Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panembahan Situmpur Kapiten Si Tum Poa Wong Fei Hung Purwakerta

14 Januari 2021   16:28 Diperbarui: 14 Januari 2021   16:42 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: twitter/yan_widjaya

Diambil dari buku   cerita  rakyat  Banyumas jilid 2, karya saeran Samsidi

Panembahan Situmpur Kapiten Kwe Si TumpoaWong Fei Hung Purwakerta

Thong ... thong ... thong .. thong suara titir bertalu-talu bersahutan. Para penduduk keluar rumah sambil memukul kenthong dan berteriak-teriak,

"Ana ... lindhu .... ana lindhu ... ana lindhu ...!"

"Gunung Slamet arep njeblug ...!"

" Iya, kae ! Delengen kukuse wis metu neng puncrit Gunung Slamet ..!"

"Ya ... ya .. benar itu, Mbah Angon Bebek sudah kelihatan. Moga-moga laharnya tidak tumpah mengalir ke Purwakerta!"

" Haiyaaaaa ... ayooo ... lapol ke Engkong Situmpoa. Haiyaaaa .. ai  mah mau ke lumah Engkong Situmpoa. Wah .. cilika nih ... cilaka ...!"

            Teman-teman, begitulah suasana panik cemas para penduduk di Purwakerta yang berada tidak jauh di selatan Gunung Slamet.  ketika Gunung Slamet sedikit menggerakkan badannya, gempa lemah, dan batuk-batuk mengeluarkan  kukus di puncaknya .  Koh Acong yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya Engkong Situmpoa di Kongsen segera berlari menuju ke sana.

Eeeee ... siapa si Engkong Situmpoa itu,Teman-teman?  Engkong Situmpoa itu ya penduduk pendatang yang tinggal di sebelah barat Kampung Saudagaran tempat para saudagar yang berdagang di pusat Kota Purwakerta di Pasar Wage tinggal.  Engkong Situmpoa kediamannya   di daerah Kongsen di selatan balai Kelurahan Purwokerto Kulon. Seorang tabib yang berasal dari Tibet, Kapitan China yang mendapat gelar Panembahan Situmpur.

Mau tahu kisah Engkong Situmpoa, Kapitan si Tombak Sakti, Panembahan Situmpur? Mari kita simak kisah kota Purwakerta pada jaman dahulu ketika mulai berdirinya kota kripik ini.

"Huahaaaaa .... akulah si Brandhal  Suro Alam yang menguasai kawasan Tipar Kalibener ... huahaaa haaaa ... Grumbul Pacor pabrik senjata tajam untuk menguasai Purakerta ... haaaaa ...!"

Teman-teman, pada jaman dahulu Kota Purwakerta itu kotanya para kecu, brandhal, begal dan rampok. Pokoknya banyak para penjahat yang meresahkan masyarakat. Ada Begal Sampar Angin di daerah Purwakerta sebelah selatan di Desa Suyud, Teluk. Kecu Wangsa Penjalin di daerah Paguron dan Brandhal Suro Alasan di Kalibener.

            Para brandhal, penjahat itu bisa ditaklukan oleh para pendekar, para kyai. Salah satu orang yang bisa menaklukan para penjahat itu adalah Panembahan Situmpur atau Engkong Situmpoa, Kapitan Si Tombak Sakti. Engkong Situmpoa adalah tabib yang juga berdagang obat-obatan tradisional. Seperti pada cerita China, Tabib Ip Man yang dimainkan oleh Donnie Yen dan Wong Wei Hung diperankan Jet Lie. Nah, Situmpoa mengembara sampai ke Purakerta.

            "Haiiiyaaaa ... kamsia ... kamsia .... telima kasih ... ai sudah jadi meltua Kanjeng Adhipati Cakrawedana. Moga-moga si Kwee In anak pelempuan ai bisa menjadi istri yang baik buat  owe" kata Engkong Situmpoa ketika anak perempuanya menjadi bini selir Adipati Cakrawedana dari Kadipaten Pasir Kertawibawa. Waktu itu baru saja ibukota Kadipaten Pasir Kertawibawa dipindakan ke Desa Peaguron di Purwokerto Lor.

            "Nggih, maturmbahnuwun Bapa Kapiten Kwee. Sekarang putri Bapa saya beri nama Sri Kenaka dengan gelar Eyang Tengah, Bapa. Lha, ini cucu laki-laki Bapa Situmpoa sudah bisa mbrangkang  saya beri nama Raden Cakradipa"

            Teman-teman, begitulah kisah Engkong IpMan .. eee .. salah .. Wong Fei Hung ... yaaa ... keliru, Situmpoa kok. Maklum, sama-sama tabib dan pedagang obat yang tinggi ilmu silat dan kanuragaannya. Ceritanya, Raden Cakradipa cucu Engkong Situmpoa yang punya she Kwee itu menjadi Wedana Karangkobar Banjarnegara. Setelah meninggal beserta ibunya Sri Kenaka, yang juga dikenal sebagai Nyonyah China, Cakradipa dimakamkan di Banjarnegara.

           Teman-teman, kembali ke Koh Acong yang dengan gipyaknya berlari-lari menuju ke rumah Engkong Situmpoa,

"Engkong Situmpoa ... Engkong Situmpoa ..... ! Wah, celaka ini ... blai ini ... pala warga pada panik karena ada gempa dan melihat ada awan putih di puncak Gunung Slamet. Ini bigimana Kong ..! Mereka sudah padha nabuh kenthong!" begitu Koh Acong pedagang kripik, nopia, bakpia di Gang Kongsen Purwokerto Kulon  melaporkan ke Engkong Situmpoa.

Tak berapa lama Engkong Situmpoa keluar dari rumahnya lalu berjalan menuju gapura pekarangan di depan rumah,

"Haiyaaaaa .... Acong ... Acong ... bikin kaget ai saja, teliak-teliak begitu. Ada apa, Acong?"

"Itu ... itu ... Gunung Slamet mau njeblug. Sudah ada lindhu dan kukus kaya orang angon bebek di atas Gunung Slamet!"

"Oooh ... begitu. Jangan kuatil ... jangan kuatil ... Gunung Slamet enggak bakalan njeblug, Acong"

"Waaah ... kalau Gunung Slamet  njeblug nanti laharnya melanda Puraketa ... ! Pigimana nih, Engkong Situmpoa?" Koh Acong masih panik.

"Begini saja, Acong. Ayo kumpulkan olang-olang, para tetangga owe ke belakang pablik gula. Ai akan selamatkan Puraketa dari lahar Gunung Slamet"

            Begitulah, selanjutnya orang-orang para warga di Kongsen tetangga-tetangga Acong berombongan mengikuti Engkong Situmpoa menuju ke belakang pabrik gula. Di sebidang pekarangan Engkong Situmpoa melakukan ritual sembahyangan. Ia mengeluarkan sebuah tombak  dan setelah mengucapkan mantra-mantra, tombak itu ditancapkan ke segundhuk tanah di sana,

"Haiiiiyaaaa .... sedulul-sedulul, warga Kongsen dan sekitalnya ini sudah ai tanjapkan tombak sakti saudaranya Tombak Kiai Singkir ini sebagai patok penjaga lahar Gunung Slamet" para warga terdiam, tertegun menyaksikan ritual Engkong Situmpoa,

"Apabila Gunung Slamet meletus, laharnya tidak akan mengalir ke selatan, ke Puraketa, tapi mengarah ke utara, ke Pemalang. Tapi, Gunung Slamet itu, ramah, penuh welas asih, tidak bakalan akan njeblug, sedulul-sedulul ...!" begitu pesan Engkong Situmpoa. Para warga pun bersorak-sorai, bertepuk tangan kegirangan.

           Teman-teman, begitulah cerita tutur yang berkembang di daerah sekitar Kongsen Jalan Situmpur Kelurahan Purwokerto Kulon. Di wilayah pusat Kota Purwakerta, di kanan kiri, utara selatan Pasar Wage  terdapat pemukiman saudara warga Tionghoa. Saudagaran, Karangturi, Kebondalem, Kongsen Situmpur. Warga Tionghoa seperti Engkong Kwee Situmpoa banyak berjasa ikut membangun Kota Purwokerto. Oleh karena itu Adipati Cakrawerdana menantu Kapiten Kwee memberikan gelar Panembahan Situmpur.

           Wah ... waaah ... penasaran, ya? Ayooo ... napak tilas. Di belakang balai Kelurahan Purwokerto Kulon, sebelah timur Moro terdapat petilasan makam atau perabuan Engkong Situmpoa. Eeeee ...tapi .... awas ... ati-ati ... jangan sampai mencabut tombak sakti pathok penahan Gunung Slamet. Kalau tombak itu tercerabut Gunung Slamet bisa njeblug, erupsi dan laharnya menerjang Kota Purwokerto.

          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun