Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Ineffective Policy", Narasi Sebuah Kebijakan (Seri I)

14 Mei 2021   09:17 Diperbarui: 14 Mei 2021   10:32 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Mudik : (hi.gird.id)

Upaya pengendalian covid-19 menjelang dan pasca Ramadhan menjadi pengkajian terhangat yang di bicarakan dalam banyak diskursus di negara ini. Hampir semua kalangan, komunitas, ormas, LSM dan lembaga pemerintahan. Problemnya masih sama, masih pada konklusi sebuah kebijakan yang merupakan item penindakan untuk meminimalisir sebaran Covid-19 ditengah -- tengah kehidupan masyarakat.

Adendum SE (Surat Edaran) Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri dan Upaya Pengendalian Covid-19 Selama Ramadhan resmi dikeluarkan oleh Pemerintah. Kebijakan ini pada substansinya menyampaikan ke masyarakat Indonesia bahwa Mudik Lebaran Idul Fitri Tahun 2021 ini di tiadakan di sertakan sejumlah sanksi tegas jika masyarakat indonesia ditemukan telah berusaha atau melewati, ataupun melanggar kebijakan secara resmi tersebut.

Jelaslah beberapa item regulasi dan sejumlah poin-poin sanksi menjadi pengingat juga kode keras kepada masyarakat agar dapat mencerna, memahami dengan seksama sehingga tidak merugikan diri sendiri atau pun oran lain dan pihak yang mengeluarkan kebijakan (regulasi) Pemerintah Indonesia.

Luar biasa mengagetkan masyarakat, sebagian orang berusaha mengklaim bahwa aturan tersebut merugikan, sebagiannya lagi mendukung demi kepentingan bersama, kesehatan nasional. Tentunya, kabar ini sontak menekan secara psikologi kepada mereka, orang-orang atau individu yang mau tidak mau dan sangat terpaksa untuk mudik dengan sejumlah alasan tertentu.

Realitasnya menjadi rumit, meja-meja diskursus dan microfon saling tuding perihal efek dan juga keberhasilan jika aturan ini diberlakukan. Dalilnya sangat sederhana, untuk menekan agar tidak meningkatnya kasus covid-19 di negara Indonesia. Disinilah titik keruh substansi sebuah kebijakan telah menjadi sajian terlaris untuk di bicarakan oleh banyak pakar dan analis, ada panelis yang menjelaskan secara detil efeknya tapi pada akhirnya harus tunduk pada kebijakan. 

Artinya, sejauh Adendum larang mudik (SE) Surat Edaran ini resmi di keluarkan, pemerintah dan masyarakat saling beda pendapat. Tujuan perdebatan ini sangat sederhana. Pemerintah melarang untuk tidak mudik dengan asumsi kesehatan nasional metodenya adalah prokes, dalih masyarakat malah berbeda. Pulang dan menerima resikonya.

Narasi Kebijakan Minim Kontrol

Kita semua tentu sudah tahu, yang paling geli dari kebijakan ini adalah pelanggar di berikan sanksi denda 100 juta menurut regulasi jika di temukan. Disinilah letak poin ancaman dari sebuah regulasi yang ternyata jika dianalisis lebih dalam, sanksi 100 juta tidak membuat sebagian dari masyarakat yang sudah berkeinginan mudik menjadi takut. Kita bisa lihat kenyataan setelah aturan ini diberlakukan, maksudnya jika 100 juta mebuat masyarakat takut akan mudik ternyata poin sanksi ini tidak relatif ampuh untuk sebuah kebijakan untuk mempertegas masyarakat dalam hal larangan mudik ini.

Dirilis Kompas.com, larangan mudik ini berlaku pada 06 mei sampai pada 17 mei 2021 sebagaimana telah disebutkan diatas, pemerintah secara resmi melarang adanya mudik lebaran tahun 2021 dengan merilis Adendum surat edaran (SE) Nomor 13 tahun 2021 tentang peniadaan mudik hari raya idul fitri dan upaya pengendalian covid-19 selama ramadhan setelah membaca situasi pemudik yang telah ambil star sebelum ada adendum tersebut.

Disertakan sejumlah kemudahan, ini keringanan menurut hemat saya dalam sebuah kebijakan. Logikanya sangat sederhana, masyarakat sebagai rakyat biasa melihat narasi sebuah kebijakan yang bertujuan untuk kepentingan umum dalam beberapa versi pandangam mereka. Ada yang melihat regulasi adalah sebuah aturan sebagaimana kebijakan yang seharunya dan wajib di patuhi, sebagiannya lagi melihatnya semacam poin-poin ancaman rupa penekanan. Lahirlah problem menerima dan tidak menerima sebuah regulasi, biasanya orang-orang pintar selalu menyebutnya sebagai narasi keberpihakan sebuah kebijakan adalah untuk kemaslahatan orang banyak.

Pemudik, atau masyarakat yang terpaksa mudik diberikan keringanan dengan menunjukan hasil tes PCR atau tes GeNose C19 sehari sebelum keberangkatan. Kemudahan ini menjadi poin penting. Pertanyaanya, apakah pemerintah menjamin semua fasilitas kesehatan sebagai syarat kemudahan ini disetiap tempat berjalan dengan baik? Sejauh beberapa pengalaman dari sejumlah kasus bahwa ada praktik yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Artinya, masih ditemukan disejumlah tempat bahwa tes PCR atau GeNose ini sistemnya bayar artinya dilakukan oleh swasta bukan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun