Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Buku di Zaman Sekolah Kami Tahun 1990an (Seri II)

17 Mei 2021   15:31 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:39 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca artikel sebelumnya di Seri I

Saya sangat suka dengan pelajaran IPA dan IPS, setelah SMP dan SMA kedua pelajaran ini terpisah spesifikasinya. Saya lebih menyukai geografi, sebenarnya bukan menyukai tetapi generasi indonesia timur sangat menggemari dengan pelajaran ini. Jadi tidak heran sekarang ini generasi 1990an kalau di tanya indonesia bisa tahu 90% wilayahnya. Hal itu terbukti karena anak-anak bagian timur hampir tahu semua kepualauan yang ada di indonesia. Beda dengan anak-anak sekolah di bagian barat indonesia, saya pikir mereka tidak belajar geografi, sehingga di perjalanan dan kenalan yang mereka tanya dan mereka tau bahwa indonesia timur itu ambon dan papua.

Hal ini lah yang sering memicu perdebatan bahwa pelajaran geografi itu penting dipelajari untuk semua anak-anak sekolah biar tahu, kami masih SMP tahun 2000an sudah tau pulau jawa dan sumatera, luasnya sekian penduduknya suku apa saja. Tapi tahun 2021 ini masih ada anak-anak bagian barat tidak tahu di mana itu Maluku Utara, ini hal teraneh sepanjang generasi.

Waktu saya di jakarta tahun 2015 lalu, ditanya sama beberapa orang, bang maluku utara itu bisa pake bus kota trans ga kesana? Ada lagi yang tanya bisa pake motor (kendaraan roda dua)? Yang tanya ini kira-kira umutnya 20-25 dan ada yang umurnya sekita 34-36 tahun. Artinya, betapa orang-orang ini tidak mengenal wilayah indonesia ini dengan baik. Jadi kalau generasi di indonesia barat menuntut kami untuk belajar dengan baik, kami menuntut kalian untuk pelajari peta indonesia biar tidak buta wilayah indonesia.

Sekolah SD tahun 1995/1996, SMP ditahun 2000an dan SMA di tahun 2003an. Bangku SMA yang memiliki banyak cerita, sekolah kami baru di buka. Saya dan sejumlah teman-teman lainnya adalah siswa pertamanya, angkatan 01. Kalian bisa bayangkan, disaat dibanyak tempat di daerah kamu sudah sekolah dengan fasilitas yang bagus, sekolah unggulan sedangkan ditempat kami tahun 2000an sekolah SMAnya baru di buka.

Itu hal terparah yang saya tahu, jangan kan suka sama buku, sekali lagi saya tekankan ini. Perpus saja tidak ada, tidak ada rangsel (tas) bagus, tidak ada sepatu bagus bermerk, tidak ada dasi dan topi yang bagus, tidak ada tayangan TV, TV saja tidak ada bagaimana dengan tayangannya, listrik setiap setahun nyalanya sekali. Jadi tidak ada yang bisa saya banggakan dengan masa sekolah saya dulu. Sekolah saya tahun itu, 2003 kami masih terpuruk dengan fasilitas sekolah, mungkin teman-teman di wilyah barat indonesia sudah sampai ke langit karena fasilitasnya yang mumpuni. Sekali lagi, pliiiiis, jangan tanyakan kami tentang buku apa yang kami suka waktu sekolah dulu !

Ada yang bercerita masa sekolah penuh cinta, hei sekolah kami saja jalan kaki bagaimana mau urus hati. Seragam compang camping karena hanya satu seragam. Sekolah senin sampe rabu, kamis sampe sabtu liburan nyuci seragam. Atau sekolah kamis sampai sabtu, senin sampai rabu liburan. Kami tidak mengenal fashion gaya pakaianlah, cepatulah, gaya rambut lah. Yang kami kenal saat itu hanya seragam yang dibalik kerahnya di tulis nama masing-masing biar tidak salah ambil pas lagi ngumpul.

Tidak ada kisah yang indah di tempat sekolah kami, yang ada hanya masa sulit mendapatkan fasilitas yang memadai. Untuk bikin bangunan sekolah saja kami diberikan beban untuk bawa material pasir dan kerikil dari rumah yang kami pungut dan ambil di  sepanjang pantai kampung kami. Sekolah kami saat itu, pemerintah tidak benar-benar hadir. Jadi mimpi untuk menjadi orang besar punya masa depan diwaktu sekolah adalah mimpi yang menakutkan. Anak-anak sekolah ditahun 90an dan 2000an di Indonesia timur sangat takut untuk bermimpi yang terlalu besar.

Yang saya tahu, hanyalah rute terbaik pulang dan pergi sekolah. Pulang sekolah kalau terik panas matahari terlalu membakar, ada jalur alternatifnya. Saya hanya tahu bagaimana cara tebaik bolos jika gurunya terlalu ganas dan sangat tidak suka dengan pelajaran matematika guru itu. Saya sangat benci matematika, saking bencinya waktu itu tidak mau di kelas IPA dan pindah kelas IPS. Padahal untuk menentukan kita kelas IPA atau IPS ini sudah berdasarkan ketegori dan Penguasaan mata pelajaran.

Tiga masa sekolah dari SD,SMP dan SMA ini tidak dapat saya ceritakan keseruannya karena masa kami sekolah dulu tidak ada yang benar-benar memperhatikan kondisi sekolah kami. Yang masih saya suka hingga saat ini adalah geografi waktu SMA. Yang lain, sejarah dan bahasa. Lulus sekolah, dan melanjutkan kuliah tahun 2006-2007 saya mengasah bahasa dan juga membaca sejarah. Jadi suka sama bahasa menjadikan saya suka sama ihwal mengarang dan menulis, suka sama sejarah, mengunjungi situs sejarah besar pengaruhnya dari geografi.

Mempelajari secara detil wilayah indonesia, budaya, adat, suku, ras dan agama menjadikan saya sebagai pribadi yang paling suka dengan jalan-jalan. Yah, untuk sebagian besar wilayah indonesia sudah saya jejaki. Begitulah kecintaan terhadap pengetahuan geografi dan sejarah. Tahun 2000an di indonesia timur, atap sekolah masih pakai dedaunan juga rumbia, di wilayah barat sudah sekolah bergengsi. Tapi lagi-lagi generasi di indonesia barat sebagiannya jika ditanya tentang indonesia timur mereka total taunya hanya ambon dan papua. Geografi adalah hal terpenting saat ini yang harus dipelajari untuk memperkuat pengetahuan teritorial wilyah indonesia.

Meskipun sakolah kami, sekolah saya tahun itu mungkin saja bukan hanya krisis bangunan dan SDM gurunya, kami juga mengalami krisis buku. Tidak ada fasilitas sekolah yang kami banggakan tahun itu di wilayah indonesia timur, sumpah tidak ada yang bisa kami banggakan. Hemat saya, tahuun 1990an dan 2000an saat itu kami tidak hanya mengalami ketidakberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan, tetapi kami juga tidak dapat menikmati fasilitas sekolah seperti perpus dan lainnya yang kalian alami di kota-kota kalian. Banar-benar tidak mengenakan jika di kisahkan, tidak ada buku yang kami suka. Ketika sudah ada rasa suka dengan buku, bukunya harus dapat dengan mahal, sudah mahal atau harus bayar dapatnya ketika sudah kelas berikut.

Artinya suka sama buku waktu kelas 3 baru dapat bukunya saat kelas 4 atau 5, lalu apa yang akan kami certikan keindahannya pada kalian tentang hal itu. Atau suka sama cerita guru tentang kisah kambing jantan dan seekor rusa betina, bukunya baru datang setelah kami lulus sekolah.

Di indonesia timur, generasi tahun 90an kalau ditanya buku apa yang paling kamu suka? Yang saya tahu hanya buku PPKN kalau tidak salah yang sampulnya warna merah putih kerena buku itu digratiskan pas naik kelas 4 SD. Buku lain bagaimana? buku supermen, anak rusa, kura-kura dll. Disana, sekolah kami tidak ada buku bacaan, buku anak-anak selain buku pelajaran yang isinya hanya ada anak yang namanya Budi. Kami, generasi 90an indonesia timur belajar keras bukan dari buku, belajar keras karena lingkungan, budaya dan pengalaman kami ketika tidak dapat fasilitas yang memadai waktu sekolah

Sekali lagi, cerita tentang perpustakaan yang kalian kunjungi setiap pulang sekolah. Di tempat kami, perpustakaan di buka saat istirahat jam belajar. Kamu kisah tentang buku mana yang kamu suka, di tempat kami, tidak ada buku yang kami suka (krisis buku) saat itu. Kamu tuturkan sekolah terbaikmu, sekolah kami Cuma satu, itupun dibangun sama orang kampung jadi tidak bisa kami banggakan karena bangunannya hanya dari kapur dan beratap rumbia dan sejenisnya.

Papan tulis hitam dengan kapur tulis yang menyesatkan, terakhir baru tahu kalau efek abu kapur tulis lebih berbahaya dari pada polusi udara. bangku sekolah yang rusak pun masih bisa ditambal oleh pihak sekolah untuk di pakai, kerajinan kami hanya hanya anyaman dan bikin sapu lidi dari daun pohon enau (aren). Geliran di bawah ke sekolah, guru-guru jadikan milik mereka dan bawa pulang ke rumah masing-masing.

Lalu kamu tanya tentang seragam mana yang kami suka? Di tempat kami, sekolah dengan satu seragam saja, tidak ada dua apalagi tiga. Olahraga pakai saja celana setiap hari dirumah dengan kaos oblong. Kamu tanya sepatu apa? All star atau adidas dan merk lain, di sana teman-teman kami yang lain sekolahnya masih pakai sendal. Atau sepatu gantian dengan punya saudaranya yang sekolah siang.

Kamu tanya tentang buku tulis, disana buku tulisnya hanya satu. Jadi bisa pastikan sekolah SD 6 kelas dengan 6 buku tulis. Satu buah pensil yang penghapusnya pakai karet, kami tidak mengenal penggaris plastik, atau yang bisa bikin gelang. Penggaris kami dari bahan kayu, sisa tukan meubel di dekat sekolah. Balpoin (pulpen) menjadi ketakutan orang tua dengan isu bau narkotika.

Sekali lagi, tema yang diangkat kompasiana sangat emosional. Tapi kami, saya secara pribadi tidak dapat bercerita banyak tentang hal ini, karena fasilitas sekolah yang kami dapat tidak sama sperti yang kaliandapat teman-teman kompasianer. Artinya, fasilitas yang berbeda menyuguhkan kita kenanangan yang berbeda pula. Jadi, tidak ada buku yang saya suka, tidak ada karena sekolah kami dulu terjadi kerisis perhatian pemerintah menyebabkan krisis fasilitas yang mendukung pendidikan kami di wilayah timur indonesia saat itu

Biar saja kisah indah sekolah kalian membunuh kisah pahit yang kadang-kadang menyebalkan di waktu sekolah kami dulu. Yang kami tahu, indonesia yang luas dan besar ini tidak mengukur kecerdasan manusia dengan fasilitas pendukung di masing-masing sekolah. Harusnya mengukur manusia indonesia dengan menggunakan nurani, budi pekerti sebagaimana amanat yang ada dalam batang tubuh UUD1945 dan pancasila. Sayangnya sekarang, GGBHN tidak tahu lagi dikemanakan, haluan negara ini kehilangan kompas akhirnya pendidikan menjadi tugas besar kita semua. 

Selamat menikmati kisah kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun