Mohon tunggu...
Muhammad Saddam Haikal
Muhammad Saddam Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ

Hanya manusia biasa yang membiasakan diri untuk terbiasa belajar, mengajar, dan diajarkan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbaiki Diri dengan Puasa Media Sosial

20 Februari 2022   22:49 Diperbarui: 21 Februari 2022   22:10 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi Media Sosial (Foto: Sekato.id)

Kemajuan teknologi seperti sekarang ini memang telah membuat kita menjadi manusia yang serba media sosial. Dimulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, hampir sebagian dari kita menghabiskannya untuk melalang buana di dunia digital yang tidak pernah bisa kita kendalikan itu.

Memang benar jika ada sekelompok orang mengatakan bahwa media sosial memberikan dampak positif pada diri kita. Dengan berbagai informasi yang kita dapatkan, media sosial sudah menjadi kunci utama untuk survive dalam kehidupan ini.

Tapi, perlu kita sadari bahwa apakah media sosial sejatinya benar-benar baik untuk kita?

Pertanyaan inilah yang mulai saya diskusikan dengan diri sendiri. Beberapa hari terakhir, saya menghabiskan hari untuk bercakap-cakap dan mengenal lebih jauh tentang hubungan media sosial dengan emosi, pikiran, dan tindakan saya.

Pada suatu titik, saya dapat menyimpulkan bahwa media sosial tidak cukup baik untuk kesehatan—terutama kesehatan mental. Saya akui bahwa dampak media sosial sangat memengaruhi seluruh perspektif dan pandangan saya terhadap diri sendiri dan orang lain.

Bagaimana tidak, berbagai macam informasi yang terus bermunculan dari beberapa media sosial populer seperti Instagram atau TikTok membuat saya terlena dan lupa dengan jati diri saya yang sebenarnya. Saya mulai lupa waktu, susah tidur, prokrastinasi, dan bahkan merasa gelisah jika jauh-jauh dari media sosial. Hal ini telah membuat saya seperti dipertuan oleh media sosial.

Dampak negatif yang paling saya rasakan terhadap media sosial adalah bagaimana cara saya menyikapi pencapaian orang lain. Ketika melihat beberapa teman saya yang berhasil menggapai prestasi A sampai Z, di situlah saya merasa bahwa saya tidak cukup berkompeten. Akibatnya, saya mulai merasakan emosi tidak wajar kepada orang lain: saya menjadi sinis dan "pemberontak".

Menyadari hal itu, perjalanan saya untuk berpuasa media sosial dimulai. Tepat pada hari Senin, 7 Februari 2022; saya empaskan—uninstall—semua media sosial yang sempat menjadi racun untuk mental saya. Beberapa aplikasi populer seperti Instagram atau TikTok sudah tidak memiliki izin akses di ponsel saya.

Pada hari pertama, semuanya terasa berat. Hidup saya seakan menjadi sangat membosankan. Semua aktivitas yang saya lakukan terasa hampa dan tidak berguna. Saya merasa kesepian dan tidak tahu harus berbuat apa. Padahal, banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan saat itu. Hari pertama memang begitu pedih dan menyakitkan sampai pada akhirnya saya menemukan kunci untuk mengatasi itu semua: buku dan meditasi.

Dengan membaca buku dan bermeditasi, saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik. Saya mulai mengenal apa dan bagaimana emosi saya bisa muncul. Kini saya tahu penyebabnya—saya terlalu mengikuti hasrat dan nafsu sesaat. Saya membiarkan emosi negatif mengendalikan hidup saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun