Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Buku di Zaman Sekolah Kami Tahun 1990an (Seri II)

17 Mei 2021   15:31 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:39 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun sakolah kami, sekolah saya tahun itu mungkin saja bukan hanya krisis bangunan dan SDM gurunya, kami juga mengalami krisis buku. Tidak ada fasilitas sekolah yang kami banggakan tahun itu di wilayah indonesia timur, sumpah tidak ada yang bisa kami banggakan. Hemat saya, tahuun 1990an dan 2000an saat itu kami tidak hanya mengalami ketidakberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan, tetapi kami juga tidak dapat menikmati fasilitas sekolah seperti perpus dan lainnya yang kalian alami di kota-kota kalian. Banar-benar tidak mengenakan jika di kisahkan, tidak ada buku yang kami suka. Ketika sudah ada rasa suka dengan buku, bukunya harus dapat dengan mahal, sudah mahal atau harus bayar dapatnya ketika sudah kelas berikut.

Artinya suka sama buku waktu kelas 3 baru dapat bukunya saat kelas 4 atau 5, lalu apa yang akan kami certikan keindahannya pada kalian tentang hal itu. Atau suka sama cerita guru tentang kisah kambing jantan dan seekor rusa betina, bukunya baru datang setelah kami lulus sekolah.

Di indonesia timur, generasi tahun 90an kalau ditanya buku apa yang paling kamu suka? Yang saya tahu hanya buku PPKN kalau tidak salah yang sampulnya warna merah putih kerena buku itu digratiskan pas naik kelas 4 SD. Buku lain bagaimana? buku supermen, anak rusa, kura-kura dll. Disana, sekolah kami tidak ada buku bacaan, buku anak-anak selain buku pelajaran yang isinya hanya ada anak yang namanya Budi. Kami, generasi 90an indonesia timur belajar keras bukan dari buku, belajar keras karena lingkungan, budaya dan pengalaman kami ketika tidak dapat fasilitas yang memadai waktu sekolah

Sekali lagi, cerita tentang perpustakaan yang kalian kunjungi setiap pulang sekolah. Di tempat kami, perpustakaan di buka saat istirahat jam belajar. Kamu kisah tentang buku mana yang kamu suka, di tempat kami, tidak ada buku yang kami suka (krisis buku) saat itu. Kamu tuturkan sekolah terbaikmu, sekolah kami Cuma satu, itupun dibangun sama orang kampung jadi tidak bisa kami banggakan karena bangunannya hanya dari kapur dan beratap rumbia dan sejenisnya.

Papan tulis hitam dengan kapur tulis yang menyesatkan, terakhir baru tahu kalau efek abu kapur tulis lebih berbahaya dari pada polusi udara. bangku sekolah yang rusak pun masih bisa ditambal oleh pihak sekolah untuk di pakai, kerajinan kami hanya hanya anyaman dan bikin sapu lidi dari daun pohon enau (aren). Geliran di bawah ke sekolah, guru-guru jadikan milik mereka dan bawa pulang ke rumah masing-masing.

Lalu kamu tanya tentang seragam mana yang kami suka? Di tempat kami, sekolah dengan satu seragam saja, tidak ada dua apalagi tiga. Olahraga pakai saja celana setiap hari dirumah dengan kaos oblong. Kamu tanya sepatu apa? All star atau adidas dan merk lain, di sana teman-teman kami yang lain sekolahnya masih pakai sendal. Atau sepatu gantian dengan punya saudaranya yang sekolah siang.

Kamu tanya tentang buku tulis, disana buku tulisnya hanya satu. Jadi bisa pastikan sekolah SD 6 kelas dengan 6 buku tulis. Satu buah pensil yang penghapusnya pakai karet, kami tidak mengenal penggaris plastik, atau yang bisa bikin gelang. Penggaris kami dari bahan kayu, sisa tukan meubel di dekat sekolah. Balpoin (pulpen) menjadi ketakutan orang tua dengan isu bau narkotika.

Sekali lagi, tema yang diangkat kompasiana sangat emosional. Tapi kami, saya secara pribadi tidak dapat bercerita banyak tentang hal ini, karena fasilitas sekolah yang kami dapat tidak sama sperti yang kaliandapat teman-teman kompasianer. Artinya, fasilitas yang berbeda menyuguhkan kita kenanangan yang berbeda pula. Jadi, tidak ada buku yang saya suka, tidak ada karena sekolah kami dulu terjadi kerisis perhatian pemerintah menyebabkan krisis fasilitas yang mendukung pendidikan kami di wilayah timur indonesia saat itu

Biar saja kisah indah sekolah kalian membunuh kisah pahit yang kadang-kadang menyebalkan di waktu sekolah kami dulu. Yang kami tahu, indonesia yang luas dan besar ini tidak mengukur kecerdasan manusia dengan fasilitas pendukung di masing-masing sekolah. Harusnya mengukur manusia indonesia dengan menggunakan nurani, budi pekerti sebagaimana amanat yang ada dalam batang tubuh UUD1945 dan pancasila. Sayangnya sekarang, GGBHN tidak tahu lagi dikemanakan, haluan negara ini kehilangan kompas akhirnya pendidikan menjadi tugas besar kita semua. 

Selamat menikmati kisah kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun