Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menguak Nafsu Imperialisme di Balik Standar Ganda Negara Barat

2 Juli 2025   09:11 Diperbarui: 2 Juli 2025   09:11 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan sikap keras negara-negara Barat terhadap Iran atau Korea Utara, yang ditekan melalui sanksi dan intervensi diplomatik karena program nuklirnya, Israel justru mendapat toleransi strategis dan perlindungan dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Amerika Serikat secara konsisten memveto resolusi PBB yang menyerukan transparansi nuklir Israel, seperti yang terjadi dalam Sidang Umum PBB 2022 ketika lebih dari 149 negara mendukung resolusi agar Israel membuka fasilitas nuklirnya untuk inspeksi IAEA, namun ditolak oleh Amerika Serikat dan beberapa sekutu.

Ketimpangan ini menunjukkan bias geopolitik yang melanggengkan ketidakadilan global dalam rezim non-proliferasi, serta melemahkan legitimasi norma-norma hukum internasional yang seharusnya berlaku universal tanpa diskriminasi.

Standar ganda juga terlihat dalam penggunaan hukum internasional. Ketika Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2023 atas tuduhan kejahatan perang, Barat menyambut langkah tersebut sebagai kemenangan hukum.

Akan tetapi, ketika pada Mei 2024, ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanannya atas kejahatan yang sama terhadap warga Palestina, Amerika Serikat justru menolak legitimasi ICC dan menyatakan "tidak mengakui yurisdiksi" lembaga tersebut terhadap sekutunya.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa prinsip supremasi hukum yang diagung-agungkan oleh Barat berlaku secara selektif, mereka mendukungnya hanya jika menguntungkan kepentingan mereka, dan menolaknya ketika menyasar sekutu strategis atau bahkan diri mereka sendiri.

Nafsu imperialisme juga dapat diamati melalui praktik intervensi militer sepihak oleh Barat yang tidak didasari mandat hukum internasional. Invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada 2003 adalah contoh paling gamblang. Berdasarkan dalih senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction/WMD) yang kemudian terbukti tidak pernah ada, invasi tersebut menyebabkan kematian ratusan ribu warga sipil dan kehancuran total infrastruktur negara Irak.

Penelitian dari The Lancet (2006) memperkirakan jumlah korban jiwa mencapai lebih dari 600.000 orang. Namun hingga kini, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban internasional terhadap pelaku agresi tersebut. Hal ini memperkuat tesis bahwa Barat menerapkan standar hukum dan moral ganda, agresi mereka dianggap sebagai "intervensi kemanusiaan", sedangkan agresi negara lain dikutuk sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Dalam ranah ekonomi global, imperialisme modern Barat berjalan melalui lembaga-lembaga finansial internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Meski lembaga-lembaga ini mengklaim sebagai penyedia bantuan pembangunan dan stabilitas ekonomi, berbagai studi menunjukkan bahwa syarat-syarat bantuan yang mereka berikan sering kali mendorong agenda neoliberalisme dan merugikan negara penerima.

Penelitian dari Joseph Stiglitz (2002), mantan kepala ekonom Bank Dunia, mengungkap bahwa program penyesuaian struktural (structural adjustment programs) yang dipaksakan kepada negara-negara berkembang telah memperdalam ketimpangan, memperlemah sektor publik, dan memperkuat dominasi korporasi multinasional yang berafiliasi dengan negara-negara Barat. Dengan demikian, bantuan keuangan internasional sering kali menjadi alat imperialis baru yang memaksa negara-negara berkembang untuk tunduk pada tatanan ekonomi global yang dikuasai Barat.

Selain itu, praktik imperialisme digital dan teknologi juga menunjukkan bagaimana dominasi Barat terus berlangsung dalam bentuk yang lebih canggih. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, mendominasi infrastruktur internet global, teknologi AI, dan platform media sosial besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun