Ini rindu yang sudah mutakhir, menelisik gagap gempita, juga arak-arakan menuju situasi yang girang. Bahwa kelak semua dari bulan dan matahari juga kembali pada peraduan, tapi kini dirinya, belumlah juga tempat rindu itu berlabuh.
Detail-detail bayang menyembunyi diri disebalik daun basah pagi ini, rasanya sudah tak mungkin menaruh harap. Sebab semua berujung getir.
satu juta rindu-rindu yang lain pulang pada peraduan dengan sedikit mengaduh, jalan pikir makin terempas di belantara yang maha luas. Belum juga secangkir rindu mendapatkan tempat indahnya.Â
Tanya Aisyah pada kesepian "Mungkin karena aku terlalu girang dengan mereka sang bijak tapi papah dan sedikit manja. Atau aku terlalu lebih menaruh makna yang pontang-panting ini?"
ruas-ruas isi didada sudah kocar-kacir dibuatnya. Oh seratus fajar, rindu Aisyah belum terbalas.Â
Dia bukan ornag pandai, dirinya benar tak pandai berikhtiar pada itu. menyelesaikan dan menyerah bukan satu-satunya jalan terakhir bagi diri yang kaku. Â
"Aku tetap menjadi aku, Aisyah dan dan secangkir rindu walau tak kembali digantikannya. Berhati mulia aku pada kau seratus fajar. Agaknya waktu kembalikan aku satu fajar dengan sedikit rindu yang hangat dan tak terlalu manis. Matahari dan malam tak lebih adalah pernak-pernik hidup saat itu. Â Aku kalah karena rindu tak mendapat peraduan yang bijaksana" Aisyah membatin, dan tatap mata mulai redup.Â
Aisyah yang pasrah, kembalikan titah doa dalam takjub melirik sadik rupa darimu. Hendak besok fajar juga menyapa dengan rasa yang sedikit menggairahkan hatinya yang hampir redup  dalam menunggu yang terlalu berkepanjangan.
Aisyah dengan nada sedikit lirih membujuk hati yang telalu rindu itu kembali pada tempat di mana mata bisa mendapat kesempatan beristirahat dengan damai.
Dan secangkir rindu dalam tanda tanya, bulan sudah pada peraduan, samudra makin bergelombang, angin pagi masih malu-malu serta daun kering yang basah memaafkan angin pagi. semua kembali pada titik di mana keadaan bermula dan akan berakhir.
"Benar, menunggu itu bukan keabadian, bukan juga kepastian" Dari jendela rumah tua, Aisyah melihat fajar buru-buru berpulang diusik cahaya mentari pagi.Â
"Kapan kau datang membawa rindu?" Bisiknya pada bukit, tempat dirinya menitip gelisah.Â
~crF, hs. 15/11. Aisyah