak Jayus sedang memegang benda yang kucari.

“Ketinggalan di mobil,” katanya sambil menyodorkan charg hp-ku.

“Terima kasih, pak.” Aku tersenyum lega.

“O ya Cinta masih di rumah sakit?” tanya Pak Jayus.

“Ya, Pak.”

Sebenarnya aku ingin mengajak Pak Jayus masuk tapi karena hanya aku sendiri di rumah, rasanya tidak pantas. Apalagi kami tinggal di desa.

Setelah Pak Jayus pulang aku tergesa mengisi baterai hp-ku. Butuh waktu agak lama utuk mengembalikan kapasitas daya bateraiku normal kembali. Sambil menunggu, aku shalat isya. Selesai shalat aku berdoa agar Cinta diberi keselamatan dan umur panjang. Dalam doaku tak hentinya aku meneteskan air mata. Wajah Cinta terus terbayang dalam pelupuk mataku.

Saat aku melipat mukenahku, mendadak aku teringat pada kotak kecil milik Cinta. Aku membuka lemari, menarik laci, lalu mengambil kotak itu. Entah mengapa saat ini hatiku tidak ada keraguan untuk membukanya. Maafkan aku, mbak Widya. Aku tidak dapat menjalankan pesanmu tepat pada waktunya.

Aku berjalan menuju ke ruang keluarga. Kuletakkan kotak itu di atas meja. Lalu aku ke belakang membuat secangkir teh. Aku kembali dengan secangkir teh hangat. Sambil menyeruput teh manis yang kubuat, aku membuka kotak kecil itu. Dan sungguh membuatku terperangah. Bibirku tergetar. Tanganku bergetar hebat. Cangkir yang kupegang jatuh berhamburan di lantai. Di dalam kotak itu ada sebuah foto mbak Widya berpose mesra dengan Farid. Belum hilang rasa kagetku Farid sudah muncul di depanku. Aku terkesiap.

“Kamu tidak apa-apa? Maaf tadi pintunya sudah kuketuk tapi tidak ada sahutan. Aku mendengar suara pecahan kaca jadi aku langsung masuk karena pintunya tidak terkunci,” jelas Farid merasa bersalah. Dilihatnya pecahan cangkir yang berhamburan di lantai. “Kakimu berdarah.”

Aku melihat ke lantai. Memang ada sedikit goresan. Tapi aku cepat sigap mencegah Farid memungut pecahan itu. Tanganku masih gemetar. Aku lupa, di tanganku masih ada foto Farid dan mbak Widya. Di saat aku tersadar, Kulihat wajah Farid menegang karena foto yang kupegang berada tepat di depan matanya. Dan aku tidak bisa mencegah. Farid langsung merebut foto itu.

“Dari mana kamu dapat ini?” tanya Farid dengan suara bergetar. Aku menelan ludah. Tidak bisa menjawab. Hanya mataku saja yang lagi-lagi tak sengaja bergerak ke arah kotak hitam. Farid mengikuti arah pandanganku. Langsung disambarnya kotak itu. Farid mengambil sebuah surat yang ada di dalamnya. Itu surat untuk Cinta dari mbak Widya. Farid membacanya.

“Jadi Cinta adalah anakku?” tanyanya parau. Farid mengerjap-ngerjapkan matanya menahan haru. “Kita harus segera ke Kendari sekarang. Cinta dalam keadaan kritis. Trombositnya turun.” Farid memberitahuku tiba-tiba membuatku hampir shock. Lelaki itu berjalan tergesa ke arah pintu. Aku segera menyambar tasku lalu mengikutinya. Aku tidak sempat berganti pakaian lagi.

Farid melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali jantungku serasa mau copot dibuatnya. Aku ingat Cinta. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan diriku. Apalagi kini aku sedang bersama papanya. Akhirnya aku memberanikan diri menegur Farid. Agaknya Farid mendengar ucapanku. Aku tahu lelaki itu sedang bergulat dengan batinnya kini.

(Bersambung)

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun